Penyelewengan Makna Pernikahan Batin dan Pelecehan Seksual di Pondok Pesantren: Sebuah Refleksi Kritis terhadap Pembinaan dan Perlindungan di Lembaga Pendidikan Islam

Pendahuluan

Pernikahan batin, yang semula merupakan konsep yang mendalam dan spiritual dalam Islam, kini berpotensi menjadi topik yang membingungkan dan disalahartikan dalam banyak praktik keagamaan. Fenomena penyalahgunaan makna pernikahan batin sering terjadi dalam konteks pesantren, sebuah lembaga pendidikan Islam yang seharusnya menjadi tempat pembinaan moral dan spiritual bagi para santri. Namun, beberapa kasus yang mengemuka belakangan ini, seperti pelecehan seksual yang terjadi di Pondok Pesantren Gunung Sari, Lombok Barat (Politikantb.com, 2025) dan pencabulan di Ma'had UIN Mataram (Tribunnews.com, 2025), menunjukkan adanya penyelewengan yang mengkhawatirkan. Agama dan ajaran spiritual dijadikan kedok untuk perilaku yang tidak bermoral. Perlu dilakukan tinjauan mendalam mengenai masalah ini agar kita dapat melihat betapa pentingnya penguatan nilai-nilai perlindungan, integritas, dan keadilan di lembaga pendidikan Islam tersebut.

 

Pernikahan Batin dalam Perspektif Islam: Asal Usul dan Potensi Penyelewengan

 

Konsep pernikahan batin dalam ajaran Islam pada dasarnya adalah sebuah hubungan yang lebih mengutamakan aspek batiniah dan spiritual daripada aspek fisik. Sebagaimana dijelaskan oleh Marten (2020), pernikahan batin mengandung makna yang dalam tentang kesatuan jiwa antara pasangan suami istri yang berlandaskan pada nilai-nilai keagamaan. Akan tetapi, pemahaman yang salah tentang pernikahan batin ini mulai berkembang dan disalahgunakan dalam beberapa praktik keagamaan di masyarakat, terutama di pesantren.

Al-Zarqa (2019) menekankan bahwa pernikahan batin, ketika dipahami secara keliru, dapat membuka ruang bagi penyimpangan seksual, khususnya ketika otoritas yang ada dalam pesantren menyalahgunakan ajaran tersebut. Ketika pernikahan batin dikaitkan dengan hubungan yang lebih intim antara guru dan santri, maka nilai-nilai kesucian dan keagamaan yang semestinya dijaga malah menjadi alat pembenaran bagi tindakan pelecehan seksual. Hal inilah yang menjadi persoalan serius, mengingat pesantren seharusnya berfungsi sebagai lembaga yang mendidik dan melindungi moral para santri.

 

Pelecehan Seksual di Pesantren: Masalah Sosial yang Tak Terlihat

Pesantren, sebagai lembaga pendidikan yang memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan moral santri, seharusnya menjadi tempat yang aman dari segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun seksual. Namun, kenyataannya tidak sedikit kasus pelecehan seksual yang terjadi di pesantren, yang tak jarang dilakukan oleh pengurus atau pihak yang memiliki kekuasaan terhadap santri. Hal ini diperburuk dengan lemahnya mekanisme pengawasan dan sistem perlindungan yang ada di sebagian besar pesantren.

Kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi di Pondok Pesantren Gunung Sari, Lombok Barat, dan Ma'had UIN Mataram menjadi sorotan penting dalam membahas isu ini. Di Gunung Sari, seorang pengurus pesantren berinisial AF dilaporkan melakukan pelecehan terhadap 22 santri, sementara di Ma'had UIN Mataram, pengurus berinisial WJ melakukan pelecehan terhadap tujuh santri. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual di pesantren tidak hanya mengancam keselamatan fisik santri, tetapi juga dapat merusak mental dan spiritual mereka.

Menurut Komnas Perempuan (2018), kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama menjadi masalah yang semakin serius, dengan laporan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pesantren yang seharusnya menjadi tempat yang mengajarkan nilai-nilai agama malah menjadi arena penyalahgunaan kewenangan, di mana korban kesulitan untuk melapor karena adanya ketakutan akan otoritas dan stigma sosial yang melibatkan agama.

 

Faktor-faktor yang Memungkinkan Terjadinya Pelecehan Seksual di Pesantren

Beberapa faktor penyebab terjadinya pelecehan seksual di pesantren dapat dilihat dari berbagai aspek. Fauzi (2020) menjelaskan bahwa salah satu faktor utama adalah ketidakberdayaan santri yang sangat bergantung pada pengasuh atau pengurus pesantren. Santri sering kali terjebak dalam relasi kuasa yang tidak seimbang, di mana mereka takut untuk melawan otoritas yang mereka anggap sebagai wakil Tuhan di dunia. Dalam banyak kasus, hal ini memperburuk situasi karena korban merasa tidak memiliki perlindungan yang memadai.

Selain itu, Nugroho (2020) mengungkapkan bahwa lemahnya sistem pengawasan di pesantren dan tidak adanya mekanisme pelaporan yang aman dan independen juga menjadi faktor yang memungkinkan terjadinya pelecehan seksual. Meskipun pesantren seharusnya mendidik para santri untuk menjaga integritas moral dan agama, kenyataannya banyak pesantren yang tidak memiliki standar operasional yang jelas dalam melindungi hak-hak dasar santri, terutama hak-hak mereka sebagai individu yang berpotensi menjadi korban kekerasan seksual.

 

Mengembalikan Fungsi Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan yang Aman dan Bermartabat

Mengatasi penyalahgunaan konsep pernikahan batin dan pelecehan seksual di pesantren memerlukan langkah-langkah konkret dari semua pihak yang terlibat. Sebagaimana diungkapkan oleh Setiawan (2020), penting untuk memperkuat pengawasan internal dan eksternal di pesantren, serta menyediakan saluran bagi santri untuk melaporkan setiap bentuk kekerasan seksual tanpa takut akan konsekuensi sosial. Hal ini tidak hanya membutuhkan perhatian dari pihak pesantren itu sendiri, tetapi juga dari pemerintah dan lembaga perlindungan anak.

Pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai kesetaraan, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia harus menjadi landasan dalam membina santri di pesantren. Dewi (2021) menyarankan agar pesantren memperkuat kurikulum yang menekankan pada perlindungan anak dan perempuan, serta melibatkan orang tua dan masyarakat dalam proses pengawasan. Dengan demikian, pesantren dapat kembali berfungsi sesuai dengan tujuan utamanya: menjadi lembaga yang tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga melindungi dan memanusiakan santri.

Namun, langkah-langkah ini tidak akan berarti tanpa adanya tindakan tegas dari negara. Hukuman yang seberat-beratnya bagi pelaku pelecehan seksual di pesantren harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Suryani (2021) menyatakan bahwa negara harus menjamin bahwa hukum berlaku secara adil dan tegas di setiap lini pendidikan, termasuk pesantren. Pembaruan dalam sistem pengawasan, penyediaan saluran pelaporan yang aman, dan perlindungan bagi para korban harus menjadi prioritas utama. Selain itu, pelaku kejahatan seksual, termasuk mereka yang menyalahgunakan konsep pernikahan batin, harus dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku, agar memberi efek jera dan mencegah kejadian serupa di masa mendatang.

 

Simpulan

Penyelewengan makna pernikahan batin dan pelecehan seksual di pondok pesantren adalah fenomena yang mengkhawatirkan dan memerlukan perhatian serius dari semua pihak. Sebagai lembaga pendidikan yang seharusnya melindungi dan mendidik santri, pesantren harus kembali memperkuat peranannya dalam membentuk karakter yang berlandaskan pada nilai-nilai keadilan dan perlindungan hak asasi manusia. Penyalahgunaan kewenangan, pemahaman yang keliru tentang ajaran agama, dan lemahnya sistem perlindungan di pesantren telah membuka peluang bagi tindakan kekerasan seksual yang merugikan banyak pihak. Oleh karena itu, langkah-langkah yang lebih tegas dan sistematis, serta hukuman yang seberat-beratnya bagi pelaku, sangat diperlukan agar pesantren kembali menjadi tempat yang aman, bermartabat, dan penuh kasih sayang.

 

Referensi:

·       Abdurrahman, A. (2021). Penyalahgunaan Kewenangan dalam Institusi Pendidikan Islam: Studi Kasus di Pesantren. Jurnal Pendidikan Islam.

·       Al-Zarqa, A. (2019). Kesalahan Pemahaman Tentang Pernikahan dalam Islam: Fokus pada Pernikahan Batin. Jurnal Studi Islam.

·       Dewi, M. (2021). Pengaruh Pembinaan Karakter dalam Pesantren terhadap Pemahaman tentang Perlindungan Anak dan Perempuan. Jurnal Pendidikan dan Gender.

·       Fauzi, I. (2020). Pelecehan Seksual di Lingkungan Pendidikan Agama: Faktor-faktor yang Memungkinkan Terjadinya. Jurnal Pendidikan Islam dan Psikologi.

·       Human Rights Watch. (2018). Sexual Abuse in Indonesian Islamic Boarding Schools. Jakarta: Human Rights Watch.

·       Indonesian Child Protection Commission (KPAI). (2021). Kekerasan Seksual dan Pemaksaan Pernikahan di Indonesia: Perspektif Anak dan Perempuan. Jakarta: KPAI.

·       Jannah, N. (2018). Pernikahan Batin: Sebuah Penipuan atas Nama Agama dan Tradisi. Jurnal Hukum Islam.

·       Kementerian Agama Republik Indonesia. (2020). Laporan Pengawasan dan Evaluasi Pondok Pesantren. Jakarta: Kemenag.

·       Komnas Perempuan. (2018). Laporan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia. Jakarta: Komnas Perempuan.

·       Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). (2019). Pelecehan Seksual di Lingkungan Pendidikan: Studi Kasus Pondok Pesantren. Jakarta: LPSK.

·       Marten, L. (2020). Pernikahan Batin dalam Pandangan Islam: Menelisik Praktik dan Pemahaman yang Salah. Jakarta: Pustaka Amanah.

·       Nugroho, W. (2020). Berkorban di Nama Agama: Studi Kasus Pelecehan Seksual di Pesantren. Jurnal Sosial dan Agama.

·       Politikantb.com. (2025). Pimpinan Ponpes di Gunung Sari Lombok Barat Diduga Cabuli Puluhan Santriwati, Modus Transfer Lafadz ke Badan

·       Setiawan, B. (2020). Pelecehan Seksual di Pondok Pesantren: Konsekuensi Sosial dan Hukum. Jurnal Hukum dan Keadilan.

·       Suryani, E. (2021). Peran Pesantren dalam Pembentukan Kepribadian dan Implikasinya terhadap Perlindungan Anak. Jurnal Pendidikan Anak dan Remaja.

·       Tribunnews.com. (2025) Dosen UIN Mataram Jadi Tersangka Pencabulan 7 Mahasiswi, Terancam 12 Tahun Penjara

·       United Nations Women (UN Women). (2020). Prevalensi Kekerasan Seksual terhadap Anak di Indonesia. Jakarta: UN Women.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa