Kemunafikan Sosial: Saat Agama Dijadikan Topeng Kepentingan

Oleh: Lukmanul Hakim

Dalam banyak ayat Al-Qur'an dan sabda Nabi Muhammad ﷺ, kemunafikan (nifaq) digambarkan sebagai penyakit hati yang lebih berbahaya daripada kekufuran. Jika kekufuran bersifat terang-terangan dan dapat dihadapi secara lahiriah, maka kemunafikan bersifat samar dan tersembunyi, namun mampu merusak dari dalam.

Kemunafikan bukan hanya masalah pribadi antara hamba dan Tuhan, tetapi juga menyimpan dampak sosial yang destruktif. Dalam konteks modern, muncul gejala kemunafikan sosial, yaitu ketika seseorang atau kelompok menggunakan simbol, retorika, dan jargon keagamaan demi kepentingan pribadi, politik, atau ekonomi—bukan karena keimanan yang tulus.


Munafik dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadis

Al-Qur'an secara tegas menyingkap karakter orang-orang munafik. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 8–9, Allah berfirman:

"Dan di antara manusia ada yang mengatakan: 'Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian', padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar."
(QS. Al-Baqarah [2]: 8–9)

Surah lain yang sangat relevan adalah Surah Al-Munāfiqūn, yang khusus membongkar sifat dan modus kaum munafik di era Nabi ﷺ. Ayat pertama surah ini mengingatkan:

"Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad), mereka berkata: 'Kami mengakui bahwa engkau benar-benar Rasul Allah.' Dan Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta."
(QS. Al-Munāfiqūn [63]: 1)

Dalam hadis, Rasulullah ﷺ bersabda:

"Tanda orang munafik itu tiga: apabila berbicara, ia berdusta; apabila berjanji, ia mengingkari; dan apabila diberi amanat, ia berkhianat."
(HR. Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59)

Ketiga tanda tersebut relevan dengan fenomena sosial masa kini. Betapa banyak tokoh yang tampak religius di depan publik, namun berdusta, mengingkari janji, dan menyalahgunakan amanah yang dipercayakan padanya.


Kemunafikan Sosial: Agama sebagai Alat, Bukan Tujuan

Kemunafikan sosial muncul ketika agama tidak lagi menjadi jalan untuk menebar kebaikan dan ketundukan kepada Tuhan, tetapi dipakai sebagai alat pembenaran kepentingan sesaat. Beberapa contoh nyata dari fenomena ini antara lain:

  • Retorika religius di panggung politik, tanpa konsistensi dalam kebijakan keadilan sosial.
  • Pencitraan agamis di media sosial, tetapi minim tanggung jawab etis.
  • Simbol-simbol keagamaan digunakan untuk promosi bisnis, tapi menyesatkan konsumen.
  • Figur keagamaan yang condong pada kekuasaan, bahkan mengaburkan kebenaran demi kedekatan elite.

Fenomena ini mencerminkan yang disampaikan oleh Imam Al-Ghazali dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, bahwa:

"Orang yang tampak berilmu agama tetapi berorientasi duniawi, lebih membahayakan daripada setan."
(Lihat: Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Juz I, Bab Ilmu)

Ketika agama dijadikan topeng untuk ambisi pribadi, maka yang rusak bukan hanya kredibilitas pelakunya, tapi juga persepsi masyarakat terhadap agama itu sendiri.


Krisis Kepercayaan dan Tantangan Integritas

Kemunafikan sosial mengarah pada krisis kepercayaan terhadap simbol, institusi, bahkan otoritas agama. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Ibn Qayyim al-Jawziyyah:

"Kemunafikan adalah pintu kehancuran umat, karena ia tampak sebagai pembela agama, namun sejatinya adalah musuh dalam selimut."
(Lihat: al-Dā’ wa al-Dawā’, hal. 158)

Untuk melawan kemunafikan sosial, tidak cukup hanya dengan kecaman verbal. Umat Islam perlu membangun etos kejujuran, amanah, dan keteladanan. Dalam QS. Ash-Shaff ayat 2–3, Allah menegaskan:

"Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan."
(QS. Ash-Shaff [61]: 2–3)


Penutup

Kemunafikan sosial bukan sekadar penyimpangan personal, melainkan racun yang merusak tatanan kolektif umat. Agama bukanlah alat untuk menipu, menekan, atau mencitrakan diri, melainkan jalan menuju kebenaran dan tanggung jawab ilahiah.

Sudah saatnya umat Islam menumbuhkan kesadaran kritis sekaligus kepekaan moral. Beragama bukan soal tampilan, tetapi soal komitmen terhadap kejujuran, keadilan, dan amanah—baik dalam ruang privat maupun publik.


Referensi:

  1. Al-Qur’an al-Karim, Surah Al-Baqarah [2]: 8–9; Surah Al-Munafiqun [63]: 1; Surah Ash-Shaff [61]: 2–3.
  2. HR. Bukhari No. 33; HR. Muslim No. 59.
  3. Al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. ke-4, 2005.
  4. Ibn Qayyim al-Jawziyyah, al-Dā’ wa al-Dawā’, Riyadh: Maktabah al-Rushd, 1990.
  5. M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan, 2007.
  6. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa