Etika Algoritma dalam Bingkai Syariah: Membangun AI yang Adil dan Berkah

Oleh: Lukmanul Hakim

Pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI) telah membawa revolusi ke hampir setiap aspek kehidupan. Dari rekomendasi belanja hingga sistem medis, algoritma kini membentuk keputusan yang berdampak besar. Namun, di balik efisiensi dan inovasi yang ditawarkan, tersembunyi tantangan etika yang mendalam. Bagaimana kita memastikan bahwa AI yang kita bangun tidak hanya cerdas, tetapi juga adil, transparan, dan bertanggung jawab? Bagi umat Islam, pertanyaan ini semakin relevan: bisakah kita menyelaraskan pengembangan algoritma dengan prinsip-prinsip syariah untuk membangun AI yang "berkah"?

Problematika bias algoritma menjadi salah satu isu sentral. Algoritma sering kali melanggengkan, bahkan memperkuat, prasangka yang ada dalam data pelatihan. Jika data historis mencerminkan diskriminasi gender atau ras, sistem AI yang dilatih dengan data tersebut kemungkinan besar akan mereplikasi diskriminasi serupa. Safiya Umoja Noble dalam bukunya Algorithms of Oppression: How Search Engines Reinforce Racism secara tajam menguraikan bagaimana bias rasial dan gender dapat tertanam dalam algoritma mesin pencari, memperpetuasi stereotip negatif. Dalam konteks syariah, diskriminasi semacam ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan ('adl) dan kesetaraan (musawah) yang fundamental dalam Islam. Setiap manusia, tanpa memandang ras, gender, atau latar belakang, memiliki martabat yang sama di hadapan Allah (QS. Al-Hujurat: 13). Oleh karena itu, membangun AI yang bias berarti menyimpang dari inti ajaran Islam.

Selanjutnya, isu transparansi dan akuntabilitas algoritma sangat krusial. Banyak algoritma AI, terutama model deep learning, beroperasi seperti "kotak hitam" (black box), di mana sulit untuk memahami bagaimana suatu keputusan diambil. Ini menimbulkan masalah akuntabilitas ketika terjadi kesalahan atau ketidakadilan. Siapa yang bertanggung jawab jika sebuah AI membuat keputusan yang merugikan? Dalam hukum Islam, konsep pertanggungjawaban (mas'uliyah) adalah pilar penting. Setiap tindakan memiliki konsekuensi, dan pelakunya harus dimintai pertanggungjawaban. Jika kita tidak dapat melacak proses pengambilan keputusan AI, maka prinsip akuntabilitas ini terancam. Para ilmuwan Muslim dan praktisi AI harus berupaya mengembangkan algoritma yang dapat dijelaskan (explainable AI/XAI) agar prosesnya dapat diaudit dan dipertanggungjawabkan.

Lebih dari sekadar menghindari keburukan, etika algoritma dalam bingkai syariah harus berorientasi pada kebaikan dan kemaslahatan (maslahah). Ini berarti AI harus dirancang untuk mempromosikan nilai-nilai Islam seperti solidaritas sosial (ta'awun), kasih sayang (rahmah), dan pemerataan sumber daya. Misalnya, AI dapat digunakan untuk mendistribusikan zakat secara lebih efisien, mengidentifikasi daerah yang membutuhkan bantuan kemanusiaan, atau mengembangkan sistem pendidikan yang personalisasi dan inklusif. John Lennox dalam bukunya God's Undertaker: Has Science Buried God? berargumen bahwa sains, termasuk teknologi, dapat digunakan untuk tujuan baik atau buruk, tergantung pada kerangka etika yang melandasinya. Bagi Muslim, kerangka etika itu adalah syariah.

Untuk mewujudkan AI yang adil dan berkah, diperlukan upaya kolektif dari berbagai pihak. Para pengembang AI Muslim harus memiliki pemahaman yang kuat tentang prinsip-prinsip syariah dan mengintegrasikannya sejak tahap desain. Lembaga fatwa dan ahli fikih harus terlibat aktif dalam diskusi mengenai implikasi AI, memberikan panduan dan kerangka kerja etis. Pendidikan dan penelitian interdisipliner yang menggabungkan ilmu komputer, etika, dan studi Islam menjadi esensial untuk melahirkan generasi ilmuwan dan insinyur AI yang "bermoral" (akhlaqi).

Membangun AI yang etis dan sesuai syariah bukanlah hambatan bagi inovasi, melainkan sebuah peluang untuk menciptakan teknologi yang lebih manusiawi dan membawa kebaikan bagi seluruh alam. Dengan membumikan algoritma dalam nilai-nilai keadilan, transparansi, dan kemaslahatan, kita dapat menghadirkan AI yang tidak hanya cerdas secara teknis, tetapi juga berkah secara spiritual dan sosial. Ini adalah misi untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi benar-benar melayani kemanusiaan dalam arti yang paling dalam.

Daftar Pustaka:

Al-Qur'an dan Terjemahannya, Surah Al-Hujurat ayat 13.

Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Syari'ah.

Lennox, John C. God's Undertaker: Has Science Buried God? Lion Hudson, 2007.

 Noble, Safiya Umoja. Algorithms of Oppression: How Search Engines Reinforce Racism. New York University Press, 2018


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa