Antara Zikir dan Klenik: Studi Kritis terhadap Penyimpangan Praktik Tarekat di Tengah Masyarakat

Oleh: Lukmanul Hakim

Pengantar

Tasawuf dan tarekat merupakan dua aspek penting dalam warisan keislaman yang kaya di Nusantara. Kedua jalur ini telah membentuk wajah Islam Indonesia yang ramah, inklusif, dan berakar dalam nilai-nilai akhlak. Lewat para wali dan ulama, Islam menyebar tidak hanya melalui dakwah lisan, tetapi juga dengan keteladanan spiritual. Namun demikian, nilai-nilai luhur tersebut kini menghadapi tantangan serius dari penyimpangan makna dan praktik yang dilakukan oleh segelintir tokoh spiritual atau kelompok tarekat yang tidak memiliki legitimasi keilmuan dan sanad yang sahih.

Zikir—yang seharusnya menjadi jalan menyucikan jiwa—justru dalam beberapa kasus disalahgunakan untuk kepentingan duniawi, praktik klenik, bahkan eksploitasi umat. Tulisan ini mengkaji secara kritis fenomena tersebut dengan pendekatan historis, teologis, dan sosial, serta memberikan solusi berdasarkan prinsip Ahlussunnah wal Jamaah.


Zikir sebagai Inti Spiritualitas Islam

Zikir (mengingat Allah) adalah amal utama dalam tasawuf yang diajarkan oleh para sufi sejak masa awal Islam. Al-Qur’an sendiri memberi penekanan besar terhadap pentingnya berzikir, sebagaimana firman Allah:

"Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dengan zikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS. Al-Ahzab: 41)

Dalam perspektif Imam al-Ghazali, zikir bukan hanya aktivitas lisan, tetapi jalan pembersihan hati dari kelalaian (ghaflah), sumber utama penyakit spiritual manusia. Dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, beliau menyatakan bahwa zikir yang paling sempurna adalah yang menjadikan pelakunya merasa dekat dengan Allah, tunduk, dan penuh harap sekaligus takut.

Para ulama tarekat mu’tabarah, seperti Imam Abul Hasan asy-Syadzili, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, dan Bahauddin Naqsyaband, mengajarkan zikir dalam kerangka disiplin spiritual yang ketat, berbasis syariat, akidah yang lurus, dan adab.


Ketika Zikir Diseret ke Wilayah Klenik

Dalam beberapa praktik kontemporer, zikir mengalami penyimpangan serius. Muncul tokoh-tokoh yang mengajarkan “asma rahasia”, “zikir pembuka hijab”, “ilmu laduni instan”, dan semacamnya, yang tidak ditemukan dalam tradisi tasawuf muktabar.

Ciri-ciri penyimpangan yang umum ditemukan antara lain:

  1. Mengklaim zikir atau ijazah dari “alam gaib” atau “wahyu ruhani” tanpa sanad ilmiah.
    Ini membuka ruang besar bagi rekayasa dan klaim-klaim palsu, karena tidak dapat diverifikasi secara ilmiah maupun secara sanad.

  2. Menjanjikan manfaat duniawi secara instan dari zikir, seperti kekayaan, pengaruh, kekebalan tubuh, atau jodoh.
    Ini menjadikan zikir sebagai alat utilitarian, bukan sarana ibadah.

  3. Menggunakan media ritual non-syar’i seperti bunga tujuh rupa, minyak tertentu, bahkan sesajen.
    Praktik semacam ini mengaburkan batas antara zikir dan praktik perdukunan, serta berpotensi menyeret pada syirik kecil (syirk asghar).

  4. Mengkultuskan sosok guru atau mursyid secara berlebihan.
    Dalam banyak kasus, murid dilarang mengkritik bahkan jika sang guru melanggar syariat, dengan dalih bahwa mursyid "sudah ma‘shum secara ruhani".


Literasi Keagamaan dan Krisis Otoritas

Menguatnya praktik zikir yang menyimpang tak lepas dari rendahnya literasi keagamaan di sebagian masyarakat. Banyak yang tertarik pada spiritualitas tanpa bekal ilmu dasar tentang akidah dan fiqih. Dalam kondisi demikian, simbolisme kesufian (jubah putih, zikir keras, sorban besar) lebih menarik daripada keabsahan sanad dan isi ajaran.

Krisis otoritas juga terjadi ketika tokoh-tokoh non-ulama, bahkan selebritas, mulai bicara soal “tarekat” dan “zikir” tanpa pemahaman mendalam. Ditambah dengan media sosial, ruang pencitraan menjadi lebih dominan daripada ruang verifikasi.


Pandangan Ulama Ahlussunnah

Ulama besar Ahlussunnah wal Jamaah, baik dari kalangan salaf maupun khalaf, telah sejak lama mewanti-wanti bahaya penyimpangan dalam praktik tasawuf:

  • Imam al-Ghazali menyatakan bahwa tasawuf harus berjalan bersama syariat. Tanpa fiqih, tasawuf bisa menyesatkan; tanpa tasawuf, fiqih bisa menjadi kering.

  • Imam Junaid al-Baghdadi, yang dikenal sebagai “Imam kaum sufi”, berkata:

    “Jalan kami ini terikat dengan al-Qur’an dan Sunnah. Siapa yang tidak menempuh keduanya, tidak termasuk golongan kami.” (Hilyat al-Awliya’)

  • Syaikh Ahmad Zarruq dalam Qawa‘id al-Tashawwuf menggarisbawahi pentingnya guru sufi yang alim dalam syariat dan memiliki sanad keilmuan yang bersambung kepada Rasulullah ﷺ.

  • KH Hasyim Asy‘ari, pendiri Nahdlatul Ulama, menekankan pentingnya adab dan sanad dalam semua disiplin keilmuan, termasuk zikir dan tarekat.


Jalan Tengah NU: Menghidupkan Tasawuf Muktabar

Nahdlatul Ulama sejak awal berdiri berada di garda depan dalam menjaga ajaran tasawuf agar tetap murni, berbasis ilmu dan sanad. NU menerima dan mengamalkan tarekat, tetapi yang mu’tabarah (diakui), yaitu tarekat yang memiliki:

  • Sanad bersambung hingga Rasulullah ﷺ
  • Konsistensi dalam menjaga syariat
  • Kepemimpinan kolektif dan akuntabel
  • Etika ruhani yang menumbuhkan akhlakul karimah, bukan kesaktian

Di sinilah posisi penting lembaga-lembaga tarekat mu’tabarah seperti Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah (JATMAN) yang menjadi filter terhadap tarekat liar yang tidak jelas sumber dan tujuannya.


Penutup: Membumikan Spiritualitas, Menjauhkan Klenik

Kita tidak sedang menolak tasawuf. Justru sebaliknya, kita sedang berusaha menjaga kemurniannya. Tasawuf adalah jalan para shalihin, bukan jalan para dukun berbaju sufi. Zikir adalah cahaya hati, bukan mantra untuk ambisi duniawi.

Sebagaimana petuah Imam asy-Syafi‘i:

“Jika engkau melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara, jangan tertipu sebelum engkau lihat sejauh mana ia memegang syariat.”
(Risalah al-Qusyairiyah)

Kini, tantangan kita bukan hanya menjaga ajaran, tetapi juga menjaga umat dari eksploitasi spiritual. Mari perkuat pendidikan, hidupkan dzikir, dan kembali kepada warisan tasawuf yang lurus, ilmiah, dan bermartabat.

Wallahu a‘lam.


Referensi:

  1. Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Dar al-Fikr
  2. Abu Nu‘aim al-Ashbahani, Hilyat al-Awliya’
  3. Ahmad Zarruq, Qawa‘id al-Tashawwuf
  4. Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah
  5. Ibnu Taimiyah, Majmu‘ al-Fatawa
  6. KH Hasyim Asy’ari, Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim
  7. Tim Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Kemenag RI, Ensiklopedia Tasawuf


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanggapan MUI Kabupaten Lombok Tengah terhadap Ajaran Lalu Dahlan: Sebuah Klarifikasi dan Tindakan Tegas

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak