Apakah Semua Bangsa Pernah Didatangi Nabi?: Telaah atas Universalisme Wahyu dalam Islam

Oleh: Lukmanul Hakim

Salah satu pertanyaan mendasar dalam kajian agama dan spiritualitas lintas budaya adalah: Apakah semua bangsa pernah menerima utusan Tuhan? Dalam perspektif Islam, jawabannya tegas: ya. Setiap umat, setiap bangsa, telah diingatkan oleh seorang nabi atau rasul yang diutus Allah. Ini adalah bagian dari prinsip rahmat dan keadilan ilahi, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an dan diperkuat dalam berbagai tafsir serta hadis sahih.

📖 Landasan Al-Qur’an

Al-Qur’an menegaskan universalitas misi kenabian dalam beberapa ayat, antara lain:

  • “Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah datang kepadanya seorang pemberi peringatan” (QS Fāṭir [35]: 24).
  • “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul (yang menyerukan): ‘Sembahlah Allah dan jauhilah ṭāghūt’...” (QS an-Naḥl [16]: 36).
  • “Dan sungguh Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad). Di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu” (QS Ghāfir [40]: 78).

Ayat-ayat ini memperlihatkan bahwa tidak ada satu umat pun yang tidak mendapatkan cahaya petunjuk, meskipun kita tidak mengetahui secara pasti siapa dan bagaimana bentuk dakwah nabi-nabi tersebut.

🧾 Hadis: Jumlah Nabi yang Sangat Banyak

Diperkuat oleh hadis Nabi ﷺ:

“Jumlah para nabi adalah 124.000 orang, dan jumlah rasul adalah 315.”
(HR. Ahmad, no. 22215; dinilai hasan oleh al-Hakim dan Syu’aib al-Arnauth)

Hadis ini menjelaskan bahwa jumlah para nabi sangatlah besar, jauh lebih banyak daripada yang disebutkan dalam Al-Qur’an (yakni hanya 25 nabi).

🌍 Jejak Wahyu dalam Peradaban Dunia

Jejak-jejak spiritual dan nilai tauhid bisa ditemukan dalam berbagai peradaban:

  • India kuno memiliki ajaran monoteistik samar dalam Rigveda, dan ajaran etika dalam Upanishad. Para peneliti seperti Radhakrishnan dan Wilfred Cantwell Smith menduga nilai-nilai tersebut bisa jadi berasal dari wahyu yang terdistorsi (Smith, 1963).
  • Di Tiongkok, ajaran Tian dalam Konfusianisme mencerminkan keyakinan terhadap satu kekuatan moral kosmik, yang oleh sebagian penafsir Islam dianggap sebagai bentuk tauhid fitri (Izutsu, 2002).
  • Tradisi adat Nusantara, seperti dalam Suluk Sunda Wiwitan, atau Pamali dalam adat Bugis, memuat nilai spiritual luhur yang bisa diinterpretasi sebagai jejak wahyu lokal (Rahman, 1994).
  • Penelitian Annemarie Schimmel (1975) menunjukkan bahwa mistisisme lintas tradisi mengandung benih yang serupa dengan dakwah kenabian: akhlak, penghambaan, dan pengingkaran terhadap kemusyrikan.

Hal ini juga sejalan dengan prinsip Qur’ani bahwa para nabi diutus sesuai dengan bahasa dan budaya masyarakatnya (QS Ibrahim [14]: 4).

🕊️ Antara Tauhid dan Distorsi

Meskipun seluruh umat pernah mendapat petunjuk, tidak semua ajaran asli bertahan utuh. Seiring waktu, ajaran para nabi mengalami:

  • Pelupaan (karena tidak terdokumentasikan),
  • Distorsi (akibat campur tangan pemuka lokal),
  • Sakramentalisasi berlebihan, hingga berujung pada praktik syirik,
  • Asimilasi dengan mitos dan budaya, menyebabkan pergeseran makna tauhid menjadi politeisme.

Inilah sebabnya Islam datang sebagai penutup wahyu yang menyempurnakan dan mengoreksi distorsi sebelumnya. Rasulullah ﷺ diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam (QS al-Anbiyā’ [21]: 107) dan bukan untuk satu bangsa semata (QS Saba’ [34]: 28).

📌 Simpulan

Islam menegaskan bahwa kenabian adalah hak seluruh umat manusia, bukan monopoli satu bangsa atau ras. Misi para nabi adalah membimbing umat kepada tauhid dan akhlak luhur. Walau tidak semua nabi kita kenali namanya, kehadiran mereka adalah fakta teologis dalam Islam. Ini juga menjadi dasar bagi penghargaan terhadap nilai-nilai kebaikan universal dalam tradisi mana pun.

“Dan tiap-tiap umat mempunyai rasul…”
(QS Yunus [10]: 47)


📚 Daftar Pustaka

  • Izutsu, T. (2002). God and Man in the Qur’an. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.
  • Rahman, F. (1994). Major Themes of the Qur’an (2nd ed.). Minneapolis: Bibliotheca Islamica.
  • Nasr, S. H. (2003). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. San Francisco: HarperOne.
  • Schimmel, A. (1975). Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: University of North Carolina Press.
  • Smith, W. C. (1963). The Meaning and End of Religion. New York: Macmillan.
  • Al-Alusi, M. A. (n.d.). Rūh al-Ma‘ānī fī Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
  • Ibn Kathir. (2000). Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Kairo: Dār al-Ḥadīts.
  • Al-Razi, F. (n.d.). Tafsīr al-Kabīr. Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa