Hijrah di Era Digital: Momentum Tahun Baru Islam untuk Perubahan Diri dan Komunitas Online
Oleh: Lukmanul Hakim
Tahun Baru Islam, dengan pergantian kalender hijriah ke 1447 H (mengacu pada penanggalan yang umum terjadi pada pertengahan 2025), senantiasa menjadi momen refleksi dan evaluasi diri bagi umat Muslim di seluruh dunia. Spirit hijrah, yang melambangkan perpindahan dari kondisi yang kurang baik menuju yang lebih baik, dari kegelapan menuju cahaya, merupakan esensi utama yang relevan sepanjang masa. Di era digital yang serba cepat ini, makna hijrah menemukan relevansi baru, bukan hanya dalam konteks fisik atau geografis, melainkan juga dalam ranah virtual dan kehidupan daring kita. Ini adalah panggilan untuk bertransformasi dalam cara kita berinteraksi dengan dunia maya, menjadikan setiap klik dan unggahan sebagai bagian dari perjalanan menuju kebaikan.
Secara historis, hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah adalah sebuah revolusi sosial, politik, dan spiritual yang membentuk fondasi peradaban Islam. Hijrah bukan sekadar perpindahan tempat, melainkan sebuah komitmen total untuk meninggalkan kemaksiatan dan kezaliman demi tegaknya kebenaran dan keadilan. Sebagaimana diungkapkan oleh Haidar Bagir dalam bukunya Islam Tuhan, Islam Manusia (2015), hijrah adalah manifestasi konkret dari keberanian dan keyakinan dalam menempuh jalan yang diridai Allah, bahkan ketika itu berarti meninggalkan zona nyaman. Analogi ini sangat relevan dengan tantangan digital kita saat ini, di mana "zona nyaman" bisa jadi adalah kemudahan untuk tenggelam dalam informasi yang tidak bermanfaat atau terjebak dalam perilaku daring yang tidak etis.
Di abad ke-21, medan "pertempuran" kita mungkin bukan lagi gurun pasir atau medan pertempuran fisik, melainkan layar gawai, platform media sosial, dan dunia maya yang tak terbatas. Kita setiap hari terpapar informasi, baik yang benar maupun hoaks, kebaikan maupun ujaran kebencian, motivasi maupun distraksi. Penelitian dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Indonesia menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari di internet, dengan media sosial sebagai platform yang paling sering diakses (APJII, 2024). Di sinilah urgensi hijrah di era digital menemukan signifikansinya: ia menuntut kita untuk memilih secara sadar bagaimana kita berinteraksi dengan teknologi dan informasi yang begitu melimpah.
Hijrah di era digital ini memiliki beberapa dimensi penting. Pertama, hijrah dari konsumsi informasi negatif ke konten bermakna. Kita harus selektif dalam mengonsumsi informasi. Berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk menggulir linimasa tanpa tujuan, terpapar berita provokatif, atau konten yang tidak mendidik? Hijrah digital berarti beralih dari pasifnya penerima informasi menjadi pencari pengetahuan yang bermanfaat, inspirasi, dan konten yang mendekatkan diri pada kebaikan. Mengikuti akun-akun keagamaan yang moderat, lembaga pendidikan Islam yang kredibel, atau individu yang menyebarkan nilai-nilai positif adalah bagian dari hijrah ini. Gus Mus, K.H. Mustofa Bisri, dalam berbagai ceramahnya sering mengingatkan bahwa "Ilmu itu harus mendekatkan pada Tuhan, bukan menjauhkan," sebuah adagium yang sangat pas dalam konteks pemilihan konten digital.
Kedua, hijrah dari perilaku negatif ke etika digital yang Islami. Media sosial seringkali menjadi sarana untuk meluapkan emosi, menyebarkan gosip, atau bahkan melakukan perundungan siber. Sebuah studi oleh Survei Internet APJII 2023 (APJII, 2024) mencatat peningkatan kasus kejahatan siber, termasuk yang berkaitan dengan ujaran kebencian. Hijrah digital menuntut kita untuk mengendalikan jari dan lisan di dunia maya. Berpikir dua kali sebelum mengunggah sesuatu, menjaga lisan dari ghibah (menggunjing) dan fitnah, serta menyebarkan kedamaian adalah implementasi etika Islam dalam berinternet. Konsep tabayyun (klarifikasi) yang diajarkan dalam Al-Qur'an (QS. Al-Hujurat: 6) sangat relevan untuk mencegah penyebaran hoaks dan misinformasi, yang kini menjadi masalah serius di ranah daring. Sebagaimana dijelaskan oleh pakar komunikasi Islam, Prof. Dr. Harjani Hefni dalam artikelnya "Etika Komunikasi dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadis" (2018), prinsip kejujuran dan verifikasi adalah kunci dalam komunikasi yang bertanggung jawab.
Ketiga, hijrah membangun komunitas online yang produktif dan positif. Media sosial memiliki potensi besar untuk membangun komunitas yang kuat dan berdampak. Hijrah digital berarti memanfaatkan platform ini untuk tujuan yang lebih besar: berkolaborasi dalam kebaikan, menyebarkan dakwah bil hal (dakwah melalui perbuatan), menggalang dana untuk kemanusiaan, atau membentuk kelompok studi daring. Sebagaimana dicontohkan oleh berbagai komunitas daring yang berfokus pada kajian Islam, filantropi digital, atau bahkan pengembangan diri, kekuatan kolektif di ranah virtual dapat menghasilkan dampak nyata. Komunitas seperti Quran Explorer atau gerakan filantropi daring melalui platform seperti Kitabisa.com adalah bukti bagaimana teknologi dapat dimanfaatkan untuk kebaikan bersama.
Tahun Baru Islam 1446 H adalah momentum ideal untuk memulai hijrah digital ini. Ini bukan sekadar perubahan tren, melainkan sebuah kebutuhan esensial untuk menjaga spiritualitas dan moralitas di tengah derasnya arus modernisasi. Kita diajak untuk melakukan introspeksi: Seberapa produktifkah waktu yang kita habiskan di dunia maya? Konten apa yang paling sering kita konsumsi dan sebarkan? Apakah interaksi kita di media sosial mencerminkan akhlak seorang Muslim? Mari jadikan Tahun Baru Islam ini sebagai titik tolak untuk hijrah digital yang transformatif. Bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk berkontribusi dalam membentuk ekosistem digital yang lebih sehat, bermakna, dan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, spirit hijrah tidak hanya menjadi narasi sejarah, tetapi sebuah laku hidup yang relevan dan mencerahkan di setiap zaman, termasuk di era digital yang kita huni.
Daftar Pustaka
* APJII. (2024). Survei Internet APJII 2023: Profil Pengguna Internet Indonesia. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia.
* Bagir, Haidar. (2015). Islam Tuhan, Islam Manusia: Pergulatan Islam dengan Modernitas. Bandung: Mizan Pustaka.
* Hefni, Harjani. (2018). Etika Komunikasi dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadis. Jurnal Komunikasi Islam, Vol. 8, No. 1.
* Al-Qur'an, Surah Al-Hujurat Ayat 6.
Komentar
Posting Komentar