Stratifikasi Sosial Suku Sasak
Pendahuluan
Stratifikasi sosial dalam masyarakat Suku Sasak di Lombok merupakan sebuah sistem yang membedakan status dan peran individu berdasarkan garis keturunan, kekuasaan, serta akses terhadap sumber daya sosial dan ekonomi. Sistem ini telah berlangsung secara turun-temurun dan memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan sosial, budaya, dan adat istiadat Sasak. Pengelompokan masyarakat menjadi dua golongan utama, yaitu bangsawan (menak) dan rakyat biasa (jajar karang). Hal ini mencerminkan hierarki sosial yang menentukan hubungan antargolongan, peran dalam komunitas, serta aturan-aturan dalam perkawinan dan interaksi sosial. Gelar-gelar seperti "Lalu" dan "Baiq" yang digunakan oleh kaum bangsawan, menjadi simbol yang memperkuat stratifikasi ini. Meskipun modernisasi membawa perubahan dalam dinamika sosial, pengaruh stratifikasi sosial masih sangat terasa, terutama dalam adat dan tradisi yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Sasak.
Definisi Stratifikasi Sosial
Stratifikasi
sosial adalah pembagian masyarakat ke dalam lapisan-lapisan hierarkis
berdasarkan faktor-faktor seperti kekayaan, kekuasaan, status, dan prestise.
Menurut Max Weber
Sementara itu, Kingsley Davis dan Wilbert
Moore
Secara
keseluruhan, stratifikasi sosial berfungsi sebagai sistem yang membatasi
mobilitas sosial, namun mengatur akses terhadap sumber daya dan pengaruh dalam
masyarakat.
Golongan Sosial dan
Pengelompokan Status dalam Masyarakat Sasak
Pengelompokan
sosial dalam masyarakat Sasak, yang tinggal di Pulau Lombok, diatur oleh
struktur sosial yang telah berlangsung sejak lama dan diwariskan turun-temurun.
Pengelompokan ini membedakan masyarakat berdasarkan asal-usul, peran, dan
status sosial yang seringkali juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan budaya.
Secara umum, masyarakat Sasak terbagi ke dalam dua golongan besar: bangsawan (menak)
dan rakyat biasa (jajar karang). Pengelompokan ini memengaruhi berbagai
aspek kehidupan, termasuk pola perkawinan, tradisi, bahasa, dan peran dalam
komunitas.
Golongan
menak terdiri atas orang-orang yang memiliki garis keturunan dari
penguasa atau pemimpin tradisional di Lombok. Mereka memiliki kekuasaan lebih
tinggi dalam masyarakat dan dihormati karena status kebangsawanannya. Bangsawan
sering diidentifikasi dengan gelar-gelar kehormatan yang menunjukkan strata
sosialnya, seperti gelar "Lalu" untuk laki-laki dan "Baiq"
untuk perempuan. Gelar-gelar ini mencerminkan kedudukan mereka yang lebih
tinggi dalam hierarki sosial. Menurut penelitian
Keberadaan
golongan bangsawan ini sering diiringi oleh kepemilikan tanah, harta benda, dan
kekuasaan politik, yang menguatkan posisi mereka di masyarakat. Selain itu,
mereka memiliki akses yang lebih baik terhadap pendidikan dan kekuasaan
dibandingkan rakyat biasa, yang semakin memperkokoh peran mereka sebagai
pemimpin sosial dan ekonomi. Dalam banyak kasus, keluarga bangsawan memiliki
pengaruh besar dalam keputusan-keputusan komunitas, terutama dalam urusan adat
dan agama.
Golongan
jajar karang terdiri atas rakyat biasa yang tidak memiliki darah bangsawan.
Mereka biasanya bekerja sebagai petani, nelayan, atau pekerja biasa, dengan
akses terbatas terhadap kekuasaan dan kepemimpinan politik. Dalam masyarakat
tradisional Sasak, hubungan antara bangsawan dan rakyat biasa seringkali
bersifat patron-klien. Rakyat biasa bergantung pada perlindungan dan bantuan
dari keluarga bangsawan. Meskipun demikian, golongan jajar karang tetap
memiliki peran penting dalam masyarakat, terutama dalam sektor-sektor produksi
dan tenaga kerja.
Pengelompokan
ini memperlihatkan adanya stratifikasi sosial yang kuat. Masyarakat tidak mudah
berpindah dari satu golongan ke golongan lainnya. Mobilitas sosial sering
terbatas, terutama dalam hal perkawinan yang kerap kali diatur berdasarkan
status sosial masing-masing individu
Gelar
"Lalu" dan "Baiq" menjadi simbol penting
dalam sistem stratifikasi sosial masyarakat Sasak. Gelar ini diwariskan secara
turun-temurun, khususnya di kalangan bangsawan, dan menunjukkan adanya
perbedaan status di antara anggota masyarakat. Gelar-gelar ini bukan hanya
tanda penghormatan, tetapi juga berfungsi sebagai penanda identitas sosial dan
asal-usul seseorang. Bagi masyarakat Sasak, gelar Lalu untuk pria dan Baiq
untuk wanita adalah tanda bahwa mereka berasal dari keturunan bangsawan dan
memiliki kedudukan sosial yang lebih tinggi dibandingkan rakyat biasa.
Selain
itu, penggunaan gelar-gelar ini juga berfungsi dalam menjaga prestise keluarga
dan komunitas. Bangsawan dengan gelar ini memiliki tanggung jawab besar dalam
menjaga adat dan tradisi Sasak, serta diharapkan menjadi pemimpin dalam
berbagai ritual dan upacara adat. Gelar ini memberikan mereka otoritas lebih
dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam komunitas lokal maupun dalam hubungan
politik dengan daerah lain. Namun, meskipun gelar-gelar ini memperkuat status
sosial, mereka juga menciptakan batasan-batasan dalam hubungan sosial.
Dengan
perkembangan sosial, ekonomi, dan pendidikan di Lombok, ada perubahan dalam
pandangan masyarakat terhadap stratifikasi sosial berbasis gelar dan keturunan.
Masyarakat modern cenderung lebih terbuka terhadap mobilitas sosial, terutama
dengan meningkatnya peran pendidikan dan ekonomi sebagai faktor pembentuk
status sosial baru. Namun, dalam konteks adat dan budaya, golongan bangsawan
masih mempertahankan pengaruh mereka, terutama dalam acara-acara adat dan
upacara keagamaan yang melibatkan seluruh komunitas.
Pergeseran
ini tidak serta merta menghapuskan pengaruh gelar dalam masyarakat Sasak, namun
memberikan ruang bagi redefinisi status sosial yang tidak lagi sepenuhnya
bergantung pada garis keturunan. Faktor ekonomi dan pendidikan menjadi penentu
status sosial yang lebih besar dalam masyarakat Sasak kontemporer, meskipun
gelar bangsawan tetap dihormati dalam lingkup budaya.
Berdasarkan
uraian di atas, disimpulkan bahwa pengelompokan sosial dalam masyarakat Sasak
memperlihatkan stratifikasi yang kuat antara bangsawan (menak) dan
rakyat biasa (jajar karang). Gelar "Lalu" dan "Baiq"
memegang peranan penting sebagai simbol status sosial yang diwariskan. Hal ini
menandai perbedaan dalam hak dan kewajiban antara golongan-golongan tersebut.
Meskipun terjadi perubahan dalam struktur sosial akibat modernisasi, sistem
stratifikasi tradisional ini masih relevan dalam beberapa aspek kehidupan
masyarakat Sasak, terutama yang terkait dengan adat dan budaya lokal.
Pengaruh Stratifikasi Sosial
dalam Perkawinan
Dalam
masyarakat Sasak, stratifikasi sosial memainkan peran penting dalam adat
perkawinan. Stratifikasi ini mengatur siapa yang boleh menikah dengan siapa,
terutama berdasarkan status sosial, baik itu bangsawan (menak) maupun
rakyat biasa (jajar karang). Tradisi ini telah berlangsung selama
berabad-abad dan bertujuan untuk menjaga kemurnian garis keturunan dan
kehormatan keluarga, terutama di kalangan bangsawan.
Perkawinan
di kalangan bangsawan (menak) biasanya diatur secara ketat untuk
memastikan bahwa mereka menikah dengan sesama bangsawan. Hal ini dilakukan
untuk menjaga status sosial dan prestise keluarga bangsawan, serta mencegah
"penurunan kasta" melalui pernikahan dengan rakyat biasa. Dalam
banyak kasus, pernikahan antar bangsawan dianggap ideal karena dapat menjaga
kesinambungan hak-hak istimewa, seperti kekuasaan politik, tanah, dan warisan. Sebaliknya,
perkawinan antara bangsawan (menak) dan rakyat biasa (jajar karang)
sering kali dianggap tidak sesuai dan bahkan dilarang dalam beberapa komunitas
Sasak. Meskipun demikian, ada kasus-kasus pernikahan antar-golongan terjadi,
namun biasanya diiringi dengan penolakan atau ketegangan dari keluarga
bangsawan, terutama jika tidak ada kesetaraan dalam status sosial. Dalam
konteks ini, perbedaan status sosial menjadi faktor penentu utama apakah sebuah
perkawinan diterima atau tidak.
Aminah (2017) dalam penelitiannya
mengenai perkawinan di masyarakat Sengkerang, Lombok Tengah, menyoroti bahwa
perkawinan antara bangsawan dan rakyat biasa jarang terjadi karena adanya norma
adat yang ketat. Apabila terjadi, biasanya keluarga bangsawan menganggap hal
tersebut sebagai penurunan status, yang bisa merusak reputasi keluarga
bangsawan tersebut.
Salah
satu konsep penting dalam perkawinan di masyarakat Sasak adalah kafaah, yang
dalam konteks perkawinan merujuk pada kesetaraan status sosial antara pasangan.
Konsep ini sangat ditekankan dalam pernikahan antar-golongan, terutama di
kalangan bangsawan. Kafaah memastikan bahwa kedua belah pihak yang menikah
berasal dari kelas sosial yang setara, sehingga tidak ada penurunan status
sosial setelah pernikahan. Menurut
Konsep
kafaah juga mencerminkan pengaruh agama Islam dalam struktur sosial masyarakat
Sasak. Kesetaraan sosial antara pasangan dianggap sebagai salah satu syarat
penting dalam membangun rumah tangga yang harmonis. Namun, dalam konteks
stratifikasi sosial, kafaah lebih sering digunakan untuk mempertahankan garis
keturunan bangsawan daripada mempromosikan kesetaraan dalam arti luas.
Perbedaan
status sosial dalam perkawinan seringkali memunculkan konflik sosial, terutama
dalam masyarakat tradisional yang sangat menjunjung tinggi status sosial dan
adat istiadat. Keluarga bangsawan biasanya akan menolak pernikahan dengan
rakyat biasa karena dianggap akan menurunkan prestise keluarga. Selain itu,
pernikahan semacam itu sering kali dipandang sebagai bentuk pemberontakan
terhadap norma-norma sosial yang telah mapan.
Dalam
beberapa kasus, seperti yang dibahas oleh
Dalam
beberapa komunitas Sasak, terutama di kalangan bangsawan, perkawinan semarga
atau dalam lingkaran keluarga dekat sering kali diatur untuk memastikan
kemurnian garis keturunan.
Meskipun
stratifikasi sosial masih memiliki pengaruh kuat dalam adat perkawinan Sasak,
modernisasi dan perubahan nilai-nilai sosial di kalangan generasi muda mulai memengaruhi
praktik ini. Banyak dari generasi muda Sasak yang menganggap pernikahan harus
didasarkan pada cinta dan kesetaraan pribadi, bukan pada status sosial atau
gelar kebangsawanan. Dalam masyarakat modern, pendidikan dan ekonomi menjadi
faktor yang lebih penting dalam menentukan status sosial seseorang, sehingga
konsep kafaah dan stratifikasi sosial dalam perkawinan mulai memudar.
Dari
uraian di atas, disimpulkan bahwa stratifikasi sosial memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap adat perkawinan di masyarakat Sasak, terutama dalam
mempertahankan garis keturunan bangsawan dan menjaga kehormatan keluarga.
Konsep kafaah, yang menekankan kesetaraan status sosial dalam perkawinan,
menjadi landasan dalam menentukan pasangan yang sesuai. Meskipun modernisasi
mulai membawa perubahan dalam norma-norma perkawinan, banyak komunitas Sasak
yang masih mempertahankan aturan ketat mengenai perkawinan antar golongan.
Merariq
(Tradisi Kawin Lari) dan Pengaruh Status Sosial
Merariq,
atau dikenal sebagai tradisi kawin lari, adalah salah satu bentuk perkawinan
yang masih dipraktikkan oleh masyarakat Sasak di Lombok. Tradisi ini
memungkinkan sepasang kekasih untuk menikah tanpa melalui proses lamaran formal
yang biasa dilakukan oleh keluarga. Dalam praktiknya, Merariq melibatkan
si laki-laki yang "melarikan" perempuan yang dicintainya dengan
sepengetahuan pihak perempuan, tetapi seringkali tanpa sepengetahuan keluarga
pihak perempuan. Merariq dianggap sebagai cara untuk menunjukkan
keberanian, sekaligus bentuk perlawanan terhadap aturan adat yang ketat dalam
proses perkawinan.
Bagi
kalangan bangsawan (menak), Merariq tidak hanya dipandang sebagai
praktik budaya tetapi juga sebagai tindakan yang memiliki implikasi sosial yang
signifikan. Karena bangsawan memiliki status sosial yang lebih tinggi, keluarga
bangsawan seringkali sangat berhati-hati dalam memilih pasangan untuk anak-anak
mereka agar sesuai dengan status mereka. Pernikahan di kalangan bangsawan
biasanya direncanakan secara hati-hati untuk menjaga garis keturunan dan
kehormatan keluarga, serta menghindari pernikahan dengan golongan rakyat biasa
(jajar karang). Namun, dalam beberapa kasus, Merariq juga terjadi
di kalangan bangsawan, terutama ketika pasangan yang bersangkutan tidak
disetujui oleh keluarga mereka karena berbagai alasan, termasuk perbedaan
status atau alasan pribadi lainnya. Ketika bangsawan melakukan Merariq,
tindakan ini sering kali menimbulkan konflik internal dalam keluarga dan
komunitas, terutama jika pasangan tersebut berasal dari golongan yang berbeda.
Menurut
Di
kalangan rakyat biasa (jajar karang), tradisi Merariq lebih umum
dan sering dianggap sebagai bentuk legitimasi sosial untuk mempercepat proses
pernikahan. Merariq biasanya dilakukan oleh pasangan muda yang ingin
menikah tanpa harus melalui proses panjang yang melibatkan keluarga besar.
Dalam masyarakat Sasak, Merariq menjadi alternatif yang diterima secara
sosial ketika pernikahan formal terhambat oleh berbagai alasan, seperti
ketidaksetujuan keluarga atau keterbatasan ekonomi untuk menyelenggarakan upacara
pernikahan yang besar.
Pada
umumnya, praktik Merariq di kalangan rakyat biasa tidak dianggap sebagai
tindakan yang kontroversial, terutama jika pasangan tersebut berasal dari
strata sosial yang setara. Namun, masalah bisa muncul ketika pasangan yang
melarikan diri berasal dari golongan yang berbeda, seperti pernikahan antara
rakyat biasa dan bangsawan, yang seringkali menimbulkan konflik status dan
penolakan dari keluarga bangsawan.
Selama
beberapa dekade, nilai-nilai yang mendasari tradisi Merariq telah
mengalami perubahan yang signifikan. Di masa lalu, Merariq dianggap
sebagai ritual adat yang sacral. Pernikahan yang dilakukan melalui kawin lari
tetap diakui dan dihormati setelah dilakukan upacara adat yang melibatkan kedua
belah pihak keluarga. Namun, modernisasi dan perubahan sosial-ekonomi di Lombok
telah mengubah cara pandang masyarakat terhadap tradisi ini.
Di
sisi lain, Merariq masih dipraktikkan secara luas di daerah pedesaan di
Lombok. Tradisi dan adat masih sangat
dijunjung tinggi. Namun, dalam beberapa kasus, praktik ini telah berubah dari
bentuk aslinya. Sebagai contoh, ada kecenderungan untuk melakukan Merariq
dengan lebih banyak persetujuan dari keluarga, meskipun tetap dilakukan secara
simbolis. Perubahan ini mencerminkan akomodasi nilai-nilai modern dalam tradisi
Merariq. Aspek-aspek adat tetap dipertahankan, tetapi dengan penyesuaian
terhadap konteks sosial yang lebih luas.
Status
sosial memainkan peran penting dalam bagaimana tradisi Merariq
dilaksanakan dan dipandang oleh masyarakat. Di kalangan bangsawan, status
sosial yang tinggi seringkali menjadi penghalang bagi pasangan yang ingin
melakukan Merariq, terutama jika pasangan tersebut berasal dari golongan
yang berbeda. Dalam masyarakat tradisional, Merariq yang melibatkan
pasangan dari strata sosial yang berbeda dapat menyebabkan stigma sosial,
terutama bagi pihak bangsawan yang dianggap menurunkan status mereka dengan menikahi
rakyat biasa. Sebaliknya, di kalangan rakyat biasa, Merariq lebih
diterima karena tidak ada tuntutan ketat mengenai status sosial pasangan. Dalam
hal ini, kesetaraan status sosial menjadi faktor penting dalam penerimaan
tradisi Merariq. Jika kedua pasangan berasal dari strata sosial yang
sama, Merariq sering dipandang sebagai pilihan yang wajar dan diterima
oleh masyarakat. Namun, perubahan nilai-nilai sosial yang lebih egaliter dalam
masyarakat modern mulai memudarkan pengaruh stratifikasi sosial terhadap
praktik Merariq. Keluarga, baik bangsawan maupun rakyat biasa, mulai
lebih terbuka terhadap pernikahan yang didasarkan pada cinta dan kesepakatan
pribadi daripada status sosial semata. Perubahan ini terutama terlihat di
kalangan generasi muda yang lebih memilih pendekatan pernikahan yang demokratis
dan berbasis kesetaraan.
Di
tengah perubahan sosial yang terjadi di Lombok, tradisi Merariq tetap
bertahan sebagai salah satu elemen penting dalam budaya perkawinan masyarakat
Sasak. Namun, bentuk dan maknanya telah berubah dari waktu ke waktu. Generasi
muda lebih cenderung melihat Merariq sebagai simbol budaya yang menarik,
tetapi tidak lagi sepenuhnya mengikuti aturan tradisional yang mengharuskan
kawin lari tanpa persetujuan keluarga. Penyesuaian terhadap nilai-nilai modern
ini memungkinkan tradisi Merariq tetap relevan sambil mengakomodasi
perubahan sosial yang terjadi.
Dalam
konteks modern, Merariq tidak lagi hanya dipandang sebagai tindakan
pemberontakan terhadap keluarga, tetapi juga sebagai cara untuk mempertahankan
tradisi dalam bentuk yang lebih adaptif. Beberapa keluarga bahkan melakukan Merariq
sebagai simbolis dalam upacara pernikahan mereka, dengan tetap melibatkan
keluarga besar dan persetujuan mereka. Hal ini mencerminkan bagaimana tradisi
kuno dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman, tanpa kehilangan esensi
budaya yang menjadi ciri khas masyarakat Sasak.
Berdasarkan
uraian di atas, disimpulkan bahwa tradisi Merariq dalam masyarakat Sasak
memiliki akar yang kuat dalam budaya perkawinan, namun status sosial memainkan
peran penting dalam cara tradisi ini dipraktikkan dan dipandang. Di kalangan
bangsawan, Merariq sering dianggap sebagai ancaman terhadap status
sosial, sedangkan di kalangan rakyat biasa, Merariq lebih diterima
sebagai cara yang sah untuk menikah. Seiring dengan modernisasi, nilai-nilai
tradisional Merariq telah mengalami perubahan, dengan semakin banyak
keluarga yang menerima pernikahan yang didasarkan pada persetujuan bersama, dan
bukan hanya status sosial. Tradisi ini tetap bertahan, tetapi dengan bentuk dan
makna yang telah beradaptasi dengan perubahan zaman.
Akulturasi Islam dalam
Stratifikasi Sosial Masyarakat Sasak
Akulturasi
antara Islam dan adat tradisional Sasak telah berlangsung selama berabad-abad.
Hal ini memengaruhi berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat Sasak, termasuk
dalam struktur sosial dan perkawinan. Islam memainkan peran penting dalam
membentuk tatanan sosial, terutama di kalangan bangsawan (menak), yang
tidak hanya mengadopsi ajaran agama tetapi juga menyesuaikannya dengan adat
yang sudah ada. Proses akulturasi ini menciptakan sinergi antara nilai-nilai
keagamaan dan adat tradisional, yang kemudian memperkuat stratifikasi sosial di
masyarakat Sasak.
Di
kalangan bangsawan Sasak, Islam tidak hanya menjadi panduan spiritual, tetapi
juga memberikan legitimasi atas status sosial mereka. Sebagai golongan yang
memiliki kekuasaan dan pengaruh, para bangsawan menak mengadopsi ajaran
Islam sebagai bagian dari identitas sosial mereka. Hal ini tercermin dalam cara
mereka memimpin masyarakat, menjalankan upacara adat, dan mengatur hubungan
sosial. Sebagai kelompok elit, bangsawan sering kali berperan sebagai pemimpin agama
(tokoh agama atau ulama) yang dihormati, terutama dalam komunitas tradisional
Sasak yang menggabungkan kekuasaan duniawi dan spiritual.
Dalam
konteks ini, Islam berfungsi untuk memperkuat status sosial bangsawan. Para
bangsawan menak diakui sebagai pemimpin yang memiliki tanggung jawab
tidak hanya dalam urusan politik, tetapi juga dalam menjaga nilai-nilai Islam
di masyarakat.
Perkawinan
dalam masyarakat bangsawan Sasak tidak hanya diatur oleh norma-norma adat,
tetapi juga oleh hukum Islam. Konsep kafaah dalam Islam, yang menekankan
kesetaraan pasangan dalam hal status sosial, agama, dan ekonomi, memiliki
pengaruh besar dalam menentukan pasangan yang dianggap layak dalam masyarakat
bangsawan. Kafaah digunakan oleh bangsawan Sasak untuk mempertahankan kemurnian
garis keturunan mereka dan mencegah pernikahan dengan rakyat biasa yang
dianggap tidak setara. Namun, kafaah ini dalam praktiknya seringkali
ditafsirkan dalam konteks adat Sasak yang sangat menjunjung tinggi status
sosial. Akibatnya, pernikahan antar-bangsawan menjadi norma yang dipertahankan
dengan ketat untuk menjaga kehormatan dan prestise keluarga. Jika seorang
bangsawan menikahi rakyat biasa, pernikahan tersebut sering kali dianggap
melanggar norma adat, meskipun secara agama Islam tidak ada larangan yang
ketat. Hal ini menunjukkan bagaimana adat dan Islam berinteraksi dalam
membentuk pandangan tentang kesetaraan sosial dan perkawinan di kalangan
bangsawan Sasak.
Aminullah (2017) juga mencatat bahwa dalam
beberapa kasus, para ulama atau pemimpin agama bangsawan menggunakan
interpretasi hukum Islam yang lebih fleksibel untuk menjustifikasi pernikahan
yang bertentangan dengan adat. Misalnya, ada kasus pernikahan antara bangsawan
dan rakyat biasa diakui secara agama, meskipun menghadapi penolakan dari
masyarakat adat. Ini menunjukkan bahwa Islam dan adat tidak selalu selaras,
tetapi sering kali saling bernegosiasi untuk menjaga harmoni sosial.
Selain
memengaruhi perkawinan, Islam juga memiliki peran dalam pembentukan
stratifikasi sosial di masyarakat Sasak. Islam memberikan kerangka moral dan
etika yang membedakan antara individu yang dianggap saleh (beriman dan
bertakwa) dan mereka yang kurang taat dalam menjalankan ajaran agama. Bangsawan
yang dikenal sebagai pemimpin agama atau ulama sering kali dianggap memiliki
status sosial yang lebih tinggi, tidak hanya karena garis keturunan mereka,
tetapi juga karena peran mereka dalam menjaga dan mengajarkan ajaran Islam
kepada masyarakat.
Dalam
konteks ini, Islam membantu membentuk struktur sosial. Pengetahuan agama dan
ketaatan menjadi indikator status sosial yang penting. Masyarakat yang taat
beragama dan sering terlibat dalam kegiatan keagamaan akan lebih dihormati,
sementara mereka yang tidak menunjukkan komitmen yang kuat terhadap ajaran
Islam mungkin dianggap berada pada status sosial yang lebih rendah, terlepas
dari latar belakang ekonomi atau keturunan mereka. Namun, di kalangan
bangsawan, stratifikasi sosial tetap sangat ditentukan oleh keturunan. Pengaruh
Islam dalam memperkenalkan nilai kesetaraan dan persaudaraan universal sering
kali diabaikan dalam konteks stratifikasi sosial. Garis keturunan dan status
bangsawan tetap dominan. Oleh karena itu, meskipun Islam menekankan kesetaraan
di hadapan Tuhan, dalam praktik sosial, norma-norma adat yang berhubungan
dengan keturunan dan status sosial tetap lebih kuat di kalangan bangsawan Sasak.
Dengan
berkembangnya modernisasi, pengaruh Islam dan adat tradisional dalam
stratifikasi sosial di masyarakat Sasak mulai mengalami perubahan. Nilai-nilai
Islam yang lebih egaliter mulai menjadi lebih menonjol di kalangan generasi
muda Sasak yang mulai melihat bahwa status sosial tidak lagi sepenuhnya
bergantung pada garis keturunan atau gelar bangsawan, tetapi pada pendidikan
dan ketaatan beragama.
Islam
memainkan peran penting dalam mendorong mobilitas sosial melalui pendidikan
agama dan umum. Para pemuda Sasak yang menempuh pendidikan agama di pesantren
atau perguruan tinggi Islam sering kali mendapatkan status sosial yang lebih
tinggi, bahkan di kalangan bangsawan, karena pengetahuan mereka tentang agama
dianggap sangat penting. Ini membuka peluang bagi rakyat biasa untuk naik dalam
tatanan sosial melalui prestasi dalam pendidikan dan ketaatan beragama. Namun,
interaksi antara adat dan Islam dalam konteks stratifikasi sosial tetap
kompleks. Meskipun modernisasi membawa perubahan dalam pandangan terhadap
status sosial, pengaruh adat tetap kuat di beberapa komunitas tradisional
Sasak, terutama di pedesaan. Di sini, peran bangsawan sebagai pemimpin adat dan
agama masih sangat dihormati, dan stratifikasi sosial yang berbasis pada
keturunan tetap menjadi norma yang diterima.
Berdasarkan
uraian di atas, disimpulkan bahwa akulturasi Islam dan adat tradisional dalam
masyarakat Sasak telah membentuk struktur sosial yang kompleks. Agama dan adat
saling berinteraksi dalam menentukan status sosial dan norma perkawinan. Di
kalangan bangsawan, Islam memperkuat legitimasi mereka sebagai pemimpin sosial
dan spiritual, sementara adat tetap mempertahankan hierarki sosial yang
didasarkan pada garis keturunan. Meskipun nilai-nilai Islam tentang kesetaraan
mulai meresap dalam masyarakat modern, stratifikasi sosial yang berakar pada
adat dan keturunan tetap menjadi elemen penting dalam struktur sosial
masyarakat Sasak.
Peran Stratifikasi Sosial
dalam Kebudayaan Lokal Masyarakat Sasak
Stratifikasi
sosial dalam masyarakat Sasak tidak hanya memengaruhi hubungan sosial dan
perkawinan, tetapi juga berperan penting dalam aspek-aspek kebudayaan lokal,
seperti bahasa, nilai-nilai sosial, dan pengasuhan anak. Keterkaitan antara
status sosial dan kebudayaan lokal menciptakan perbedaan yang jelas antara
golongan bangsawan (menak) dan rakyat biasa (jajar karang), baik
dalam cara mereka berkomunikasi, mendidik anak-anak, maupun menjalankan nilai-nilai
sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Bahasa
menjadi salah satu penanda status sosial dalam masyarakat Sasak, terutama di
kalangan bangsawan. Di kalangan menak, penggunaan bahasa yang lebih
halus dan sopan menunjukkan status sosial yang lebih tinggi. Dalam interaksi
sehari-hari, orang-orang dari golongan bangsawan cenderung menggunakan bahasa
Sasak yang lebih halus, yang mencerminkan kesopanan dan kehalusan budi pekerti.
Sementara itu, rakyat biasa biasanya menggunakan bahasa lebih kasar atau akrab,
yang menunjukkan status sosial yang lebih rendah dalam hierarki masyarakat.
Mugni (2016) menjelaskan bahwa bahasa
yang digunakan oleh bangsawan tidak hanya mempertegas status mereka, tetapi
juga berfungsi sebagai alat kontrol sosial. Penggunaan bahasa halus oleh
bangsawan menegaskan posisi mereka sebagai pemimpin yang dihormati dan
berwibawa. Bahkan dalam upacara adat atau pertemuan resmi, penggunaan bahasa
ini menjadi lebih jelas dan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara
golongan sosial yang berbeda. Di sisi lain, rakyat biasa yang berinteraksi
dengan bangsawan harus menggunakan bahasa yang menunjukkan rasa hormat terhadap
status sosial bangsawan tersebut. Hal ini memperlihatkan bagaimana bahasa
menjadi cerminan dari struktur sosial masyarakat Sasak. Perbedaan status sosial
berpengaruh langsung terhadap cara berkomunikasi. Perbedaan dalam penggunaan
bahasa ini juga diwariskan kepada generasi muda melalui pendidikan informal di
rumah, sehingga bahasa menjadi bagian integral dari identitas sosial mereka.
Nilai-nilai
sosial dalam masyarakat Sasak, terutama di kalangan bangsawan, juga dipengaruhi
oleh stratifikasi sosial. Keluarga bangsawan seringkali dianggap sebagai
penjaga tradisi dan nilai-nilai sosial yang luhur, seperti kehormatan,
kesopanan, dan tanggung jawab. Mereka diharapkan menjadi contoh bagi masyarakat
dalam hal moralitas, perilaku sosial, dan kepatuhan terhadap adat istiadat.
Stratifikasi
sosial juga memengaruhi nilai-nilai dalam hubungan antargenerasi. Anak-anak
bangsawan diajarkan untuk memahami peran dan status mereka sejak dini, serta
menghormati hierarki sosial yang ada. Di sisi lain, rakyat biasa diajarkan
untuk menghormati para bangsawan dan mengikuti nilai-nilai yang ditetapkan oleh
mereka. Dalam hal ini, stratifikasi sosial menciptakan hubungan patron-klien. Bangsawan
berperan sebagai pelindung dan pemimpin, sementara rakyat biasa memberikan
penghormatan dan loyalitas mereka.
Stratifikasi
sosial juga sangat berpengaruh dalam pengasuhan anak, terutama di kalangan
bangsawan Sasak. Pengasuhan di keluarga bangsawan menekankan pentingnya
pendidikan moral, kesopanan, dan tanggung jawab sosial yang tinggi. Anak-anak
bangsawan dididik sejak kecil untuk menyadari status mereka dan memahami peran
serta tanggung jawab yang akan mereka emban di masa depan. Keluarga bangsawan
sering kali memberikan pendidikan yang lebih baik bagi anak-anak mereka, baik
melalui sekolah formal maupun pendidikan agama. Hal ini untuk memastikan bahwa
mereka dapat meneruskan peran sebagai pemimpin dalam masyarakat.
Mugni (2016) menjelaskan bahwa
pengasuhan di kalangan bangsawan tidak hanya difokuskan pada pendidikan formal,
tetapi juga pada pemeliharaan adat dan tradisi. Anak-anak diajarkan untuk
menjaga martabat keluarga, termasuk dengan memahami etiket sosial yang
berkaitan dengan status mereka sebagai bangsawan. Selain itu, anak-anak
bangsawan dilatih untuk menggunakan bahasa halus dalam berkomunikasi dengan
orang lain, terutama dengan rakyat biasa, sebagai cara untuk menegaskan posisi
sosial mereka.
Selain
pendidikan formal, anak-anak bangsawan juga seringkali dilibatkan dalam
kegiatan adat dan upacara keagamaan sejak usia dini. Hal ini bertujuan untuk
memastikan bahwa mereka memahami peran mereka dalam menjaga tradisi dan adat
istiadat yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Pengasuhan semacam
ini mempersiapkan mereka untuk menjadi pemimpin yang dihormati di kemudian
hari. Sebaliknya, di kalangan rakyat biasa, pengasuhan anak lebih berfokus pada
pemenuhan kebutuhan ekonomi dan praktis, dengan perhatian yang lebih sedikit
terhadap nilai-nilai adat yang mendalam. Meskipun rakyat biasa juga mengajarkan
anak-anak mereka tentang adat istiadat dan norma-norma sosial, tekanan untuk
mematuhi aturan stratifikasi sosial tidak sekuat di kalangan bangsawan. Namun,
rakyat biasa tetap diajarkan untuk menghormati bangsawan dan hierarki sosial
yang ada.
Meskipun
stratifikasi sosial masih memainkan peran penting dalam kebudayaan lokal
masyarakat Sasak, modernisasi dan perubahan sosial-ekonomi mulai mengubah cara
pandang terhadap struktur sosial ini. Generasi muda, terutama di perkotaan,
mulai melihat bahwa status sosial tidak lagi sepenuhnya bergantung pada
keturunan, tetapi juga pada pendidikan, pekerjaan, dan prestasi pribadi. Ini
menyebabkan pergeseran nilai-nilai sosial. Mobilitas sosial lebih memungkinkan
dibandingkan masa lalu. Namun, di daerah pedesaan atau di komunitas tradisional
yang lebih konservatif, stratifikasi sosial masih sangat kuat. Nilai-nilai yang
diwariskan oleh keluarga bangsawan, seperti pentingnya menjaga status dan
martabat keluarga, tetap dijunjung tinggi. Anak-anak bangsawan diharapkan tetap
mempertahankan peran mereka sebagai pemimpin sosial dan penjaga adat, meskipun
mereka dihadapkan pada tekanan dari nilai-nilai modern yang lebih egaliter.
Berdasarkan
uraian di atas, disimpulkan bahwa stratifikasi sosial memiliki dampak besar
terhadap aspek-aspek kebudayaan lokal masyarakat Sasak, terutama di kalangan
bangsawan. Penggunaan bahasa, nilai-nilai sosial, dan pengasuhan anak semua
dipengaruhi oleh hierarki sosial yang ketat, di mana bangsawan berperan sebagai
penjaga tradisi dan adat istiadat. Meskipun modernisasi membawa perubahan dalam
cara masyarakat melihat stratifikasi sosial, di banyak komunitas tradisional,
norma-norma sosial yang didasarkan pada status sosial tetap bertahan. Perbedaan
dalam bahasa, pengasuhan anak, dan nilai-nilai sosial mencerminkan bagaimana
stratifikasi sosial menjadi bagian integral dari identitas kebudayaan
masyarakat Sasak.
Mobilitas Sosial dan
Perubahan Stratifikasi Sosial di Masyarakat Sasak
Stratifikasi
sosial dalam masyarakat Sasak yang secara tradisional mengelompokkan individu
berdasarkan keturunan, status sosial, dan peran dalam masyarakat mengalami
perubahan dinamis seiring dengan perkembangan sosial dan ekonomi. Mobilitas
sosial, yaitu kemampuan individu atau kelompok untuk berpindah dari satu kelas
sosial ke kelas sosial lainnya, mulai menjadi lebih mungkin terjadi dengan
adanya peningkatan akses terhadap pendidikan, perubahan ekonomi, serta
modernisasi. Perubahan ini memengaruhi struktur sosial yang sebelumnya kaku,
terutama di kalangan bangsawan (menak) dan rakyat biasa (jajar karang).
Bagi
rakyat biasa (jajar karang), perubahan sosial dan ekonomi memberikan
lebih banyak kesempatan untuk meningkatkan status sosial mereka, yang
sebelumnya sulit dijangkau karena kendala stratifikasi tradisional. Di masa
lalu, status sosial sangat ditentukan oleh garis keturunan dan akses terhadap
kekuasaan atau tanah, yang sebagian besar dimiliki oleh kalangan bangsawan.
Namun, dengan adanya perubahan ekonomi seperti urbanisasi, industrialisasi, dan
kemajuan pendidikan, rakyat biasa memiliki lebih banyak peluang untuk
meningkatkan status sosial mereka melalui prestasi pribadi, pendidikan, dan
keberhasilan ekonomi.
Sumardi & Hanum (2019)
menyoroti bagaimana pendidikan telah menjadi faktor penting dalam mobilitas
sosial di masyarakat Sasak. Orang-orang yang sebelumnya berasal dari golongan
rakyat biasa mulai memperoleh akses ke pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini
memungkinkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan
meningkatkan status ekonomi mereka. Peningkatan pendidikan ini juga membuka
jalan bagi mereka untuk terlibat dalam profesi yang lebih bergengsi dan
memungkinkan mereka untuk mendapatkan pengakuan sosial yang lebih luas, yang
sebelumnya hanya didominasi oleh kalangan bangsawan.
Selain
itu, perubahan ekonomi yang diakibatkan oleh globalisasi dan pariwisata di
Lombok membuka kesempatan baru bagi rakyat biasa untuk terlibat dalam sektor
ekonomi yang berkembang, seperti bisnis pariwisata dan perdagangan. Hal ini
memungkinkan mereka untuk memperoleh kekayaan dan status sosial yang lebih
tinggi, bahkan diakui di kalangan bangsawan. Dengan demikian, mobilitas sosial
di kalangan rakyat biasa mengalami peningkatan, yang secara langsung berdampak
pada perubahan dinamika stratifikasi sosial di masyarakat Sasak.
Di
sisi lain, perubahan ini juga berdampak pada bangsawan (menak). Meskipun
status bangsawan masih dihormati dan diakui, terutama dalam konteks adat dan
tradisi, perubahan sosial dan ekonomi mulai mengurangi peran eksklusif
bangsawan dalam masyarakat.
Modernisasi
juga menyebabkan perubahan pandangan generasi muda bangsawan terhadap peran dan
tanggung jawab sosial mereka. Banyak di antara generasi muda bangsawan yang
memilih untuk berfokus pada pendidikan dan karir di luar struktur tradisional
bangsawan. Hal ini menyebabkan pergeseran nilai-nilai yang sebelumnya sangat
menghargai status keturunan. Meskipun gelar kebangsawanan seperti Lalu
dan Baiq masih dihormati, nilai sosial yang melekat pada gelar ini tidak
lagi sekuat sebelumnya dalam menentukan status dan peran seseorang dalam
masyarakat modern Sasak.
Perubahan
ini juga terlihat dalam konteks perkawinan. Pernikahan antar-kelas sosial yang
sebelumnya dianggap tabu, kini menjadi lebih diterima, terutama di kalangan
generasi muda yang lebih progresif. Bangsawan yang menikahi rakyat biasa tidak
lagi dianggap sebagai pelanggaran besar terhadap norma-norma sosial. Hal ini
mencerminkan pergeseran dalam pemahaman tentang stratifikasi sosial yang lebih
inklusif.
Beberapa
faktor utama yang mempengaruhi mobilitas sosial dan perubahan stratifikasi
sosial di masyarakat Sasak meliputi: pendidikan; ekonomi dan pariwisata;
urbanisasi dan migrasi; dan pengaruh media dan globalisasi.
Pendidikan
merupakan faktor kunci yang memungkinkan rakyat biasa meningkatkan status
sosial mereka. Orang-orang yang berpendidikan lebih tinggi memiliki akses yang
lebih baik ke pekerjaan dengan status lebih tinggi, yang sebelumnya hanya dapat
dicapai oleh kalangan bangsawan. Ekspansi sektor pariwisata di Lombok telah
menciptakan peluang ekonomi baru. Rakyat biasa dapat terlibat dalam bisnis dan
industri pariwisata. Kekayaan yang diperoleh melalui pariwisata memungkinkan
mereka untuk mendapatkan pengakuan sosial dan meningkatkan status mereka di
masyarakat. Mobilitas fisik dari pedesaan ke perkotaan juga memainkan peran
penting dalam mobilitas sosial. Mereka yang pindah ke daerah perkotaan sering
kali memiliki lebih banyak akses ke pendidikan, pekerjaan, dan sumber daya
lainnya yang dapat meningkatkan status sosial mereka. Globalisasi dan pengaruh
media, termasuk media sosial, juga memberikan dampak pada bagaimana masyarakat
memandang stratifikasi sosial. Nilai-nilai modern yang lebih egaliter dan fokus
pada meritokrasi mulai menggantikan norma-norma tradisional yang menekankan
keturunan sebagai penentu utama status sosial.
Meskipun
status bangsawan masih diakui dalam konteks adat dan upacara tradisional, peran
sosial dan politik bangsawan mulai berkurang dalam masyarakat yang lebih modern
dan terurbanisasi. Bangsawan tidak lagi memegang kekuasaan eksklusif dalam
pemerintahan lokal, karena posisi-posisi tersebut kini terbuka bagi individu
dari latar belakang rakyat biasa yang memiliki kualifikasi yang sesuai.
Di
era modern, dinamika stratifikasi sosial di masyarakat Sasak terus mengalami
perubahan seiring dengan perkembangan ekonomi dan sosial. Mobilitas sosial
vertikal—kemampuan untuk naik atau turun dalam struktur sosial—lebih
memungkinkan sekarang daripada di masa lalu. Pendidikan, keberhasilan ekonomi,
dan keterlibatan dalam bisnis modern menjadi faktor utama yang mengubah cara
masyarakat memandang stratifikasi sosial.
Meskipun
demikian, ketegangan antara nilai-nilai tradisional dan modernitas masih ada.
Di satu sisi, generasi muda yang terdidik dan terpapar pada nilai-nilai global
mulai melihat pentingnya meritokrasi dan mobilitas sosial berdasarkan kemampuan
individu, bukan berdasarkan keturunan. Di sisi lain, nilai-nilai tradisional,
terutama yang berkaitan dengan stratifikasi sosial berbasis keturunan, masih
dipegang teguh oleh beberapa komunitas, terutama di pedesaan.
Berdasarkan
uraian di atas, disimpulkan bahwa perubahan sosial dan ekonomi telah membawa
dampak besar pada mobilitas sosial dan perubahan stratifikasi sosial di
masyarakat Sasak. Faktor-faktor seperti pendidikan, ekonomi, dan globalisasi
telah memberikan peluang baru bagi rakyat biasa untuk meningkatkan status
sosial mereka, sementara peran bangsawan dalam masyarakat semakin simbolis.
Meskipun hierarki sosial berbasis keturunan masih ada, terutama dalam konteks
adat dan budaya, perubahan sosial di era modern membuka jalan bagi mobilitas
sosial yang lebih inklusif, dengan meritokrasi dan prestasi pribadi menjadi
penentu utama status sosial di masyarakat Sasak modern.
Konsekuensi Stratifikasi
Sosial dalam Masyarakat Sasak
Stratifikasi
sosial dalam masyarakat Sasak telah menciptakan perbedaan status antara
golongan bangsawan (menak) dan rakyat biasa (jajar karang) yang
berdampak pada berbagai aspek kehidupan sosial, termasuk perkawinan, hubungan
antargenerasi, serta akses terhadap sumber daya sosial dan ekonomi
Di
satu sisi, stratifikasi sosial dalam masyarakat Sasak dapat memberikan manfaat
dalam konteks budaya dan stabilitas sosial. Bangsawan sering kali dianggap
sebagai penjaga tradisi yang mewarisi tanggung jawab untuk mempertahankan
budaya dan adat Sasak. Mereka memainkan peran penting dalam upacara adat,
pernikahan, dan ritual keagamaan yang memperkuat identitas budaya Masyarakat
Stratifikasi
sosial juga membawa berbagai konsekuensi negatif yang dapat menciptakan
ketegangan sosial. Salah satu dampak negatif yang paling signifikan adalah
hambatan dalam perkawinan antar kelas sosial. Di kalangan bangsawan, pernikahan
dengan rakyat biasa sering kali dianggap tidak sesuai dan bahkan bisa dilarang.
Ini menciptakan batasan sosial yang ketat dan menghambat kebebasan individu
untuk memilih pasangan berdasarkan cinta atau kesesuaian pribadi. Perkawinan
antar kelas dapat memicu penolakan sosial dan konflik dalam keluarga, merusak
hubungan antarpersonal dan menegaskan ketidakseimbangan sosial yang ada
Stratifikasi
sosial juga menciptakan konflik antargenerasi, terutama ketika nilai-nilai
tradisional bersinggungan dengan modernitas. Generasi muda Sasak, yang terpapar
pendidikan dan nilai-nilai global, sering kali merasa bahwa stratifikasi sosial
berbasis keturunan sudah ketinggalan zaman dan tidak relevan dengan dunia
modern. Hal ini menciptakan ketegangan antara generasi muda yang menginginkan
mobilitas sosial yang lebih inklusif dan generasi tua yang masih memegang teguh
nilai-nilai adat
Selain
itu, stratifikasi sosial juga memperburuk kesenjangan dalam akses ekonomi dan
pendidikan. Bangsawan sering kali memiliki akses lebih baik terhadap sumber
daya seperti tanah, kekuasaan politik, dan pendidikan, sementara rakyat biasa
mengalami keterbatasan dalam mengakses pendidikan tinggi atau posisi sosial
yang lebih baik, menghambat mobilitas sosial mereka
Perubahan
sosial dan ekonomi, seperti globalisasi dan urbanisasi, memengaruhi bagaimana
stratifikasi sosial dipandang. Meskipun stratifikasi sosial masih diterima
sebagai bagian dari tradisi yang menghormati bangsawan, generasi muda semakin
mempertanyakan relevansi sistem ini dalam konteks modern
Secara
keseluruhan, stratifikasi sosial dalam masyarakat Sasak memiliki dampak positif
dalam menjaga adat dan ketertiban sosial, namun juga membawa dampak negatif
seperti hambatan dalam perkawinan antar kelas dan konflik antargenerasi.
Perubahan sosial dan modernisasi mempercepat dinamika ini, dengan generasi muda
yang lebih terbuka terhadap kesetaraan dan meritokrasi. Upaya untuk mengatasi
dampak negatif stratifikasi sosial, terutama melalui pendidikan dan kebijakan
inklusif, terus berkembang, meskipun norma-norma tradisional tetap kuat di
beberapa komunitas.
Komentar
Posting Komentar