Revolusi Pendidikan: Mengapa Kurikulum Deep Learning dan Ujian Nasional Harus Dipertimbangkan dengan Bijak

Di tengah dinamika pendidikan yang terus berkembang, Indonesia kembali dihadapkan pada wacana perubahan signifikan: penggantian Kurikulum Merdeka dengan kurikulum baru berbasis deep learning serta rencana diadakannya kembali Ujian Nasional. Langkah ini memicu pro dan kontra di kalangan pendidik, orang tua, dan siswa. Dengan berbagai pengalaman dan tantangan yang telah dihadapi, penting untuk mempertimbangkan dengan bijak keputusan yang akan mengubah wajah pendidikan nasional ini.

Kurikulum Merdeka dan Keunggulannya

Kurikulum Merdeka diperkenalkan sebagai jawaban atas tuntutan pendidikan modern. Kurikulum ini berfokus pada pendekatan yang lebih fleksibel dan mengutamakan kemerdekaan belajar (Suyanto, 2020). Tujuannya adalah mendorong kreativitas dan inovasi, membebaskan siswa dari beban pembelajaran yang monoton, serta menyesuaikan dengan potensi dan minat mereka. Kurikulum ini memberikan kesempatan bagi para guru untuk berkreasi dan menyesuaikan metode pengajaran dengan kebutuhan murid. Kebebasan ini telah menciptakan ruang bagi siswa untuk menggali minat mereka secara lebih mendalam dan mengembangkan keterampilan yang relevan dengan kehidupan nyata (OECD, 2018). Namun, tantangan yang muncul dari implementasi Kurikulum Merdeka tidak bisa diabaikan. Persiapan yang kurang merata di kalangan pendidik, keterbatasan sumber daya, serta perbedaan kualitas infrastruktur pendidikan di berbagai wilayah menjadi kendala utama (Kemendikbud, 2022). Di beberapa daerah terpencil, kurangnya akses ke teknologi dan sumber daya pendukung membuat penerapan kurikulum ini sulit dilakukan secara efektif.

Memahami Kurikulum Deep Learning

Deep learning dalam konteks pendidikan bukan sekadar teknologi pembelajaran berbasis kecerdasan buatan (AI), tetapi lebih kepada pendekatan yang mendorong siswa untuk memahami materi secara mendalam. Kurikulum berbasis deep learning bertujuan untuk membekali siswa dengan keterampilan berpikir kritis, kemampuan menganalisis, dan aplikasi pengetahuan pada situasi nyata (Anderson & Krathwohl, 2001). Pendekatan ini mendukung siswa untuk tidak hanya memahami teori, tetapi juga menghubungkannya dengan praktik. Namun, untuk mengadopsi kurikulum ini, diperlukan kesiapan yang lebih kompleks, baik dari segi fasilitas maupun kemampuan para pendidik (Johnson & Johnson, 2014). Sekolah-sekolah di Indonesia sangat bervariasi dalam hal kualitas sumber daya yang tersedia. Di kota-kota besar, fasilitas teknologi cenderung memadai, sementara di daerah terpencil, banyak sekolah yang masih berjuang dengan keterbatasan dasar seperti akses internet dan komputer.

Pendekatan ini juga memerlukan pelatihan intensif bagi para guru agar mereka mampu mengimplementasikan metode pengajaran berbasis deep learning. Tanpa kesiapan yang memadai, transisi ini berisiko menciptakan ketimpangan lebih lanjut antara sekolah yang memiliki fasilitas dan yang tidak (Kemendikbud, 2022).

Kembalinya Ujian Nasional: Antara Nostalgia dan Realitas

Keputusan untuk mengembalikan Ujian Nasional (UN) memunculkan kembali perdebatan yang telah lama ada. Sebelumnya, UN dihapuskan karena dianggap menempatkan beban yang berat pada siswa dan sering kali memaksa mereka untuk menghafal daripada memahami (Suyanto, 2020). Meski demikian, UN diakui memiliki peran penting dalam menilai standar pendidikan secara nasional dan menjadi tolok ukur dalam melihat kualitas pendidikan antar daerah.

Dalam konteks penerapan kurikulum berbasis deep learning, kembalinya UN bisa dianggap kontradiktif. Evaluasi berbasis deep learning seharusnya lebih menekankan pada proyek, penelitian, dan aplikasi pengetahuan, bukan sekadar tes pilihan ganda yang menilai hafalan (Anderson & Krathwohl, 2001). Pemerintah perlu memikirkan ulang format UN agar tidak sekadar menjadi ujian yang mengukur hafalan, melainkan evaluasi yang benar-benar mencerminkan kemampuan berpikir kritis dan keterampilan analitis siswa.

Tantangan dan Solusi Implementasi

Pemerintah perlu melakukan kajian yang komprehensif tentang bagaimana kurikulum deep learning dan UN bisa berjalan beriringan (OECD, 2018). Beberapa hal yang harus dipertimbangkan meliputi:

1.       Pelatihan Guru yang Intensif: Guru harus dipersiapkan dengan pelatihan yang memadai agar mampu mengajar dan menggunakan pendekatan deep learning (Johnson & Johnson, 2014). Pelatihan ini harus mencakup metode pengajaran, penggunaan teknologi, dan evaluasi berbasis proyek.

2.       Pemerataan Sumber Daya: Kesenjangan fasilitas pendidikan di kota dan daerah terpencil harus diatasi. Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran yang cukup untuk menyediakan infrastruktur dasar, seperti akses internet dan perangkat komputer (Kemendikbud, 2022).

3.       Evaluasi yang Holistik: Jika UN dihidupkan kembali, formatnya perlu diperbarui. Tes ini harus mampu menilai kemampuan berpikir kritis, keterampilan pemecahan masalah, dan pemahaman yang mendalam (Anderson & Krathwohl, 2001). Kombinasi antara tes pilihan ganda dan penilaian proyek atau penelitian bisa menjadi solusi yang lebih holistik.

4.       Partisipasi Semua Pihak: Pengambilan keputusan ini harus melibatkan masukan dari berbagai pihak, termasuk akademisi, praktisi pendidikan, siswa, dan orang tua (OECD, 2018). Pendekatan ini penting agar kebijakan yang diambil tidak hanya berdasarkan pada pertimbangan politis, tetapi juga didasarkan pada kebutuhan nyata di lapangan.

Bijak Menimbang Langkah ke Depan

Pertimbangan untuk mengganti kurikulum dengan pendekatan baru harus melibatkan berbagai pihak: akademisi, guru, psikolog pendidikan, dan tentu saja, siswa dan orang tua (Suyanto, 2020). Langkah ini memerlukan perencanaan yang matang agar tidak hanya menjadi wacana, tetapi juga solusi nyata yang membawa perubahan positif. Ujian Nasional, jika benar akan dihidupkan kembali, perlu dikaji ulang formatnya agar dapat mendukung deep learning dan menilai keterampilan siswa secara lebih komprehensif.

Dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan setiap pendekatan, serta kesiapan infrastruktur dan pelatihan guru, revolusi pendidikan ini berpotensi membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Tanpa kebijakan yang matang dan bijak, perubahan ini bisa menjadi bumerang yang justru menambah beban tanpa hasil yang nyata (Johnson & Johnson, 2014). Pemerintah perlu memastikan bahwa kurikulum dan evaluasi yang dipilih mendukung perkembangan siswa secara menyeluruh—baik dari segi kognitif, emosional, maupun sosial.

Penutup

Perubahan dalam pendidikan tidak bisa dihindari, tetapi setiap langkah yang diambil harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Kurikulum deep learning dan Ujian Nasional memiliki potensi untuk memperbaiki dan menguatkan sistem pendidikan, asalkan diterapkan dengan pertimbangan yang matang dan komitmen untuk memastikan pemerataan akses pendidikan berkualitas. Mari kita berharap bahwa kebijakan pendidikan yang diambil akan membentuk generasi yang siap menghadapi tantangan masa depan, bukan hanya menjadi angka di atas kertas.

 Referensi

Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. Longman.

Johnson, D. W., & Johnson, R. T. (2014). Cooperation and the Use of Technology in Education. Educational Technology Research and Development.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2022). Laporan Implementasi Kurikulum Merdeka.

OECD. (2018). The Future of Education and Skills: Education 2030. OECD Publishing.

Suyanto, S. (2020). Kurikulum Merdeka: Implementasi dan Tantangannya di Indonesia. Pustaka Pendidikan.

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa