Fikih Jihad Kontekstual: Menjawab Tantangan Global dengan Pendekatan Moderat

Oleh: Lukmanul Hakim

Dalam lanskap geopolitik modern, narasi seputar jihad seringkali terdistorsi dan terjebak dalam pusaran ekstremisme dan misinterpretasi. Istilah yang mulia ini, yang akar katanya bermakna "perjuangan" atau "usaha sungguh-sungguh" dalam menegakkan kebaikan, justru kerap diasosiasikan dengan kekerasan dan terorisme. Oleh karena itu, urgensi untuk mengembangkan fikih jihad kontekstual menjadi krusial. Ini adalah sebuah pendekatan yang menafsirkan ajaran-ajaran jihad sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang moderat, universal, dan relevan dengan tantangan global kontemporer.

Meluruskan Pemahaman Klasik: Jihad Bukan Hanya Perang

Secara tradisional, para ulama fikih klasik seperti Imam Syafi'i dan Imam Malik telah membahas jihad dalam kerangka hukum perang (seperti dalam kitab al-Umm atau al-Muwatta'). Namun, pandangan ini umumnya merujuk pada jihad al-asghar (perjuangan kecil), yaitu pertahanan diri atau pembelaan terhadap penindasan. Jauh lebih fundamental adalah jihad al-akbar (perjuangan besar), yaitu perjuangan melawan hawa nafsu dan kelemahan diri sendiri, sebagaimana ditekankan oleh Al-Ghazali dalam Ihya' Ulum al-Din.

Fikih jihad kontekstual berupaya untuk memperluas pemahaman ini, menegaskan bahwa jihad adalah konsep yang jauh lebih luas dan beragam. Ia mencakup upaya intelektual, sosial, ekonomi, bahkan ekologis, yang semuanya bertujuan untuk mewujudkan rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam). Ini adalah perjuangan untuk menciptakan keadilan, perdamaian, dan kesejahteraan di muka bumi, bukan untuk menebar kerusakan atau kebencian.

Dasar dari pendekatan ini terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Al-Qur'an secara tegas melarang permusuhan yang melampaui batas dan pembunuhan yang tidak dibenarkan. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah (2:190), "Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." Ayat ini menjadi landasan kuat untuk moderasi dalam segala bentuk perjuangan. Lebih lanjut, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Orang Muslim adalah orang yang Muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya." (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menegaskan pentingnya menjaga kedamaian dan keamanan bagi seluruh umat manusia.

Pilar-Pilar Fikih Jihad Kontekstual

Pengembangan fikih jihad kontekstual bertumpu pada beberapa pilar utama:

 * Prioritas Perdamaian dan Dialog: Dalam Islam, damai adalah prinsip dasar (asl), sementara perang adalah pengecualian dan hanya dibenarkan dalam kondisi ekstrem untuk mempertahankan diri atau keadilan. Fikih jihad kontekstual mengedepankan resolusi konflik melalui dialog, negosiasi, dan upaya diplomatik. Pendekatan ini selaras dengan ajaran Al-Qur'an yang mendorong perdamaian jika musuh cenderung damai: "Dan jika mereka cenderung kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah." (QS. Al-Anfal: 61).

 * Universalitas Kemanusiaan: Jihad yang benar tidak mengenal batasan suku, agama, atau bangsa dalam konteks kepedulian. Ini adalah perjuangan untuk mengangkat harkat martabat manusia secara universal. Konsep maqasid syariah (tujuan-tujuan syariah), yang mencakup pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, menjadi kerangka etis untuk setiap bentuk jihad. Memelihara jiwa manusia, tanpa memandang latar belakangnya, adalah prioritas utama. (Lihat Al-Shatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Shariah).

 * Keadilan sebagai Fondasi: Keadilan adalah esensi ajaran Islam. Jihad harus selalu dijiwai oleh semangat keadilan, baik dalam merespons ketidakadilan maupun dalam memperjuangkan hak-hak yang terampas. Ini berlaku untuk keadilan ekonomi, sosial, politik, bahkan lingkungan. Melawan korupsi, diskriminasi, dan penindasan ekonomi adalah bentuk-bentuk jihad yang sangat relevan.

 * Pendekatan Bertahap (Tadarruj) dan Fleksibilitas (Murunah): Realitas dunia yang kompleks menuntut fleksibilitas dalam penerapan fikih. Fikih jihad kontekstual mengakui bahwa solusi untuk tantangan global tidak bisa seragam dan seringkali memerlukan pendekatan bertahap, menyesuaikan diri dengan kondisi lokal dan global. Ini menuntut ijtihad (penalaran hukum) yang dinamis dari para ulama kontemporer.

Relevansi di Tengah Tantangan Global

Di tengah gelombang terorisme yang mengatasnamakan agama, fikih jihad kontekstual menawarkan antitesis yang kuat. Ia menegaskan bahwa kekerasan tanpa hak, penargetan warga sipil tak berdosa, dan perusakan lingkungan bukanlah bagian dari jihad Islam yang otentik. Sebaliknya, jihad yang otentik adalah perjuangan untuk:

 * Pendidikan: Memerangi kebodohan dan menyebarkan ilmu pengetahuan adalah jihad akbar yang membangun peradaban.

 * Kemanusiaan: Memberikan bantuan kepada korban bencana, memerangi kemiskinan, dan memperjuangkan kesehatan global adalah bentuk jihad yang mulia.

 * Lingkungan: Melestarikan bumi dan sumber dayanya adalah tanggung jawab sebagai khalifah di muka bumi.

 * Advokasi Keadilan: Memperjuangkan hak-hak minoritas, melawan penindasan politik, dan menegakkan hukum adalah jihad yang menuntut keberanian moral.

Mengutip pemikir Muslim kontemporer seperti Yusuf Al-Qaradawi yang menyerukan fiqh al-awlawiyat (fikih prioritas) dalam konteks modern, jihad pendidikan, jihad kemanusiaan, dan jihad pembangunan harus menjadi prioritas utama umat Islam saat ini.

Simpulan

Fikih jihad kontekstual bukan hanya sekadar penafsiran ulang, melainkan sebuah keharusan teologis dan sosiologis. Ini adalah upaya kolektif untuk merebut kembali narasi jihad dari tangan ekstremis, mengembalikannya pada makna aslinya sebagai perjuangan mulia untuk kebaikan. Dengan pendekatan moderat ini, umat Islam dapat secara efektif menjawab tantangan global, berkontribusi pada perdamaian dunia, dan menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kasih sayang, keadilan, dan rahmat bagi seluruh alam. Ini adalah jihad yang sesungguhnya—perjuangan tanpa henti untuk membangun peradaban yang lebih baik, di mana keadilan dan kedamaian bersemi.

Referensi:

Al-Qur'an, Surah Al-Baqarah (2:190) dan Surah Al-Anfal (8:61).

Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim.

Al-Ghazali. (Abad ke-11). Ihya' 'Ulum al-Din.

Al-Qaradawi, Yusuf. (1993). Fiqh al-Awlawiyat: Dirasah Jadidah fi Daw' al-Qur'an wa al-Sunnah.

Al-Shatibi, Abu Ishaq. (Abad ke-14). Al-Muwafaqat fi Usul al-Shariah.

Esposito, John L. (2002). Unholy War: Terror in the Name of Islam. Oxford University Press. 

Ramadan, Tariq. (2004). Western Muslims and the Future of Islam. Oxford University Press. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa