Hadis Perpecahan Bukan untuk Menyesatkan, Tapi untuk Mempersatukan

Oleh: Lukmanul Hakim


Ketika Perbedaan Dijadikan Alat Pemecah

Salah satu hadis Nabi yang paling sering dikutip dalam perdebatan sektarian umat Islam berbunyi:

"Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua masuk neraka kecuali satu."
(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lainnya dengan variasi redaksi)

Hadis ini sangat populer, tetapi juga rentan disalahpahami. Dalam banyak forum, hadis ini dijadikan dasar untuk mengklaim kebenaran tunggal dan menyesatkan golongan lain. Satu kelompok mengaku “golongan yang selamat” (al-firqah an-nājiyah), lalu menjadikan 72 kelompok lain sebagai sesat—bahkan tak jarang dicap kafir atau ahli neraka.

Padahal, apakah ini maksud sabda Rasulullah ﷺ?


Hadis Peringatan, Bukan Legalisasi Perpecahan

Ulama hadits dan tafsir klasik maupun kontemporer menafsirkan bahwa hadis ini bukanlah justifikasi untuk perpecahan, melainkan peringatan keras agar umat Islam tidak terjerumus dalam jalan-jalan yang menyimpang dari nilai-nilai Islam yang otentik.

Imam al-Syatibi dalam al-I’tisham menjelaskan bahwa “firqah najiyah” bukan soal nama kelompok, mazhab, atau madzhab politik. Melainkan ciri mereka adalah konsistensi terhadap manhaj (jalan) Nabi dan para sahabatnya, terutama dalam menjaga adab, akhlak, dan ukhuwah.

Imam al-Nawawi pun menegaskan dalam syarah Muslim bahwa perbedaan furu’ (cabang-cabang hukum) dalam Islam bukanlah bentuk perpecahan yang tercela, apalagi jika tidak menyentuh pokok akidah. Dalam keragaman pandangan fiqih, justru terdapat keluasan rahmat.


Tafsir Al-Firqah an-Najiyah yang Bersifat Moral, Bukan Formal

Mengklaim diri sebagai satu-satunya golongan yang benar bisa menjerumuskan ke dalam kesombongan beragama, yakni penyakit rohani yang lebih berbahaya dari sekadar kesalahan teologis.

Dalam riwayat lain, Nabi Muhammad ﷺ menjelaskan bahwa golongan yang selamat adalah “ma ana ‘alaihi wa ash-habī” — mereka yang mengikuti jalan hidupku dan para sahabatku. Ini menyiratkan bahwa karakter, moral, dan kesetiaan terhadap nilai-nilai Islam yang inklusif dan rahmatan lil ‘alamin adalah ciri utama golongan yang selamat — bukan bendera kelompok, jargon mazhab, atau simbol keislaman semata.


Mengembalikan Fungsi Hadis sebagai Pemersatu

Jika dibaca dengan bijak, hadis ini mengingatkan kita bahwa:

  • Perpecahan adalah keniscayaan sejarah, tapi tidak boleh menjadi takdir permanen umat Islam.
  • Keberagaman mazhab bukan tanda kehancuran, tapi pancaran dinamika ijtihad umat.
  • Yang harus diperangi adalah perpecahan hati, bukan perbedaan tafsir.

Sebagaimana pesan Allah dalam QS. Ali Imran ayat 103:

“Berpeganglah kalian semua pada tali Allah, dan janganlah bercerai-berai…”


Simpulan: Saatnya Kembali ke Jiwa Islam

Perbedaan adalah rahmat, tapi persaudaraan adalah kewajiban. Maka marilah kita tidak menggunakan hadis Nabi untuk mengklaim kebenaran eksklusif. Hadis ini tidak mengajarkan fanatisme, tapi mengajak kita agar berbenah secara kolektif, introspektif, dan bersatu di bawah nilai Islam yang damai.

Jangan sampai, dalam usaha menjadi “golongan yang selamat,” justru kita menjadi golongan yang menyesatkan sesama.


Referensi:

  • Al-Nawawi, Syarh Muslim
  • Al-Syatibi, al-I’tisham
  • Yusuf al-Qaradawi, al-Sahwah al-Islamiyyah
  • Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Hadithiyyah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa