Benarkah Nabi Muhammad Menjiplak Ajaran Agama Sebelumnya?
Oleh: Lukmanul Hakim
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional
Di tengah arus diskusi lintas agama dan wacana skeptis terhadap sumber ajaran Islam, tidak sedikit yang mempertanyakan orisinalitas Nabi Muhammad ﷺ sebagai penerima wahyu. Salah satu tuduhan yang kadang mencuat adalah bahwa beliau “menjiplak” ajaran agama-agama sebelumnya, seperti Yudaisme dan Kristen. Klaim semacam ini tidak hanya lemah secara historis, tetapi juga mengabaikan dimensi spiritual dan intelektual dari kenabian dalam Islam.
Kesamaan Tidak Berarti Penjiplakan
Islam memang memiliki kemiripan teologis dengan agama-agama samawi sebelumnya, terutama dalam hal tauhid, eskatologi, dan kenabian. Namun kesamaan ini tidak serta-merta menjadi bukti penjiplakan. Dalam Al-Qur’an sendiri ditegaskan:
"Dia (Allah) telah mensyariatkan bagi kamu agama sebagaimana Dia telah mewasiatkannya kepada Nuh, dan yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), dan yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa..."
(QS Asy-Syura: 13)
Ayat ini menunjukkan bahwa Islam mengakui kesinambungan risalah para nabi sebelumnya. Kesamaan adalah ekspresi dari wahyu yang progresif, bukan penyalinan isi kitab sebelumnya secara sembarangan.
Nabi yang Ummi dan Lingkungan Jahiliyah
Nabi Muhammad ﷺ dikenal sebagai ummi, yakni tidak membaca dan menulis (lihat: QS Al-A’raf: 157–158). Ia lahir dan tumbuh di tengah masyarakat Mekah yang mayoritas tidak mengenal kitab-kitab Samawi. Al-Qur’an sendiri merespons tuduhan bahwa Nabi belajar dari manusia biasa:
"Dan sungguh Kami mengetahui bahwa mereka berkata: 'Sesungguhnya Al-Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia'. Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan itu adalah asing, sedang Al-Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang jelas."
(QS An-Nahl: 103)
W. Montgomery Watt, seorang orientalis ternama, menyatakan dalam Muhammad at Mecca (1953) bahwa tidak ada bukti kuat Nabi belajar secara formal dari ajaran Yahudi atau Kristen. Pengetahuan beliau tentang tokoh-tokoh Biblikal bahkan berbeda dalam detail dan fokus moralnya.
Keunikan Al-Qur’an dan Narasi yang Berbeda
Al-Qur’an menyajikan kisah para nabi seperti Ibrahim, Musa, dan Isa dengan gaya naratif dan pesan yang khas. Misalnya:
• Nabi Isa dalam Islam tidak dianggap sebagai Anak Tuhan atau disalib (QS An-Nisa: 157–158).
• Dosa warisan ditolak secara eksplisit (QS Al-An’am: 164; QS Fathir: 18).
• Fokus Al-Qur’an bukan pada kronologi sejarah, melainkan pelajaran moral dan spiritual.
Hal ini membedakan Al-Qur’an dari Bibel, dan menunjukkan bahwa narasi Islam tidak “menyalin” melainkan memberi koreksi dan penyempurnaan terhadap riwayat sebelumnya.
Pandangan Akademisi Modern
Beberapa orientalis awal seperti Abraham Geiger atau Richard Bell pernah mengusulkan bahwa Islam “dipinjam” dari Yudaisme. Namun pendekatan ini kini banyak ditinggalkan karena terlalu spekulatif.
Karen Armstrong, dalam bukunya Muhammad: A Prophet for Our Time (2006), menyatakan bahwa tuduhan plagiarisme tidak adil secara historis. Menurutnya, Nabi Muhammad ﷺ adalah reformis spiritual yang jujur, dan Al-Qur’an menunjukkan kekuatan retorik dan intelektual yang khas.
Demikian pula Angelika Neuwirth, pakar Al-Qur’an dari Jerman, dalam Scripture, Poetry and the Making of a Community (2014), menyebut Al-Qur’an sebagai teks yang otonom dan orisinal, dengan struktur dan fungsi sosial yang tidak dapat disamakan dengan kitab suci lain.
Dialog Antaragama yang Adil
Menyebut tokoh suci agama lain sebagai “penjiplak” tanpa memahami konteks keimanannya adalah bentuk reduksi yang tidak sehat. Jika umat Islam meyakini bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah penutup para nabi dan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu terakhir, maka keyakinan itu mestilah dihormati—sebagaimana Islam pun menghormati Musa dan Isa sebagai rasul Tuhan.
Pluralitas tidak memaksa kita menyamakan keyakinan, tapi menuntut kita saling memahami dan berdialog secara beradab.
Simpulan
Tuduhan bahwa Nabi Muhammad ﷺ menjiplak ajaran agama sebelumnya tidak berdasar kuat, baik secara historis, linguistik, maupun teologis. Islam hadir bukan sebagai salinan, melainkan sebagai penyempurna risalah tauhid. Al-Qur’an sendiri mengafirmasi kesinambungan itu sekaligus menegaskan keunikan pesan dan gayanya.
Dalam era keterbukaan ini, tantangan terbesar bukanlah sekadar mempertahankan keyakinan, tetapi mengembangkan dialog yang adil, cerdas, dan saling mencerahkan.
Daftar Referensi
• Al-Qur'an al-Karim
• Montgomery Watt, Muhammad at Mecca, Oxford University Press, 1953.
• Karen Armstrong, Muhammad: A Prophet for Our Time, HarperCollins, 2006.
• Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry and the Making of a Community: Reading the Qur'an as a Literary Text, Oxford University Press, 2014.
• M. Fethullah Gulen, Questions and Answers about Islam, The Light Inc., 2007.
• Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an, University of Chicago Press, 2009.
• Richard Bell, Introduction to the Qur’an, Edinburgh University Press, 1953.
• QS Asy-Syura: 13, QS An-Nahl: 103, QS Al-A’raf: 157–158, QS Al-An’am: 164.
Komentar
Posting Komentar