Idul Adha: Ritual yang Agung, Tapi Lupa pada Nilai Keadilan

Idul Adha adalah salah satu perayaan paling agung dalam Islam. Ia bukan sekadar hari raya penuh kegembiraan, tapi juga momentum penghayatan spiritual yang dalam—tentang keikhlasan, pengorbanan, dan kepasrahan total kepada Allah SWT. Namun, di balik gema takbir yang menggema dan tumpukan daging kurban yang berlimpah, muncul pertanyaan yang tak kalah penting: apakah nilai-nilai keadilan sosial yang menjadi inti dari ajaran ini masih benar-benar dihayati, atau hanya tersisa sebagai simbol semu?

Kurban: Antara Spiritualitas dan Formalitas

Setiap tahun, jutaan hewan disembelih atas nama ibadah kurban. Namun, dalam praktiknya, penyembelihan ini kerap kehilangan makna dasarnya. Bagi sebagian orang, kurban hanya menjadi agenda tahunan untuk menggugurkan kewajiban, formalitas sosial, atau bahkan ajang menunjukkan status ekonomi—bukan sebagai cermin kepedulian kepada yang tertindas dan kekurangan.

Bukankah inti dari kurban adalah berbagi? Lalu mengapa distribusi dagingnya masih sering timpang? Di kota-kota besar, kita menyaksikan pemandangan daging yang menumpuk di kompleks perumahan mewah, sementara warga di gang sempit dan pelosok kampung bahkan tidak kebagian satu pun potong.

Keadilan Sosial yang Terlupakan

Islam mengajarkan bahwa kurban bukan hanya soal ibadah individual, tapi juga soal keberpihakan pada mereka yang termarginalkan. Maka wajar jika kita mempertanyakan: apa arti kurban jika tidak sampai pada mereka yang benar-benar lapar?
Apa gunanya menyembelih sapi besar seharga puluhan juta, jika masih ada tetangga yang tidak bisa beli beras? Jika kurban dilakukan hanya untuk “yang dekat”, “yang kita kenal”, atau bahkan “yang bisa posting ucapan terima kasih di grup WhatsApp”, maka nilai keadilannya telah terkikis.

Dalam banyak kasus, warga miskin kota, pemulung, buruh harian, dan kelompok rentan lainnya bahkan tidak masuk dalam radar penerima kurban. Mereka menjadi penonton di tengah pesta daging tahunan.

Kritik untuk Diri Kita Sendiri

Idul Adha seharusnya menjadi ajang perenungan kolektif: sudahkah kita berlaku adil dalam berkurban? Apakah kita hanya sibuk mengurus hewan yang gemuk dan sempurna, tapi lupa memastikan bahwa kurban benar-benar menyentuh yang paling membutuhkan?

Sering kali, perhatian kita lebih besar pada jenis sapi, beratnya, harga pasarnya, dan bagaimana cara menyembelih yang sesuai syariat, tapi minim refleksi tentang untuk siapa daging itu sebenarnya ditujukan.

Jika kurban hanya menjadi tontonan tahunan tanpa dampak sosial yang nyata, maka ia telah berubah dari ibadah yang transformatif menjadi sekadar ritual simbolik—megah, tapi kosong makna.

Penutup: Menyembelih Hewan, Menyembelih Ketimpangan

Idul Adha tak boleh berhenti di atas altar penyembelihan hewan. Ia harus menyentuh jantung problem sosial kita: ketimpangan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Kita perlu menumbuhkan kembali semangat keadilan profetik yang menjadi fondasi Islam: memberi pada yang tak punya, menyejahterakan yang tertindas, dan menghadirkan ibadah yang berdampak.

Sebab, pada akhirnya, makna terdalam dari kurban bukan terletak pada darah dan dagingnya, tetapi pada kesediaan kita untuk menyembelih ego, kemapanan, dan ketidakpedulian kita sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa