Arsitektur Islam Kontemporer: Melampaui Ornamen, Merayakan Filosofi Kehidupan
Oleh: Lukmanul Hakim
Ketika kita berbicara tentang arsitektur Islam, bayangan yang terlintas adalah kubah megah, menara menjulang, kaligrafi indah, dan motif geometris yang rumit. Elemen-elemen ini memang menjadi ciri khas yang memukau, merefleksikan keindahan estetika dan spiritualitas yang mendalam. Namun, di era kontemporer ini, pertanyaan yang muncul adalah: apakah arsitektur Islam hanya berkutat pada pengulangan ornamen masa lalu? Atau mampukah ia melampaui sekadar bentuk dan sentuhan historis, untuk benar-benar merayakan filosofi kehidupan Islam yang dinamis dan relevan dengan tantangan zaman?
Arsitektur, dalam peradaban Islam, tidak pernah sekadar tentang membangun struktur fisik. Ia adalah manifestasi nyata dari pandangan dunia (weltanschauung) Islam, yang mencakup tauhid (keesaan Tuhan), keseimbangan (mizan), keteraturan (nizam), dan harmoni dengan alam (tawhidullah fil kaun). Para arsitek Muslim di masa lalu, seperti yang terlihat pada Masjid Cordoba atau Alhambra di Spanyol, tidak hanya menciptakan mahakarya estetika, tetapi juga ruang yang fungsional, adaptif terhadap iklim lokal, dan memancarkan nilai-nilai spiritual (Grabar, 1987).
Dari Estetika ke Etika Ruang
Tantangan arsitektur Islam kontemporer adalah bagaimana menerjemahkan filosofi-filosofi abadi ini ke dalam bentuk modern tanpa kehilangan identitasnya, serta menjawab kebutuhan masyarakat urban yang terus berkembang. Ini bukan berarti menolak kubah atau kaligrafi, melainkan bagaimana elemen-elemen tersebut dapat diintegrasikan secara inovatif dan bermakna, bukan sekadar tempelan.
Sebagai contoh, arsitek Hassan Fathy dari Mesir, dengan karyanya yang legendaris, menekankan pentingnya arsitektur yang jujur terhadap material lokal, iklim, dan budaya masyarakat. Ia menunjukkan bahwa bangunan bisa ramah lingkungan dan ekonomis tanpa mengorbankan keindahan, dengan mengadopsi teknik pembangunan tradisional yang sudah terbukti berkelanjutan (Fathy, 1986). Pendekatan ini relevan dengan isu keberlanjutan dan krisis iklim saat ini.
Di era modern, beberapa arsitek muslim telah mencoba menerjemahkan filosofi ini. Misalnya, karya-karya yang memenangkan Aga Khan Award for Architecture seringkali menonjolkan inovasi dalam penggunaan material, adaptasi terhadap konteks lokal, dan kepedulian terhadap lingkungan dan sosial, di samping nilai estetika Islami. Contohnya, Museum Peradaban Islam di Malaysia yang memadukan modernitas dengan motif tradisional, atau proyek-proyek masjid baru yang menggunakan pencahayaan alami dan ventilasi pasif untuk efisiensi energi.
Mewujudkan Keseimbangan dan Keberlanjutan
Prinsip keseimbangan (mizan) dalam Islam dapat diterjemahkan dalam desain bangunan yang mengedepankan keseimbangan antara fungsi dan bentuk, antara ruang publik dan privat, serta antara teknologi dan alam. Arsitektur Islam kontemporer harus mampu menciptakan ruang yang nyaman bagi penghuninya, efisien dalam penggunaan energi, dan berdampak minimal terhadap lingkungan.
Konsep taman dalam arsitektur Islam, seperti taman Firdaus yang melambangkan surga, bisa diintegrasikan dalam desain urban modern. Ruang hijau di dalam atau di sekitar bangunan, penggunaan air sebagai elemen pendingin dan estetika, serta pemilihan material yang ramah lingkungan, adalah wujud penerapan filosofi ini. Ini bukan sekadar tren "hijau", melainkan penegasan kembali amanah menjaga alam yang telah diajarkan dalam Islam sejak dahulu kala.
Identitas dan Relevansi Global
Pertanyaan tentang identitas sering muncul: apakah arsitektur Islam kontemporer harus terlihat "Islami" secara eksplisit dengan ornamen, atau bisakah ia terlihat modern namun tetap memancarkan spirit Islam? Arsitek ternama seperti Ken Yeang, meskipun tidak secara eksplisit "arsitek Islam", banyak mengintegrasikan prinsip-prinsip desain bio-iklim dan ekologis yang selaras dengan nilai-nilai keberlanjutan dalam Islam. Ini menunjukkan bahwa esensi filosofis dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, melampaui sekadar ciri visual.
Indonesia, dengan kekayaan budaya dan tradisi arsitektur vernakularnya, memiliki potensi besar untuk mengembangkan arsitektur Islam kontemporer yang unik. Masjid-masjid di Indonesia bisa menjadi laboratorium untuk eksperimen desain yang memadukan kearifan lokal, teknologi modern, dan filosofi Islam. Ini bisa berarti mengadopsi struktur atap tropis tradisional, penggunaan material lokal, dan desain yang responsif terhadap iklim lembap, sambil tetap mempertahankan fungsi dan suasana spiritual yang khusyuk.
Penutup
Arsitektur Islam kontemporer bukanlah tentang mengulang sejarah, melainkan tentang menerjemahkan esensi dan filosofi peradaban Islam ke dalam bahasa visual dan fungsional masa kini. Ini adalah tentang menciptakan ruang yang tidak hanya indah secara estetika, tetapi juga etis, berkelanjutan, dan memberikan kenyamanan serta makna bagi penghuninya. Dengan melampaui sekadar ornamen dan merayakan filosofi kehidupan yang kaya, arsitektur Islam dapat terus menjadi mercusuar peradaban yang relevan dan menginspirasi dunia di abad ke-21. Republika, sebagai media yang peduli terhadap perkembangan peradaban, dapat terus mengangkat diskusi ini.
Daftar Pustaka:
Fathy, H. (1986). Architecture for the Poor: An Experiment in Rural Egypt. University of Chicago Press.
Grabar, O. (1987). The Formation of Islamic Art. Yale University Press
Serageldin, I., & El-Sadek, S. (Eds.). (1998). The Aga Khan Award for Architecture: The First 20 Years. Butterworth Architecture.
Yeang, K. (2006). Ecodesign: A Manual for Ecological Design. Wiley.
Komentar
Posting Komentar