Bioetika Islam dan Revolusi Genom: Ketika Sains Bertemu Keadilan Tuhan

Oleh: Lukmanul Hakim

Revolusi genom, dengan kemampuannya memanipulasi materi genetik, telah membuka cakrawala baru yang menakjubkan dalam dunia sains dan kedokteran. Dari terapi gen untuk penyakit genetik hingga rekayasa genetika pada tanaman, potensinya tak terbatas. Namun, seiring dengan kemajuan ini, muncul pertanyaan-pertanyaan etis yang mendalam: Sejauh mana manusia boleh "bermain Tuhan"? Di sinilah bioetika Islam memainkan peran krusial, menawarkan kerangka moral yang kokoh untuk menavigasi kompleksitas revolusi genom agar selaras dengan nilai-nilai keadilan Tuhan dan kemaslahatan umat manusia.

Inti dari pandangan Islam terhadap sains, termasuk genetika, adalah konsep tauhid. Segala sesuatu di alam semesta adalah ciptaan Allah SWT, dan manusia diberi amanah sebagai khalifah fil ardh (wakil di bumi) untuk memelihara dan mengelolanya. Ini berarti sains bukan semata-mata pencarian pengetahuan tanpa batas, melainkan harus diikat oleh prinsip-prinsip syariah yang bertujuan membawa kebaikan (maslahah) dan mencegah kerusakan (mafsadah). Dalam konteks genom, hal ini berarti setiap intervensi genetik harus dipertimbangkan secara cermat dampaknya terhadap individu, masyarakat, dan lingkungan. Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Dr. Yusuf al-Qaradawi, salah seorang ulama kontemporer terkemuka, bahwa "Islam selalu mendukung ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi umat manusia, asalkan tidak melanggar batasan-batasan syariat dan tidak merugikan."

Salah satu isu paling menonjol adalah CRISPR-Cas9, teknologi penyuntingan gen yang memungkinkan perubahan DNA dengan presisi tinggi. Teknologi ini menjanjikan penyembuhan penyakit genetik seperti cystic fibrosis atau sickle cell anemia. Dalam perspektif Islam, terapi gen somatik (yang hanya mempengaruhi individu yang diobati dan tidak diwariskan ke generasi berikutnya) umumnya diterima jika tujuannya adalah pengobatan atau pencegahan penyakit, bukan untuk tujuan non-medis seperti peningkatan kemampuan super (enhancement). Ini sejalan dengan prinsip Islam yang menganjurkan pengobatan dan mencari kesembuhan. Dr. Abdulaziz Sachedina, seorang pakar bioetika Islam dari Amerika Serikat, dalam tulisannya sering menekankan bahwa jika tujuannya adalah menyembuhkan penyakit dan mengurangi penderitaan, maka intervensi genetik seperti ini dapat dibenarkan secara etis dalam Islam. Namun, batasan yang tegas harus ditarik untuk mencegah penyalahgunaan.

Isu yang lebih sensitif adalah penyuntingan gen garis benih (germline editing), yaitu perubahan genetik pada sel telur, sel sperma, atau embrio awal yang akan diwariskan kepada keturunan. Sebagian besar ulama dan komite bioetika Islam cenderung menolak atau sangat berhati-hati terhadap praktik ini. Alasannya bervariasi, termasuk potensi mengubah fitrah ciptaan Allah, kekhawatiran akan timbulnya diskriminasi genetik, risiko efek samping yang tidak diketahui pada generasi mendatang, dan etika modifikasi "desain" manusia secara permanen. Pandangan ini sejalan dengan kaidah fikih tentang "dar'ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih" (menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada mencari kebaikan). Prof. Dr. Yusuf al-Qaradawi sendiri telah berulang kali menyatakan kehati-hatiannya terhadap intervensi genetik yang berpotensi mengubah dasar penciptaan manusia.

Selain itu, kloning manusia juga menjadi topik perdebatan. Mayoritas ulama, seperti yang tercermin dalam fatwa-fatwa dari lembaga seperti Majma' al-Fiqh al-Islami (Organisasi Konferensi Islam) dan juga ditegaskan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengharamkan kloning reproduktif manusia karena dianggap melanggar nasab (garis keturunan), merusak tatanan keluarga, dan mengurangi martabat manusia. Namun, kloning terapeutik (untuk mendapatkan sel punca guna pengobatan) masih menjadi bahan diskusi, dengan beberapa ulama mengizinkan dalam batasan ketat demi tujuan medis yang spesifik.

Penting untuk dicatat bahwa bioetika Islam tidak statis. Ia terus berkembang melalui ijtihad para ulama dan cendekiawan yang mendalam di bidang fikih dan sains. Musyawarah para ahli (ulama, ilmuwan, dokter) menjadi sangat penting untuk merumuskan pedoman yang tepat. Misalnya, Dewan Etik Nasional di Indonesia yang melibatkan berbagai pakar agama dan sains, adalah contoh upaya untuk memberikan panduan etis terhadap isu-isu bioteknologi. Prof. Dr. Ir. H. Mohamad Nuh, DEA, mantan Menteri Pendidikan Nasional yang juga dikenal sebagai cendekiawan Muslim, sering menekankan pentingnya sinergi antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan untuk menghasilkan solusi inovatif yang tetap berlandaskan moral dan etika Islam.

Singkatnya, revolusi genom adalah anugerah ilmu pengetahuan yang berpotensi besar bagi kemanusiaan. Namun, tanpa kendali moral, ia bisa menjadi pedang bermata dua. Bioetika Islam hadir sebagai kompas moral, mengingatkan kita bahwa kemajuan sains harus selalu diimbangi dengan keadilan, kemaslahatan, dan penghormatan terhadap ciptaan Tuhan. Ini adalah dialog berkelanjutan antara akal dan wahyu, di mana sains mencapai puncaknya ketika ia tunduk pada kearifan ilahi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanggapan MUI Kabupaten Lombok Tengah terhadap Ajaran Lalu Dahlan: Sebuah Klarifikasi dan Tindakan Tegas

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak