Ilmu Syariat dan Makrifat: Dua Sayap Menuju Kesempurnaan Islam

Oleh: Lukmanul Hakim

Dalam dinamika pemikiran Islam klasik maupun kontemporer, pembicaraan tentang hubungan antara ilmu syariat dan ilmu makrifat selalu menjadi tema sentral. Sebagian orang memahaminya secara dikotomis: syariat dianggap sekadar hukum-hukum lahiriah, sedangkan makrifat dinilai sebagai puncak spiritualitas yang lebih tinggi. Bahkan tak jarang, keduanya diletakkan dalam posisi yang saling bertentangan.

Padahal, dalam khazanah Ahlussunnah wal Jama’ah—yang menjadi ruh utama Islam Nusantara—syariat dan makrifat justru adalah dua sisi dari satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Syariat adalah jalan awal, makrifat adalah tujuan akhir. Syariat menata tubuh, makrifat menyucikan jiwa.

Syariat: Pilar Lahiriah Agama

Secara etimologis, syariat berarti "jalan menuju sumber air". Dalam konteks agama, ia menunjuk pada aturan-aturan hukum yang mengatur kehidupan manusia—baik individu maupun sosial—berdasarkan wahyu (Al-Qur'an) dan Sunnah Nabi.

Ilmu syariat meliputi berbagai cabang seperti fikih, ushul fikih, tafsir, hadits, ilmu kalam, hingga tata bahasa Arab. Ia menjadi pedoman umat Islam dalam menjalani hidup yang benar, adil, dan teratur. Syariat memayungi berbagai aspek: mulai dari cara bersuci, tata cara ibadah, hukum muamalah, hingga adab pergaulan.

Syariat tidak hanya penting, tetapi wajib dikuasai oleh setiap Muslim sesuai kadar kemampuannya. Tanpa syariat, keberagamaan akan kehilangan bentuk dan arah.

Makrifat: Dimensi Ruhaniah Islam

Sementara itu, makrifat berasal dari kata ma’rifah, yang berarti pengenalan atau pengetahuan. Namun bukan sembarang pengetahuan, melainkan pengenalan ruhani terhadap Allah. Ia adalah buah dari perjalanan spiritual yang dalam, melewati berbagai tahapan penyucian diri dan penyaksian batin (musyahadah).

Ilmu makrifat adalah ilmu batin yang lebih banyak didapat melalui pengalaman ruhani, bukan sekadar bacaan atau hafalan. Ia meliputi pengetahuan tentang hakikat diri, rahasia ibadah, kehadiran Tuhan dalam setiap nafas, serta cinta dan fanā’ (lebur) dalam kehendak-Nya.

Makrifat adalah mahkota para salik (penempuh jalan spiritual), dan hanya dapat diraih melalui latihan rohani, keikhlasan, dan ketekunan dalam dzikir, tafakur, serta bimbingan seorang mursyid yang arif.

Cara Memperoleh Ilmu Syariat

Untuk menguasai ilmu syariat, langkah-langkah yang perlu ditempuh antara lain:

  1. Menuntut ilmu kepada para ulama yang kompeten
    Belajar langsung dari ulama yang bersanad keilmuan jelas merupakan metode utama. Dalam tradisi pesantren, hal ini sudah menjadi sistem yang mapan.

  2. Mengaji kitab-kitab turats
    Seperti Fathul Qarib, Tafsir Jalalain, Shahih Bukhari, Ushul al-Fiqh, dan kitab-kitab klasik lainnya yang menjadi warisan keilmuan Islam selama berabad-abad.

  3. Mengikuti pendidikan formal dan non-formal
    Universitas Islam, madrasah diniyah, dan halaqah-halaqah ilmu adalah tempat strategis untuk menguatkan landasan syariat.

  4. Mengamalkan ilmu secara konsisten
    Ilmu syariat tidak cukup hanya diketahui, tetapi juga harus diamalkan agar menjadi cahaya yang membimbing kehidupan.

Cara Memperoleh Ilmu Makrifat

Adapun untuk memperoleh ilmu makrifat, jalannya berbeda karena menyangkut dimensi batin dan spiritual. Adapun tahapannya sebagai berikut:

  1. Tazkiyatun nafs (penyucian jiwa)
    Menyucikan hati dari penyakit-penyakit batin seperti riya’, hasad, ujub, dan takabur. Ini adalah langkah awal yang krusial.

  2. Mujahadah dan riyadhah
    Melatih diri melalui ibadah yang konsisten dan amalan-amalan khusus seperti dzikir, puasa sunah, qiyamul lail, dan tafakur.

  3. Menempuh jalan tarekat (jika mampu dan siap)
    Berguru kepada seorang mursyid yang mursyid, mengikuti latihan-latihan spiritual yang terarah dan tidak menyimpang dari syariat.

  4. Memperbanyak munajat dan muraqabah
    Selalu merasa diawasi Allah dalam setiap detik kehidupan (muraqabah) serta menjaga keintiman spiritual melalui doa dan dzikir.

  5. Sabar dan istiqamah dalam perjalanan ruhani
    Ilmu makrifat bukan hasil instan. Ia buah dari ketekunan, keikhlasan, dan kasih sayang Allah semata.

Syariat dan Makrifat: Jangan Dipisah, Harus Diseimbangkan

Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din menggambarkan bahwa syariat tanpa makrifat adalah tubuh tanpa ruh, dan makrifat tanpa syariat adalah api tanpa pelita: membakar tanpa menerangi.

Begitu pula Imam Malik berpesan:

"Siapa yang bertasawuf tanpa fikih, maka ia zindiq. Siapa yang berfikih tanpa tasawuf, maka ia fasik. Dan siapa yang menggabungkan keduanya, maka ia telah memperoleh kebenaran."

Dengan demikian, menjadi Muslim yang utuh adalah menjadi Muslim yang memadukan kekuatan lahir (syariat) dan kedalaman batin (makrifat). Ulama terdahulu tidak membenturkan, tapi menyatukan. Islam Nusantara mewarisi tradisi ini dengan sangat arif, melalui jaringan pesantren, tarekat mu’tabarah, dan penguatan spiritual yang bersumber dari kearifan lokal.

Penutup: Islam yang Membumi dan Meninggi

Syariat dan makrifat ibarat dua sisi mata uang, atau dua sayap burung. Tanpa salah satunya, kita takkan mampu terbang menuju Allah. Syariat membumikan iman dalam amal nyata. Makrifat meninggikannya dalam keikhlasan dan cinta.

Di tengah arus materialisme dan keringnya spiritualitas modern, umat Islam Indonesia perlu kembali menyelami kedalaman makrifat tanpa meninggalkan pijakan syariat. Dengan keduanya, Islam akan tampil sebagai jalan hidup yang utuh—membumi dalam amal, meninggi dalam cinta Ilahi.

Referensi:

  1. Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Dar al-Fikr.
  2. Abdul Qadir al-Jailani, Futuh al-Ghaib, Beirut: Dar al-Ma’rifah.
  3. Al-Qusyairi, Risalah Qusyairiyah fi Ilm al-Tashawwuf.
  4. Abu Nashr as-Sarraj, Al-Luma’ fi al-Tashawwuf.
  5. KH. Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang Pesantren.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa