Fenomena Guru Spiritual Abal-abal: Antara Jubah Sufi dan Mentalitas Dukun
Oleh: Lukmanul Hakim
Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Indonesia menyaksikan kemunculan tokoh-tokoh keagamaan yang mengaku sebagai mursyid tarekat atau guru ruhani, tetapi dalam praktiknya kerap mempertontonkan perilaku dan ajaran yang menyimpang dari prinsip-prinsip dasar tasawuf dan syariat Islam. Mereka tampil dengan simbol-simbol kesufian—jubah putih, sorban, lantunan zikir—namun di balik itu tersembunyi praktik-praktik yang lebih menyerupai dunia perdukunan daripada jalan para wali.
Fenomena ini bukan hanya menyesatkan sebagian umat, tetapi juga mencoreng citra luhur tasawuf sebagai jalan pembersihan diri yang telah diwariskan oleh para ulama dan shalihin dari generasi ke generasi.
Tasawuf dan Syariat: Dua Pilar yang Tak Terpisahkan
Tasawuf dalam Islam bukanlah jalan mistik yang bebas nilai. Ia adalah bagian integral dari agama, yang berdiri di atas fondasi syariat. Tujuan utama tasawuf adalah tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dan tahdzibul akhlak (pembinaan akhlak), sebagaimana dinyatakan oleh para imam besar tasawuf.
Imam Junaid al-Baghdadi pernah berkata:
“Jalan kami ini terikat dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Barang siapa tidak membaca al-Qur’an, tidak menulis hadis, maka ia tidak pantas diteladani dalam jalan ini.”
(Hilyat al-Awliya’, 10/279)
Ulama sufi klasik seperti Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din menekankan bahwa spiritualitas Islam tidak boleh lepas dari ilmu fikih dan akidah. Tanpa keterikatan kepada syariat, tasawuf bisa melenceng menjadi bentuk mistisisme yang liar dan berbahaya.
Ciri-ciri Penyimpangan
Sayangnya, sebagian tokoh spiritual kontemporer mengajarkan tasawuf dengan pendekatan yang menyimpang, bahkan keluar dari batasan agama. Beberapa ciri umum penyimpangan tersebut antara lain:
-
Klaim kewalian dan ilham langsung dari Allah, bahkan mengaku bertemu Nabi atau malaikat dalam keadaan sadar. Ini bertentangan dengan prinsip tawadhu’ dan kehati-hatian para wali sejati.
-
Penggunaan asma atau zikir-zikir yang tidak bersanad serta tidak ditemukan dalam literatur tarekat mu’tabarah. Banyak yang bahkan mencampurkannya dengan unsur magis dan kekuatan gaib.
-
Pemanfaatan benda-benda pribadi seperti air bekas wudhu, keringat, atau pakaian guru sebagai media berkah, yang lebih mirip dengan praktik kultus personal.
-
Kegiatan komersial atas nama tarekat atau zikir, seperti menjual “ilmu hikmah”, “jimat syar’i”, “pelaris halal”, dan sebagainya.
-
Pengultusan terhadap tokoh guru secara berlebihan, hingga menempatkannya di posisi tak tersentuh dan suci dari kritik, bahkan lebih tinggi dari ulama salaf.
Ulama besar seperti Syaikh Ahmad Zarruq dalam Qawa‘id al-Tashawwuf telah mengingatkan:
“Jangan mengambil guru dalam tasawuf kecuali ia alim dalam syariat dan bersambung silsilahnya hingga Rasulullah ﷺ.”
Tasawuf yang benar harus dilandaskan pada sanad keilmuan yang valid dan akidah yang lurus.
Antara Spiritualitas dan Khurafat
Mengapa banyak orang terjebak dalam praktik-praktik tersebut? Salah satu faktornya adalah krisis spiritual yang dialami masyarakat modern. Ketika kehidupan material tidak lagi memberi ketenangan, sebagian mencari jalan pintas menuju “ketenangan batin” tanpa menyadari risiko ajaran sesat.
Di sisi lain, maraknya media sosial dan platform digital juga membuka ruang luas bagi pencitraan tokoh-tokoh spiritual tanpa filter keilmuan. Popularitas dan jumlah pengikut lebih dipentingkan daripada kelurusan sanad atau kesahihan ajaran.
Fenomena ini juga menyentuh wilayah psikologis: manusia cenderung mencari figur karismatik untuk diikuti, terutama jika tokoh tersebut mampu menghadirkan aura "sakral" dan "berbeda".
Solusi: Kembali ke Tasawuf Muktabar
Dalam tradisi Ahlussunnah wal Jamaah, tasawuf ditempatkan dalam bingkai syariat dan akidah yang sahih. Kita mengenal tarekat-tarekat muktabarah seperti Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syadziliyah, dan lainnya, yang memiliki silsilah keilmuan yang jelas dan terjaga.
Ciri tarekat yang benar adalah:
- Tidak bertentangan dengan syariat.
- Mengajarkan ilmu zikir dan adab melalui sanad keilmuan.
- Tidak menjanjikan karamah atau kekayaan.
- Tidak menutup pintu kritik dan musyawarah.
Penutup
Masyarakat perlu lebih cermat dalam memilih bimbingan spiritual. Jangan mudah terpesona dengan penampilan lahiriah atau klaim-klaim luar biasa. Sebagaimana pesan Imam asy-Syafi‘i:
“Jika engkau melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara, jangan tertipu hingga engkau lihat sejauh mana ia memegang syariat.”
(Risalah Qusyairiyah)
Tasawuf bukan jalan mencari keajaiban, tapi jalan menuju Allah dengan hati yang bersih, adab yang lurus, dan akidah yang sahih. Mari jaga kemurnian tasawuf dari infiltrasi kesesatan dan eksploitasi spiritual. Wallahu a‘lam.
Referensi:
- Abu Nu‘aim al-Ashbahani, Hilyat al-Awliya’
- Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din
- Syaikh Ahmad Zarruq, Qawa‘id al-Tashawwuf
- Imam al-Qusyairi, Risalah Qusyairiyah
- Ibnu Taimiyah, Majmu‘ al-Fatawa
Komentar
Posting Komentar