Merayakan Hari Kesehatan Mental Sedunia: Saatnya Prioritaskan Kesehatan Jiwa di Tengah Kesibukan Dunia
Setiap tahunnya, tanggal 10 Oktober diperingati sebagai World Mental Health Day atau Hari Kesehatan Mental Sedunia. Peringatan ini memiliki tujuan untuk meningkatkan kesadaran global terhadap pentingnya menjaga kesehatan mental dan mendorong upaya untuk mendukung kesejahteraan jiwa setiap orang. Di tengah tekanan hidup modern yang semakin kompleks, termasuk dampak pandemi, krisis ekonomi, serta perkembangan digital, momen ini semakin relevan. Kesehatan mental menjadi isu yang tidak bisa lagi dipandang sebelah mata, terutama di Indonesia. Stigma masih membatasi banyak orang untuk terbuka tentang permasalahan mental yang mereka hadapi.
Kesehatan Mental, Bukan
Sekadar Kesehatan Fisik
Menurut Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), kesehatan mental mencakup kesejahteraan emosional,
psikologis, dan sosial seseorang. Hal ini memengaruhi bagaimana seseorang
berpikir, merasa, dan berperilaku. Kesehatan mental yang baik juga membantu
individu dalam menghadapi stres sehari-hari, bekerja secara produktif, serta
berkontribusi pada komunitasnya. Namun, di Indonesia, pemahaman tentang
pentingnya kesehatan mental masih relatif rendah jika dibandingkan dengan isu
kesehatan fisik.
Banyak
masyarakat yang masih menganggap bahwa masalah kesehatan mental hanya terkait
dengan gangguan kejiwaan berat, seperti skizofrenia atau bipolar. Padahal,
permasalahan seperti kecemasan, stres berlebih, dan depresi juga masuk dalam
spektrum kesehatan mental yang perlu perhatian. Data dari Kementerian Kesehatan
RI menunjukkan bahwa sekitar 6-12% penduduk Indonesia mengalami masalah
kesehatan mental, dengan prevalensi depresi mencapai 6,1% dari total populasi.
Angka ini tentu mengkhawatirkan, terutama ketika akses terhadap layanan
kesehatan mental masih terbatas.
Dampak Kesibukan Modern
terhadap Kesehatan Jiwa
Salah satu tantangan
besar dalam menjaga kesehatan mental di era modern adalah tekanan yang datang
dari gaya hidup serba cepat. Budaya kerja keras, atau yang lebih dikenal dengan
hustle culture, seringkali membuat orang merasa terjebak dalam siklus
pekerjaan tanpa henti, yang pada akhirnya merusak keseimbangan antara kehidupan
pribadi dan pekerjaan. Penelitian Harvard Business Review menyebutkan bahwa
budaya ini memperburuk kesehatan mental karyawan, meningkatkan risiko burnout
atau kelelahan kerja yang memicu depresi dan kecemasan.
Selain
itu, perkembangan teknologi digital, terutama melalui sosial media, menjadi
pedang bermata dua. Di satu sisi, media sosial memfasilitasi konektivitas,
tetapi di sisi lain, fenomena Fear of Missing Out (FOMO) mendorong
banyak orang untuk selalu mengikuti tren atau gaya hidup yang mereka lihat
secara daring. Menurut studi dari University of Pennsylvania, FOMO yang
dihasilkan dari media sosial ini secara signifikan dapat meningkatkan tingkat
kecemasan dan perasaan rendah diri pada individu.
Pandemi
Covid-19 beberapa waktu yang lalu juga menambah lapisan kompleksitas terhadap
kesehatan mental. Isolasi sosial, ketidakpastian ekonomi, dan rasa kehilangan
selama pandemi memperburuk kondisi kesehatan jiwa banyak orang. Laporan dari Journal
of the American Medical Association (JAMA) menyebutkan bahwa tingkat
depresi dan kecemasan secara global melonjak hingga dua kali lipat selama
pandemi.
Tantangan Akses Layanan
Kesehatan Mental di Indonesia
Di Indonesia, tantangan
untuk mendapatkan akses ke layanan kesehatan mental masih sangat besar. Menurut
data Kementerian Kesehatan, rasio psikolog dan psikiater terhadap jumlah
penduduk masih sangat minim, yakni sekitar 0,18 per 100.000 penduduk. Hal ini
berarti, banyak orang yang mengalami gangguan kesehatan mental tidak
mendapatkan perawatan yang memadai. Terlebih, layanan kesehatan mental
seringkali masih dipandang sebagai fasilitas sekunder di banyak rumah sakit.
Hal ini membuat prioritas bagi pasien dengan masalah mental lebih rendah
dibanding pasien dengan penyakit fisik.
Pemerintah
memang telah mengupayakan beberapa kebijakan, salah satunya melalui Peraturan
Presiden No. 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang mencakup layanan
kesehatan mental di BPJS Kesehatan. Namun, dalam implementasinya masih sering ditemukan
kendala, terutama dalam hal keterbatasan tenaga medis, minimnya fasilitas yang
ramah kesehatan mental, serta kurangnya edukasi bagi masyarakat.
Menghancurkan Stigma dan
Menciptakan Dukungan Sosial
Stigma yang melekat pada
kesehatan mental masih menjadi salah satu penghalang terbesar dalam upaya
penanganan masalah ini. Banyak orang yang takut dicap "gila" atau
"tidak normal" ketika mereka berbicara tentang masalah mental mereka.
Menurut riset yang dilakukan oleh Mental Health Foundation, stigma ini
membuat orang lebih enggan untuk mencari bantuan, meskipun mereka menyadari
bahwa mereka membutuhkan pertolongan.
Untuk
mengatasi masalah ini, dibutuhkan perubahan budaya yang lebih mendukung.
Langkah awal adalah dengan mengedukasi masyarakat tentang kesehatan mental dan
menghancurkan stigma yang selama ini melekat. Perusahaan-perusahaan juga perlu
mulai memberikan perhatian lebih pada kesejahteraan mental karyawan mereka.
Langkah seperti menyediakan konseling di tempat kerja, memberikan cuti sakit
untuk alasan mental, dan menciptakan lingkungan yang mendukung keseimbangan
antara kerja dan kehidupan pribadi bisa menjadi solusi yang konkret.
Di
sekolah dan kampus, pengenalan akan pentingnya kesehatan mental juga bisa
ditingkatkan melalui program-program edukasi kesehatan mental. Peningkatan
kesadaran siswa dan mahasiswa tentang pentingnya menjaga kesehatan jiwa bisa
mengurangi risiko masalah kesehatan mental di kalangan muda.
Peran Individu dalam
Menjaga Kesehatan Mental
Selain upaya dari
pemerintah dan institusi, individu juga memiliki peran penting dalam menjaga
kesehatan mental mereka sendiri. Membuat langkah-langkah preventif seperti
menjaga gaya hidup sehat dan seimbang bisa membantu mencegah gangguan kesehatan
mental. Beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain.
1.
Berolahraga secara teratur: Studi dari Mayo
Clinic menyebutkan bahwa olahraga secara rutin dapat meningkatkan mood dan
menurunkan tingkat stres .
2.
Menjaga tidur yang cukup: Tidur yang cukup
sangat penting untuk kesehatan mental. Menurut National Sleep Foundation,
kurang tidur dapat memperburuk gejala kecemasan dan depresi.
3.
Berkomunikasi dengan orang yang dipercaya:
Mencari dukungan sosial dengan berbicara kepada teman, keluarga, atau konselor
bisa membantu meringankan beban pikiran.
4.
Mengelola waktu di media sosial: Membatasi
waktu di media sosial dan fokus pada aktivitas yang positif dapat mengurangi
tekanan mental yang dihasilkan oleh scrolling tanpa henti.
Dari
uraian di atas, disimpulkan bahwa Hari Kesehatan Mental Sedunia adalah
momen refleksi bagi kita semua, bukan hanya sebagai pengingat untuk
memperhatikan kesehatan mental diri sendiri, tetapi juga untuk mendorong
perubahan sistemik yang lebih besar di masyarakat. Kesehatan mental bukan lagi
sekadar isu individu, melainkan bagian dari kesejahteraan nasional yang harus
diupayakan bersama. Pemerintah, perusahaan, institusi pendidikan, hingga
individu, semuanya memiliki peran dalam menciptakan dunia yang lebih peduli
terhadap kesehatan mental.
Di
tengah kesibukan dan tekanan hidup modern, mari kita prioritaskan kesehatan
jiwa sebagai fondasi untuk hidup yang lebih seimbang dan bermakna. Karena pada
akhirnya, tanpa jiwa yang sehat, pencapaian duniawi kita tidak akan ada
artinya.
Referensi:
·
Kementerian Kesehatan RI, Data Kesehatan
Mental Indonesia
·
World Health Organization, Mental Health
Statistics
·
Harvard Business Review, The Burnout
Epidemic
·
University of Pennsylvania, The Impact
of Social Media on Mental Health
·
Journal of the American Medical
Association (JAMA), Mental Health During COVID-19 Pandemic
·
Mayo Clinic, Exercise and Mental Health
·
National Sleep Foundation, Sleep and
Mental Health
Komentar
Posting Komentar