Pelecehan Seksual di Beberapa Pondok Pesantren: Tantangan Integritas dan Akuntabilitas dalam Pendidikan Islam

Pondok pesantren, sebagai lembaga pendidikan yang sangat dihormati dalam tradisi Islam Indonesia, memainkan peran penting dalam pembentukan karakter dan moral santri. Pondok pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menjadi tempat di mana nilai-nilai keimanan dan akhlak dibentuk. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena yang sangat memprihatinkan—yaitu kasus-kasus pelecehan seksual yang melibatkan pengasuh pesantren atau pengurus Ma’had. Kasus ini tidak hanya merusak citra pesantren sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga mengguncang integritas sistem pendidikan Islam itu sendiri.

Pelecehan Seksual dalam Lingkungan Pendidikan: Kasus yang Menghancurkan Kepercayaan

Pelecehan seksual di pondok pesantren dan Ma’had bukanlah masalah yang terisolasi. Beberapa kasus besar yang terungkap belakangan ini menyoroti adanya pelanggaran serius dalam sistem pendidikan pesantren. Salah satu kasus yang paling menonjol terjadi di Pondok Pesantren Gunung Sari (Detik.com, 2025). Seorang pengasuh pesantren berinisial AF terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap 22 santri perempuan dalam kurun waktu yang lama. Kasus ini tidak hanya mengungkapkan ketidakadilan terhadap para korban, tetapi juga memperlihatkan betapa lemahnya sistem pengawasan dalam lingkungan pesantren tersebut. Banyak korban yang merasa terpaksa untuk menutup-nutupi pengalaman mereka karena takut kehilangan tempat di pesantren dan menghadapi stigma sosial.

Kasus serupa juga terjadi di Ma’had UIN (Lombokpost.com, 2025). Pengurus Ma’had yang berinisial WJ melakukan pelecehan seksual terhadap tujuh mahasiswi. Dalam kasus ini, pelaku memanfaatkan kedudukan dan otoritasnya untuk melakukan tindakan tersebut, dengan menargetkan mahasiswi-mahasiswi yang terisolasi dan merasa takut melapor. Kejadian ini menunjukkan bahwa pelecehan seksual bukan hanya terjadi di pesantren tradisional, tetapi juga dapat ditemukan di lingkungan pendidikan tinggi yang semestinya memiliki sistem pengawasan lebih baik. Kasus-kasus ini menyoroti betapa rentannya korban pelecehan seksual dalam struktur pendidikan yang hierarkis dan patriarkal.

Mengapa Pelecehan Seksual Dapat Terjadi di Pesantren?

Ada beberapa faktor yang mendasari terjadinya pelecehan seksual di pesantren dan Ma’had. Faktor pertama adalah struktur hubungan yang sangat hierarkis antara pengasuh pesantren atau pengurus Ma’had dengan santri atau mahasiswi. Dalam banyak kasus, pengasuh atau pengurus pesantren memiliki kedudukan yang sangat dihormati, yang membuat santri merasa sulit untuk menentang atau melaporkan mereka jika terjadi kekerasan atau pelecehan seksual. Penelitian oleh Al-Ghazali (1994) menegaskan bahwa dalam konteks pendidikan Islam, hubungan antara guru dan murid sangat dihormati, dan ini dapat menjadi celah bagi penyalahgunaan kekuasaan.

Faktor kedua adalah lemahnya pengawasan dalam lingkungan pesantren. Sebagian besar pesantren di Indonesia masih kurang memiliki mekanisme yang memadai untuk menangani kasus pelecehan seksual secara transparan dan akuntabel. Di beberapa pesantren, bahkan ada kecenderungan untuk menutupi masalah ini demi menjaga reputasi lembaga, yang sering kali lebih diutamakan daripada kesejahteraan para santri. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam yang menekankan perlindungan terhadap hak individu (Al-Qur'an, 4:1). Sebagaimana dijelaskan oleh Yunus (2018), dalam pendidikan Islam, perlindungan terhadap martabat dan kehormatan setiap individu adalah hal yang sangat ditekankan, dan tindakan pelecehan seksual jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut.

Faktor ketiga adalah kurangnya pendidikan mengenai seksualitas yang sehat dan hak-hak individu dalam lingkungan pesantren. Banyak pesantren, terutama yang berbasis tradisional, menghindari pembahasan tentang isu-isu seksualitas, karena dianggap tabu. Akibatnya, santri tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk memahami apa yang dimaksud dengan pelecehan seksual dan bagaimana cara melindungi diri mereka dari tindakan tersebut. Suharto (2020) mencatat bahwa pendidikan seksualitas yang sehat dan pengetahuan tentang hak-hak individu sangat penting dalam mencegah pelecehan seksual, dan ini harus mulai diterapkan sejak dini dalam lingkungan pendidikan Islam.

Dampak Pelecehan Seksual: Merusak Kesehatan Fisik, Psikologis, dan Sosial

Pelecehan seksual yang terjadi di pondok pesantren tidak hanya merusak korban secara fisik, tetapi juga memberikan dampak psikologis yang sangat besar. Banyak korban pelecehan seksual mengalami trauma psikologis, seperti depresi, kecemasan, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD). Hal ini bukan hanya mempengaruhi kehidupan pribadi mereka, tetapi juga dapat berpengaruh pada masa depan mereka, baik dalam hubungan sosial maupun karier akademik mereka (Komnas Perempuan, 2019).

Dampak sosial dari pelecehan seksual juga sangat besar. Dalam masyarakat yang masih menganut nilai patriarki yang kuat, korban sering kali merasa disalahkan atau dijauhi, dan mereka enggan untuk melapor karena takut dihukum atau dipandang rendah. Stigma negatif terhadap korban pelecehan seksual semakin memperburuk keadaan mereka, bahkan dalam beberapa kasus, keluarga korban juga mendapat tekanan sosial. Ini memperburuk keadaan psikologis dan sosial korban (Al-Ghazali, 1994).

Bagi pesantren dan Ma’had, dampak dari pelecehan seksual juga sangat merusak reputasi lembaga. Ketika kasus-kasus pelecehan seksual terungkap, banyak orang tua yang ragu untuk mengirimkan anak-anak mereka ke pesantren atau Ma’had, yang akhirnya berdampak pada penurunan jumlah santri atau mahasiswa baru. Hal ini tentu saja merugikan lembaga tersebut secara finansial dan reputasi.

Langkah yang Harus Diambil: Perlindungan, Pengawasan, dan Penegakan Hukum

Untuk menangani masalah pelecehan seksual di pondok pesantren, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan untuk melindungi santri dan mahasiswi dari kekerasan seksual. Pertama, pesantren dan Ma’had harus membangun sistem pengawasan yang lebih transparan dan akuntabel, dengan melibatkan pihak independen yang tidak terkait langsung dengan pengasuh atau pengurus lembaga. Setiap pesantren perlu menyediakan mekanisme bagi santri untuk melapor jika mereka merasa terancam atau telah menjadi korban pelecehan seksual (Yunus, 2018).

Kedua, pendidikan mengenai seksualitas yang sehat dan hak-hak individu harus diberikan kepada santri dan mahasiswi. Pesantren dan Ma’had perlu menyediakan pelatihan tentang cara melindungi diri dari pelecehan seksual, mengenali tanda-tanda penyalahgunaan, dan pentingnya memiliki keberanian untuk melapor. Dengan pengetahuan ini, santri akan lebih mampu mengenali dan melindungi diri mereka sendiri dari pelecehan seksual (Al-Qur'an, 4:1).

Ketiga, pesantren dan Ma’had harus bekerjasama dengan pihak berwajib untuk memastikan bahwa pelaku pelecehan seksual dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku. Penegakan hukum yang tegas akan memberikan rasa keadilan bagi korban dan memberi efek jera kepada pelaku. Suharto (2020) menyatakan bahwa penegakan hukum yang konsisten akan memberikan pesan kuat kepada masyarakat bahwa pelecehan seksual adalah kejahatan yang tidak boleh ditoleransi dalam konteks pendidikan.

Kesimpulan: Kembalikan Fungsi Pesantren sebagai Tempat Pendidikan yang Aman

Kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi di Pondok Pesantren Gunung Sari dan Ma’had UIN menunjukkan pentingnya penanganan yang serius terhadap masalah ini. Pesantren harus menjadi tempat yang aman, nyaman, dan penuh berkah bagi santri dan mahasiswi, bukan tempat di mana mereka harus merasa terancam atau rentan terhadap kekerasan. Untuk itu, perlu ada pembenahan dalam sistem pendidikan dan pengawasan di pondok pesantren, serta peningkatan kesadaran akan pentingnya perlindungan terhadap hak-hak setiap individu. Islam mengajarkan bahwa hubungan antara manusia harus didasari oleh rasa saling menghormati dan menjaga kehormatan, dan pelecehan seksual jelas bertentangan dengan ajaran agama yang mulia ini.


Referensi:

  • Al-Ghazali, I. (1994). Ihya' Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

  • Detik.com. (2025). Polisi Selidiki Dugaan Pelecehan Seksual oleh Ketua Ponpes di Lombok

  • Komnas Perempuan. (2019). Catatan Tahunan: Kekerasan terhadap Perempuan 2018. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

  • Lombokpost.com. (2025). Dosen UIN Mataram Jadi Tersangka Pelecehan Seksual, 5 Mahasiswi Jadi Korban sejak 2021.

  • Suharto, A. (2020). "Pelecehan Seksual di Pondok Pesantren: Fakta dan Solusi". Jurnal Studi Islam, 10(2), 99-112.

  • Yunus, M. (2018). Pendidikan dan Perlindungan Anak dalam Islam. Jakarta: Kencana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa