Pemimpin Sejati yang Berbela Rasa

Pemimpin yang hidup bukan hanya bernafas,

Ia mendengar gemuruh di balik senyap,

Meresapi getir yang tak tampak,

Menafsirkan rintih dalam senyuman tabah.


Di tengah formalitas kebijakan kaku,

Ratusan jiwa tercabik, terpisah, terabaikan,

Pulang tanpa senyum, melangkah dengan berat,

Di bawah gemerlapnya "good governance" yang megah.


Apakah salah keputusan itu, wahai pemimpin?

Secara hukum, tidak ada noda,

Tapi di hati, retak yang tak tertulis,

Kesedihan merayap, tak terlihat di atas meja.


Tolstoy pernah berkata:

"Jika kau masih merasakan sakitnya orang lain, kau manusia,"

Namun di manakah rasa itu kini?

Ketika ribuan suara lirih tak lagi didengar.


Bukan salah pada aturan yang ditegakkan,

Tetapi pada hati yang terlupakan,

Pada empati yang hilang dalam angka dan laporan,

Pada kebijakan yang berdiri tanpa belas kasihan.


Pemimpin sejati bukan hanya pemberi titah,

Tapi pendengar rintih yang tak bersuara,

Ia berdiri tegak, namun lembut hatinya,

Mengerti bahwa kekuatan sejati adalah berbela rasa.


Di antara aturan dan kebijakan formal,

Ada ruang untuk kasih, ada celah untuk manusia,

Berani mengambil keputusan, namun tetap mengingat,

Bahwa di balik aturan, ada hati yang terlibat.


Semoga para pemimpin kita memahami,

Bahwa kepemimpinan adalah seni berbela rasa,

Bahwa di antara kewajiban, ada kearifan,

Dan di antara kekuasaan, ada kemanusiaan.


Biarlah doa ini terbang tinggi,

Untuk setiap pemimpin yang lupa pada rasa,

Semoga mereka kembali ingat,

Bahwa menjadi pemimpin sejati adalah menjadi manusia.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa