Idul Adha: Mengasah Keikhlasan di Tengah Dunia yang Penuh Tuntutan

Idul Adha selalu datang membawa pesan yang dalam—tentang pengorbanan, keikhlasan, dan kepasrahan total kepada kehendak Ilahi. Di tengah dunia yang semakin riuh, serba cepat, dan penuh tuntutan material, nilai-nilai ini terasa makin langka. Justru karena itulah, Idul Adha menjadi sangat relevan untuk direnungi hari ini.

Keikhlasan: Sebuah Kemewahan di Era Kompetisi

Kita hidup di zaman di mana segala sesuatu dinilai dari tampilan luar dan pencapaian. Bahkan dalam beribadah pun, terkadang tak luput dari dorongan untuk “tampak” saleh. Di tengah tren media sosial, tak jarang kurban dijadikan konten: dari pemilihan hewan hingga dokumentasi penyembelihan.

Apakah salah? Tidak sepenuhnya. Tapi kita perlu menjaga agar ibadah tidak berubah menjadi pertunjukan. Idul Adha mengajak kita kembali ke niat yang jernih: berkurban bukan untuk dipuji, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meringankan beban sesama.

Belajar dari Ibrahim dan Ismail

Nabi Ibrahim tidak hanya diminta mengorbankan anaknya. Ia diminta menyerahkan sesuatu yang sangat ia cintai. Ismail pun tidak hanya taat, tetapi ikhlas menyerahkan dirinya demi menjalankan perintah Tuhan.

Ini bukan sekadar kisah. Ini adalah panggilan abadi bagi siapa pun yang ingin hidup dengan keimanan sejati. Dalam kehidupan kita hari ini, mungkin Allah tidak meminta kita menyembelih anak atau harta benda, tapi barangkali diminta menyembelih ambisi, ego, atau hawa nafsu demi kebaikan yang lebih besar.

Kurban Bukan Soal Mampu, Tapi Mau

Sering kali orang berkata, “Saya belum mampu berkurban.” Padahal, kurban tidak diukur dari banyaknya harta, tapi dari kesungguhan hati. Banyak yang berkecukupan tapi enggan berbagi, sementara ada yang pas-pasan tapi menabung sedikit demi sedikit agar bisa berkurban walau hanya sepertujuh sapi.

Ini adalah pelajaran penting bahwa berkurban bukan sekadar menyembelih hewan, tapi melatih diri untuk rela melepaskan. Melepaskan sebagian hak demi orang lain. Melepaskan egoisme demi solidaritas. Melepaskan kenyamanan demi tanggung jawab sosial.

Idul Adha sebagai Cermin Diri

Idul Adha tidak pernah berubah. Tapi kita yang sering berubah—terlena oleh rutinitas, terjebak dalam kompetisi, atau merasa cukup hanya dengan menjalankan formalitas. Inilah saatnya kita menjadikan Idul Adha sebagai cermin: sudahkah kita benar-benar ikhlas dalam berbuat? Sudahkah kita siap memberi tanpa pamrih?

Di tengah dunia yang penuh tuntutan, keikhlasan adalah kemewahan spiritual. Dan Idul Adha adalah momen terbaik untuk mengasahnya kembali.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanggapan MUI Kabupaten Lombok Tengah terhadap Ajaran Lalu Dahlan: Sebuah Klarifikasi dan Tindakan Tegas

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak