Ketika Baitullah Jadi Destinasi Wisata Religi Berulang: Sebuah Otokritik
Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan tren yang makin marak: umrah dan haji dilakukan bukan sekali atau dua kali, tetapi berkali-kali. Tidak sedikit jamaah yang menjadikan perjalanan ke Tanah Suci sebagai agenda rutin tahunan, bahkan ada yang menjadwalkannya dua kali dalam setahun. Tentu, tak ada larangan tekstual yang eksplisit dalam agama tentang berulang kali mengunjungi Baitullah. Namun, ketika ibadah bergeser menjadi pola konsumsi spiritual dan simbol status sosial, maka wajar jika kita perlu mengajukan sebuah otokritik.
Ibadah atau Konsumsi Spiritual?
Mengunjungi Baitullah adalah dambaan setiap muslim. Namun, ketika umrah dilakukan berulang-ulang dalam kurun waktu yang singkat, terutama oleh kalangan tertentu yang memiliki kemudahan finansial, muncul pertanyaan penting: apakah ini masih merupakan ekspresi kerinduan spiritual, atau sudah menjadi bagian dari gaya hidup religius yang dikomodifikasi?
Tak jarang kita melihat unggahan-unggahan media sosial yang membingkai perjalanan umrah dengan visual yang nyaris identik dengan konten traveling: outfit hari ini, kuliner di sekitar Masjidil Haram, hingga review hotel berbintang. Tanpa sadar, Baitullah mulai disikapi seperti destinasi wisata religi yang eksklusif, bukan lagi medan perjumpaan batin yang agung antara hamba dan Tuhannya.
Sisi Lain: Mereka yang Masih Mengantre Giliran
Sementara sebagian orang berkali-kali menginjakkan kaki di tanah suci, jutaan lainnya harus menunggu puluhan tahun untuk bisa naik haji. Di Indonesia, antrean haji reguler di beberapa daerah sudah menyentuh angka 20 hingga 30 tahun. Ironisnya, ada yang belum sempat berangkat hingga akhir hayatnya.
Apakah wajar jika seorang Muslim melakukan haji dua, tiga, bahkan lima kali, sementara tetangganya yang miskin belum sekali pun mampu berangkat? Dalam konteks sosial keislaman, bukankah membantu orang lain berhaji bisa menjadi amal yang lebih bernilai ketimbang mengulang ibadah yang sama untuk kepuasan spiritual personal?
Mengembalikan Makna Safar Ibadah
Sudah saatnya kita kembali bertanya: apa yang sebenarnya kita cari dalam perjalanan ke tanah suci? Apakah hanya pengalaman rohani yang menggetarkan? Ataukah transformasi diri yang kemudian berdampak pada masyarakat?
Ibadah haji dan umrah bukanlah sekadar ritual. Ia adalah momen puncak dari penyucian diri, perenungan, dan pembaruan komitmen untuk menjadi manusia yang lebih baik. Bila perjalanan itu tidak berdampak pada kehidupan sosial kita—pada cara kita memperlakukan orang lain, memperjuangkan keadilan, atau berbagi rezeki—maka jangan-jangan yang kita bawa pulang hanyalah oleh-oleh, bukan keberkahan.
Penutup: Menimbang Ulang Prioritas
Fenomena "wisata religi berulang" ini bukan soal dosa atau tidak, halal atau haram. Ini soal sensitivitas sosial, kepekaan terhadap sesama, dan kedewasaan dalam memaknai ibadah. Kita perlu jujur pada diri sendiri: apakah kita benar-benar pergi karena Allah, atau karena kebutuhan untuk merasa "lebih baik", "lebih suci", dan "lebih mapan" secara sosial?
Mengunjungi Baitullah adalah nikmat yang luar biasa. Tapi jangan sampai nikmat itu membuat kita buta pada realitas di sekitar. Mungkin sudah saatnya sebagian dari kita menukar tiket umrah ke sekian kalinya dengan tiket kebaikan yang lebih luas: membantu orang lain berhaji, menyantuni fakir miskin, atau membangun fasilitas pendidikan. Bukankah itu juga bagian dari jalan menuju Allah?
Menjadi pertimbangan kita semua dan berharap kepada semua pihak utk mendahulukan yang belum sama sekali dan bagi mereka yg berada supaya memfasilitasi mereka yg TDK berada
BalasHapus