Dari Sejarah ke Arah Baru: Tahun Baru Islam dan Tantangan Peradaban Masa Depan
Oleh: Lukmanul Hakim
Tahun Baru Islam, dengan peringatan pergantian kalender Hijriah ke 1447 H, bukan sekadar penanda waktu yang bergeser. Lebih dari itu, ia adalah jembatan yang menghubungkan kita dengan masa lalu nan agung, sembari menuntun pandangan ke arah masa depan yang penuh tantangan dan potensi. Spirit hijrah—perpindahan dari kemungkaran menuju kebaikan, dari kejumudan menuju kemajuan—yang menjadi fondasi penanggalan Islam, sejatinya merupakan seruan abadi untuk terus berinovasi dan berkontribusi pada kemajuan peradaban. Kita diajak untuk menengok kembali kejayaan Islam di masa lalu sebagai bekal menghadapi kompleksitas peradaban di masa depan.
Sejarah peradaban Islam adalah bukti nyata bagaimana nilai-nilai tauhid, ilmu pengetahuan, dan keadilan mampu melahirkan masa keemasan yang mencerahkan dunia. Dari Baghdad hingga Cordoba, para cendekiawan muslim tidak hanya melestarikan ilmu dari peradaban sebelumnya, tetapi juga mengembangkan berbagai disiplin ilmu seperti matematika, astronomi, kedokteran, dan filsafat. Ibnu Sina dengan The Canon of Medicine atau Al-Khawarizmi dengan aljabar adalah contoh-contoh gemilang kontribusi Islam bagi kemanusiaan (Nasr, 1976). Keberhasilan ini, seperti diuraikan oleh Ziauddin Sardar dalam Desperately Seeking Paradise: Journeys of a Sceptical Muslim (2005), didasari oleh semangat ijtihad (penalaran independen) dan tafakkur (perenungan) yang mendorong umat untuk terus mencari kebenaran dan solusi. Spirit inilah yang harus kita tarik dari lembaran sejarah untuk menjawab tantangan masa kini.
Peradaban masa depan menyajikan tantangan yang multidimensional, jauh melampaui apa yang pernah dihadapi generasi muslim sebelumnya. Era disrupsi teknologi, seperti kecerdasan buatan (AI) dan bioteknologi, membawa potensi luar biasa sekaligus dilema etis. Kita dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang esensi kemanusiaan, privasi data, hingga ketimpangan digital. Selain itu, krisis lingkungan global menuntut tanggung jawab kolektif untuk menjaga keberlanjutan bumi. Islam, dengan konsep khalifah fil ardhi (manusia sebagai khalifah di bumi) yang menekankan tanggung jawab atas alam, menawarkan landasan etis yang kuat untuk merespons krisis iklim (Foltz, 2010). Tantangan lain adalah polarisasi sosial dan ekstremisme, yang mengancam kohesi masyarakat global. Di sinilah nilai-nilai moderasi (wasatiyyah), toleransi, dan persatuan dalam Islam menjadi sangat krusial untuk membangun harmoni.
Menyambut Tahun Baru Islam 1446 H, kita perlu merumuskan kembali arah kontribusi peradaban Islam di masa depan. Ini bukan lagi tentang membangun kekhalifahan geografis, melainkan kekhalifahan ide dan solusi. Umat Islam harus proaktif dalam: (1) Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Berbasis Etika Islam: Memastikan inovasi teknologi selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, serta tidak merusak lingkungan. (2) Penguatan Narasi Moderasi dan Kemanusiaan: Mempromosikan Islam sebagai agama rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin), yang menjunjung tinggi toleransi, dialog, dan persaudaraan antarsesama. (3) Pemberdayaan Komunitas Muslim Global: Menggalakkan kolaborasi lintas negara dan disiplin ilmu untuk bersama-sama mencari solusi atas masalah global, mulai dari kemiskinan, pendidikan, hingga kesehatan. Tahun Baru Islam adalah pengingat bahwa warisan peradaban kita adalah fondasi, namun puncak kejayaan baru akan tercapai jika kita berani menatap ke depan, merangkul tantangan, dan beraksi dengan semangat ijtihad dan hikmah di setiap langkah.
Daftar Pustaka
* Foltz, R. C. (2010). Science, Religion, and the Human Experience. Oneworld Publications.
* Nasr, S. H. (1976). Science and Civilization in Islam. Harvard University Press.
* Sardar, Z. (2005). Desperately Seeking Paradise: Journeys of a Sceptical Muslim. Granta Books.
Komentar
Posting Komentar