Stratifikasi Sosial Suku Sasak

Pendahuluan 

Stratifikasi sosial dalam masyarakat Suku Sasak di Lombok merupakan sebuah sistem yang membedakan status dan peran individu berdasarkan garis keturunan, kekuasaan, serta akses terhadap sumber daya sosial dan ekonomi. Sistem ini telah berlangsung secara turun-temurun dan memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan sosial, budaya, dan adat istiadat Sasak. Pengelompokan masyarakat menjadi dua golongan utama, yaitu bangsawan (menak) dan rakyat biasa (jajar karang). Hal ini mencerminkan hierarki sosial yang menentukan hubungan antargolongan, peran dalam komunitas, serta aturan-aturan dalam perkawinan dan interaksi sosial. Gelar-gelar seperti "Lalu" dan "Baiq" yang digunakan oleh kaum bangsawan, menjadi simbol yang memperkuat stratifikasi ini. Meskipun modernisasi membawa perubahan dalam dinamika sosial, pengaruh stratifikasi sosial masih sangat terasa, terutama dalam adat dan tradisi yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Sasak.

Definisi Stratifikasi Sosial

Stratifikasi sosial adalah pembagian masyarakat ke dalam lapisan-lapisan hierarkis berdasarkan faktor-faktor seperti kekayaan, kekuasaan, status, dan prestise. Menurut Max Weber (2014), stratifikasi sosial mencakup dimensi ekonomi (kelas), prestise (status), dan kekuasaan (politik), yang saling memengaruhi dalam membentuk hierarki sosial. Karl Marx (1978) menekankan bahwa stratifikasi sosial terutama dipengaruhi oleh faktor ekonomi, dengan pembagian masyarakat menjadi kelas-kelas seperti borjuis dan proletariat, yang menciptakan ketegangan dan konflik sosial.

Sementara itu, Kingsley Davis dan Wilbert Moore (1945) memandang stratifikasi sebagai mekanisme fungsional yang memastikan bahwa peran-peran penting diisi oleh individu yang paling memenuhi syarat dan mendapatkan imbalan yang setimpal. Pierre Bourdieu (1984) menambahkan bahwa stratifikasi tidak hanya didasarkan pada ekonomi, tetapi juga pada modal budaya (pendidikan dan keterampilan) dan modal sosial (jaringan dan hubungan), yang berperan dalam melanggengkan ketidaksetaraan sosial melalui reproduksi sosial dan budaya.

Secara keseluruhan, stratifikasi sosial berfungsi sebagai sistem yang membatasi mobilitas sosial, namun mengatur akses terhadap sumber daya dan pengaruh dalam masyarakat.

 

Golongan Sosial dan Pengelompokan Status dalam Masyarakat Sasak

Pengelompokan sosial dalam masyarakat Sasak, yang tinggal di Pulau Lombok, diatur oleh struktur sosial yang telah berlangsung sejak lama dan diwariskan turun-temurun. Pengelompokan ini membedakan masyarakat berdasarkan asal-usul, peran, dan status sosial yang seringkali juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan budaya. Secara umum, masyarakat Sasak terbagi ke dalam dua golongan besar: bangsawan (menak) dan rakyat biasa (jajar karang). Pengelompokan ini memengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk pola perkawinan, tradisi, bahasa, dan peran dalam komunitas.

Golongan menak terdiri atas orang-orang yang memiliki garis keturunan dari penguasa atau pemimpin tradisional di Lombok. Mereka memiliki kekuasaan lebih tinggi dalam masyarakat dan dihormati karena status kebangsawanannya. Bangsawan sering diidentifikasi dengan gelar-gelar kehormatan yang menunjukkan strata sosialnya, seperti gelar "Lalu" untuk laki-laki dan "Baiq" untuk perempuan. Gelar-gelar ini mencerminkan kedudukan mereka yang lebih tinggi dalam hierarki sosial. Menurut penelitian Taufiq et al. (2023), gelar Lalu dan Baiq tidak hanya menjadi simbol kebangsawanan, tetapi juga alat untuk memperkuat pengelompokan status sosial di masyarakat Sasak.

Keberadaan golongan bangsawan ini sering diiringi oleh kepemilikan tanah, harta benda, dan kekuasaan politik, yang menguatkan posisi mereka di masyarakat. Selain itu, mereka memiliki akses yang lebih baik terhadap pendidikan dan kekuasaan dibandingkan rakyat biasa, yang semakin memperkokoh peran mereka sebagai pemimpin sosial dan ekonomi. Dalam banyak kasus, keluarga bangsawan memiliki pengaruh besar dalam keputusan-keputusan komunitas, terutama dalam urusan adat dan agama.

Golongan jajar karang terdiri atas rakyat biasa yang tidak memiliki darah bangsawan. Mereka biasanya bekerja sebagai petani, nelayan, atau pekerja biasa, dengan akses terbatas terhadap kekuasaan dan kepemimpinan politik. Dalam masyarakat tradisional Sasak, hubungan antara bangsawan dan rakyat biasa seringkali bersifat patron-klien. Rakyat biasa bergantung pada perlindungan dan bantuan dari keluarga bangsawan. Meskipun demikian, golongan jajar karang tetap memiliki peran penting dalam masyarakat, terutama dalam sektor-sektor produksi dan tenaga kerja.

Pengelompokan ini memperlihatkan adanya stratifikasi sosial yang kuat. Masyarakat tidak mudah berpindah dari satu golongan ke golongan lainnya. Mobilitas sosial sering terbatas, terutama dalam hal perkawinan yang kerap kali diatur berdasarkan status sosial masing-masing individu (Sadat, 2015). Hubungan perkawinan antara golongan menak dan jajar karang sering dianggap tidak sesuai, dan pernikahan antar-golongan jarang terjadi atau bahkan dilarang dalam beberapa tradisi adat Sasak.

Gelar "Lalu" dan "Baiq" menjadi simbol penting dalam sistem stratifikasi sosial masyarakat Sasak. Gelar ini diwariskan secara turun-temurun, khususnya di kalangan bangsawan, dan menunjukkan adanya perbedaan status di antara anggota masyarakat. Gelar-gelar ini bukan hanya tanda penghormatan, tetapi juga berfungsi sebagai penanda identitas sosial dan asal-usul seseorang. Bagi masyarakat Sasak, gelar Lalu untuk pria dan Baiq untuk wanita adalah tanda bahwa mereka berasal dari keturunan bangsawan dan memiliki kedudukan sosial yang lebih tinggi dibandingkan rakyat biasa.

Selain itu, penggunaan gelar-gelar ini juga berfungsi dalam menjaga prestise keluarga dan komunitas. Bangsawan dengan gelar ini memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga adat dan tradisi Sasak, serta diharapkan menjadi pemimpin dalam berbagai ritual dan upacara adat. Gelar ini memberikan mereka otoritas lebih dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam komunitas lokal maupun dalam hubungan politik dengan daerah lain. Namun, meskipun gelar-gelar ini memperkuat status sosial, mereka juga menciptakan batasan-batasan dalam hubungan sosial. Taufiq et al. (2023) mencatat bahwa penggunaan gelar ini masih sangat dihormati dalam beberapa komunitas di Lombok, meskipun ada pergeseran nilai di kalangan generasi muda. Sebagian generasi muda mulai melihat bahwa pengelompokan sosial berdasarkan gelar tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman modern. Namun demikian, pada beberapa komunitas tradisional, status sosial yang ditentukan oleh gelar tetap dijaga ketat dan dianggap sebagai bagian dari identitas dan kebanggaan budaya.

Dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan pendidikan di Lombok, ada perubahan dalam pandangan masyarakat terhadap stratifikasi sosial berbasis gelar dan keturunan. Masyarakat modern cenderung lebih terbuka terhadap mobilitas sosial, terutama dengan meningkatnya peran pendidikan dan ekonomi sebagai faktor pembentuk status sosial baru. Namun, dalam konteks adat dan budaya, golongan bangsawan masih mempertahankan pengaruh mereka, terutama dalam acara-acara adat dan upacara keagamaan yang melibatkan seluruh komunitas.

Pergeseran ini tidak serta merta menghapuskan pengaruh gelar dalam masyarakat Sasak, namun memberikan ruang bagi redefinisi status sosial yang tidak lagi sepenuhnya bergantung pada garis keturunan. Faktor ekonomi dan pendidikan menjadi penentu status sosial yang lebih besar dalam masyarakat Sasak kontemporer, meskipun gelar bangsawan tetap dihormati dalam lingkup budaya.

Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa pengelompokan sosial dalam masyarakat Sasak memperlihatkan stratifikasi yang kuat antara bangsawan (menak) dan rakyat biasa (jajar karang). Gelar "Lalu" dan "Baiq" memegang peranan penting sebagai simbol status sosial yang diwariskan. Hal ini menandai perbedaan dalam hak dan kewajiban antara golongan-golongan tersebut. Meskipun terjadi perubahan dalam struktur sosial akibat modernisasi, sistem stratifikasi tradisional ini masih relevan dalam beberapa aspek kehidupan masyarakat Sasak, terutama yang terkait dengan adat dan budaya lokal.

 

Pengaruh Stratifikasi Sosial dalam Perkawinan

Dalam masyarakat Sasak, stratifikasi sosial memainkan peran penting dalam adat perkawinan. Stratifikasi ini mengatur siapa yang boleh menikah dengan siapa, terutama berdasarkan status sosial, baik itu bangsawan (menak) maupun rakyat biasa (jajar karang). Tradisi ini telah berlangsung selama berabad-abad dan bertujuan untuk menjaga kemurnian garis keturunan dan kehormatan keluarga, terutama di kalangan bangsawan.

Perkawinan di kalangan bangsawan (menak) biasanya diatur secara ketat untuk memastikan bahwa mereka menikah dengan sesama bangsawan. Hal ini dilakukan untuk menjaga status sosial dan prestise keluarga bangsawan, serta mencegah "penurunan kasta" melalui pernikahan dengan rakyat biasa. Dalam banyak kasus, pernikahan antar bangsawan dianggap ideal karena dapat menjaga kesinambungan hak-hak istimewa, seperti kekuasaan politik, tanah, dan warisan. Sebaliknya, perkawinan antara bangsawan (menak) dan rakyat biasa (jajar karang) sering kali dianggap tidak sesuai dan bahkan dilarang dalam beberapa komunitas Sasak. Meskipun demikian, ada kasus-kasus pernikahan antar-golongan terjadi, namun biasanya diiringi dengan penolakan atau ketegangan dari keluarga bangsawan, terutama jika tidak ada kesetaraan dalam status sosial. Dalam konteks ini, perbedaan status sosial menjadi faktor penentu utama apakah sebuah perkawinan diterima atau tidak.

Aminah (2017) dalam penelitiannya mengenai perkawinan di masyarakat Sengkerang, Lombok Tengah, menyoroti bahwa perkawinan antara bangsawan dan rakyat biasa jarang terjadi karena adanya norma adat yang ketat. Apabila terjadi, biasanya keluarga bangsawan menganggap hal tersebut sebagai penurunan status, yang bisa merusak reputasi keluarga bangsawan tersebut.

Salah satu konsep penting dalam perkawinan di masyarakat Sasak adalah kafaah, yang dalam konteks perkawinan merujuk pada kesetaraan status sosial antara pasangan. Konsep ini sangat ditekankan dalam pernikahan antar-golongan, terutama di kalangan bangsawan. Kafaah memastikan bahwa kedua belah pihak yang menikah berasal dari kelas sosial yang setara, sehingga tidak ada penurunan status sosial setelah pernikahan. Menurut Arif (2022), dalam masyarakat Sasak, kafaah tidak hanya dilihat dari segi agama, tetapi juga dari aspek sosial dan adat. Misalnya, pernikahan antara seorang bangsawan menak dan rakyat biasa dianggap sebagai bentuk ketidaksetaraan yang dapat merusak status sosial keluarga bangsawan tersebut. Dalam kasus ini, keluarga bangsawan akan berusaha untuk mengatur perkawinan anak-anak mereka hanya dengan orang-orang yang memiliki status sosial serupa.

Konsep kafaah juga mencerminkan pengaruh agama Islam dalam struktur sosial masyarakat Sasak. Kesetaraan sosial antara pasangan dianggap sebagai salah satu syarat penting dalam membangun rumah tangga yang harmonis. Namun, dalam konteks stratifikasi sosial, kafaah lebih sering digunakan untuk mempertahankan garis keturunan bangsawan daripada mempromosikan kesetaraan dalam arti luas.

Perbedaan status sosial dalam perkawinan seringkali memunculkan konflik sosial, terutama dalam masyarakat tradisional yang sangat menjunjung tinggi status sosial dan adat istiadat. Keluarga bangsawan biasanya akan menolak pernikahan dengan rakyat biasa karena dianggap akan menurunkan prestise keluarga. Selain itu, pernikahan semacam itu sering kali dipandang sebagai bentuk pemberontakan terhadap norma-norma sosial yang telah mapan.

Dalam beberapa kasus, seperti yang dibahas oleh Aminah (2017), perkawinan antara golongan yang berbeda bisa menimbulkan ostrakisme sosial bagi pasangan yang menikah. Mereka mungkin mengalami penolakan dari keluarga besar atau bahkan komunitas mereka, yang dapat memengaruhi hubungan sosial mereka dalam jangka panjang. Selain itu, anak-anak dari pernikahan antar-golongan ini mungkin menghadapi tantangan dalam menavigasi identitas sosial mereka, terutama jika mereka tidak diakui sebagai bagian dari golongan bangsawan. Di sisi lain, ada juga kasus pasangan dari golongan yang berbeda berhasil menikah dengan dukungan dari keluarga dan masyarakat. Namun, ini biasanya terjadi di komunitas yang lebih modern. Di komunitas yang lebih modern, stratifikasi sosial mulai memudar dan nilai-nilai egalitarianisme lebih ditekankan.

Dalam beberapa komunitas Sasak, terutama di kalangan bangsawan, perkawinan semarga atau dalam lingkaran keluarga dekat sering kali diatur untuk memastikan kemurnian garis keturunan. Ardiyanti & Hasan (2023) menjelaskan bahwa pernikahan sesama bangsawan dianggap memenuhi syarat kafaah dan menjaga kehormatan keluarga. Dalam konteks ini, pilihan pasangan menjadi terbatas pada sesama bangsawan, yang kadang-kadang menyebabkan pernikahan antar keluarga atau marga tertentu. Praktik ini masih banyak ditemukan di beberapa desa di Lombok Tengah dan Lombok Timur. Pernikahan antar-bangsawan dianggap sebagai cara untuk melestarikan budaya dan memastikan kesinambungan hak-hak waris. Namun, hal ini juga membatasi pilihan pasangan bagi anak-anak bangsawan, yang harus memilih pasangan dari golongan yang sama demi menjaga status sosial mereka.

Meskipun stratifikasi sosial masih memiliki pengaruh kuat dalam adat perkawinan Sasak, modernisasi dan perubahan nilai-nilai sosial di kalangan generasi muda mulai memengaruhi praktik ini. Banyak dari generasi muda Sasak yang menganggap pernikahan harus didasarkan pada cinta dan kesetaraan pribadi, bukan pada status sosial atau gelar kebangsawanan. Dalam masyarakat modern, pendidikan dan ekonomi menjadi faktor yang lebih penting dalam menentukan status sosial seseorang, sehingga konsep kafaah dan stratifikasi sosial dalam perkawinan mulai memudar. Arif (2022) menyoroti bahwa beberapa keluarga bangsawan yang lebih progresif mulai menerima pernikahan dengan rakyat biasa, selama pasangan tersebut memiliki pendidikan dan ekonomi yang baik. Namun, di banyak desa tradisional, terutama di kalangan bangsawan konservatif, norma-norma adat mengenai kafaah dan stratifikasi sosial dalam perkawinan masih dijaga dengan ketat. Hal ini mencerminkan adanya dualitas dalam masyarakat Sasak antara nilai-nilai tradisional yang menjunjung tinggi status sosial dan modernitas yang lebih inklusif dan egalitarian.

Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa stratifikasi sosial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap adat perkawinan di masyarakat Sasak, terutama dalam mempertahankan garis keturunan bangsawan dan menjaga kehormatan keluarga. Konsep kafaah, yang menekankan kesetaraan status sosial dalam perkawinan, menjadi landasan dalam menentukan pasangan yang sesuai. Meskipun modernisasi mulai membawa perubahan dalam norma-norma perkawinan, banyak komunitas Sasak yang masih mempertahankan aturan ketat mengenai perkawinan antar golongan.

 

Merariq (Tradisi Kawin Lari) dan Pengaruh Status Sosial

Merariq, atau dikenal sebagai tradisi kawin lari, adalah salah satu bentuk perkawinan yang masih dipraktikkan oleh masyarakat Sasak di Lombok. Tradisi ini memungkinkan sepasang kekasih untuk menikah tanpa melalui proses lamaran formal yang biasa dilakukan oleh keluarga. Dalam praktiknya, Merariq melibatkan si laki-laki yang "melarikan" perempuan yang dicintainya dengan sepengetahuan pihak perempuan, tetapi seringkali tanpa sepengetahuan keluarga pihak perempuan. Merariq dianggap sebagai cara untuk menunjukkan keberanian, sekaligus bentuk perlawanan terhadap aturan adat yang ketat dalam proses perkawinan.

Bagi kalangan bangsawan (menak), Merariq tidak hanya dipandang sebagai praktik budaya tetapi juga sebagai tindakan yang memiliki implikasi sosial yang signifikan. Karena bangsawan memiliki status sosial yang lebih tinggi, keluarga bangsawan seringkali sangat berhati-hati dalam memilih pasangan untuk anak-anak mereka agar sesuai dengan status mereka. Pernikahan di kalangan bangsawan biasanya direncanakan secara hati-hati untuk menjaga garis keturunan dan kehormatan keluarga, serta menghindari pernikahan dengan golongan rakyat biasa (jajar karang). Namun, dalam beberapa kasus, Merariq juga terjadi di kalangan bangsawan, terutama ketika pasangan yang bersangkutan tidak disetujui oleh keluarga mereka karena berbagai alasan, termasuk perbedaan status atau alasan pribadi lainnya. Ketika bangsawan melakukan Merariq, tindakan ini sering kali menimbulkan konflik internal dalam keluarga dan komunitas, terutama jika pasangan tersebut berasal dari golongan yang berbeda. Menurut Kholidi et al. (2021), praktik Merariq di kalangan bangsawan kadang-kadang dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap norma-norma keluarga, terutama jika pasangan tersebut tidak berasal dari kalangan bangsawan.

Di kalangan rakyat biasa (jajar karang), tradisi Merariq lebih umum dan sering dianggap sebagai bentuk legitimasi sosial untuk mempercepat proses pernikahan. Merariq biasanya dilakukan oleh pasangan muda yang ingin menikah tanpa harus melalui proses panjang yang melibatkan keluarga besar. Dalam masyarakat Sasak, Merariq menjadi alternatif yang diterima secara sosial ketika pernikahan formal terhambat oleh berbagai alasan, seperti ketidaksetujuan keluarga atau keterbatasan ekonomi untuk menyelenggarakan upacara pernikahan yang besar.

Pada umumnya, praktik Merariq di kalangan rakyat biasa tidak dianggap sebagai tindakan yang kontroversial, terutama jika pasangan tersebut berasal dari strata sosial yang setara. Namun, masalah bisa muncul ketika pasangan yang melarikan diri berasal dari golongan yang berbeda, seperti pernikahan antara rakyat biasa dan bangsawan, yang seringkali menimbulkan konflik status dan penolakan dari keluarga bangsawan.

Selama beberapa dekade, nilai-nilai yang mendasari tradisi Merariq telah mengalami perubahan yang signifikan. Di masa lalu, Merariq dianggap sebagai ritual adat yang sacral. Pernikahan yang dilakukan melalui kawin lari tetap diakui dan dihormati setelah dilakukan upacara adat yang melibatkan kedua belah pihak keluarga. Namun, modernisasi dan perubahan sosial-ekonomi di Lombok telah mengubah cara pandang masyarakat terhadap tradisi ini. Lamhatul et al. (2021) menunjukkan bahwa di beberapa komunitas, Merariq mulai dianggap sebagai praktik yang kuno dan kurang relevan dengan nilai-nilai modern. Di kalangan generasi muda, ada kecenderungan untuk lebih memilih proses pernikahan yang melibatkan persetujuan keluarga dan upacara formal, daripada melarikan calon istri. Selain itu, adanya perubahan dalam norma sosial, pendidikan, dan ekonomi telah mengurangi ketergantungan pada tradisi Merariq, terutama di kalangan keluarga yang lebih terbuka terhadap nilai-nilai modern.

Di sisi lain, Merariq masih dipraktikkan secara luas di daerah pedesaan di Lombok.  Tradisi dan adat masih sangat dijunjung tinggi. Namun, dalam beberapa kasus, praktik ini telah berubah dari bentuk aslinya. Sebagai contoh, ada kecenderungan untuk melakukan Merariq dengan lebih banyak persetujuan dari keluarga, meskipun tetap dilakukan secara simbolis. Perubahan ini mencerminkan akomodasi nilai-nilai modern dalam tradisi Merariq. Aspek-aspek adat tetap dipertahankan, tetapi dengan penyesuaian terhadap konteks sosial yang lebih luas.

Status sosial memainkan peran penting dalam bagaimana tradisi Merariq dilaksanakan dan dipandang oleh masyarakat. Di kalangan bangsawan, status sosial yang tinggi seringkali menjadi penghalang bagi pasangan yang ingin melakukan Merariq, terutama jika pasangan tersebut berasal dari golongan yang berbeda. Dalam masyarakat tradisional, Merariq yang melibatkan pasangan dari strata sosial yang berbeda dapat menyebabkan stigma sosial, terutama bagi pihak bangsawan yang dianggap menurunkan status mereka dengan menikahi rakyat biasa. Sebaliknya, di kalangan rakyat biasa, Merariq lebih diterima karena tidak ada tuntutan ketat mengenai status sosial pasangan. Dalam hal ini, kesetaraan status sosial menjadi faktor penting dalam penerimaan tradisi Merariq. Jika kedua pasangan berasal dari strata sosial yang sama, Merariq sering dipandang sebagai pilihan yang wajar dan diterima oleh masyarakat. Namun, perubahan nilai-nilai sosial yang lebih egaliter dalam masyarakat modern mulai memudarkan pengaruh stratifikasi sosial terhadap praktik Merariq. Keluarga, baik bangsawan maupun rakyat biasa, mulai lebih terbuka terhadap pernikahan yang didasarkan pada cinta dan kesepakatan pribadi daripada status sosial semata. Perubahan ini terutama terlihat di kalangan generasi muda yang lebih memilih pendekatan pernikahan yang demokratis dan berbasis kesetaraan.

Di tengah perubahan sosial yang terjadi di Lombok, tradisi Merariq tetap bertahan sebagai salah satu elemen penting dalam budaya perkawinan masyarakat Sasak. Namun, bentuk dan maknanya telah berubah dari waktu ke waktu. Generasi muda lebih cenderung melihat Merariq sebagai simbol budaya yang menarik, tetapi tidak lagi sepenuhnya mengikuti aturan tradisional yang mengharuskan kawin lari tanpa persetujuan keluarga. Penyesuaian terhadap nilai-nilai modern ini memungkinkan tradisi Merariq tetap relevan sambil mengakomodasi perubahan sosial yang terjadi.

Dalam konteks modern, Merariq tidak lagi hanya dipandang sebagai tindakan pemberontakan terhadap keluarga, tetapi juga sebagai cara untuk mempertahankan tradisi dalam bentuk yang lebih adaptif. Beberapa keluarga bahkan melakukan Merariq sebagai simbolis dalam upacara pernikahan mereka, dengan tetap melibatkan keluarga besar dan persetujuan mereka. Hal ini mencerminkan bagaimana tradisi kuno dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman, tanpa kehilangan esensi budaya yang menjadi ciri khas masyarakat Sasak.

Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa tradisi Merariq dalam masyarakat Sasak memiliki akar yang kuat dalam budaya perkawinan, namun status sosial memainkan peran penting dalam cara tradisi ini dipraktikkan dan dipandang. Di kalangan bangsawan, Merariq sering dianggap sebagai ancaman terhadap status sosial, sedangkan di kalangan rakyat biasa, Merariq lebih diterima sebagai cara yang sah untuk menikah. Seiring dengan modernisasi, nilai-nilai tradisional Merariq telah mengalami perubahan, dengan semakin banyak keluarga yang menerima pernikahan yang didasarkan pada persetujuan bersama, dan bukan hanya status sosial. Tradisi ini tetap bertahan, tetapi dengan bentuk dan makna yang telah beradaptasi dengan perubahan zaman.

 

Akulturasi Islam dalam Stratifikasi Sosial Masyarakat Sasak

Akulturasi antara Islam dan adat tradisional Sasak telah berlangsung selama berabad-abad. Hal ini memengaruhi berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat Sasak, termasuk dalam struktur sosial dan perkawinan. Islam memainkan peran penting dalam membentuk tatanan sosial, terutama di kalangan bangsawan (menak), yang tidak hanya mengadopsi ajaran agama tetapi juga menyesuaikannya dengan adat yang sudah ada. Proses akulturasi ini menciptakan sinergi antara nilai-nilai keagamaan dan adat tradisional, yang kemudian memperkuat stratifikasi sosial di masyarakat Sasak.

Di kalangan bangsawan Sasak, Islam tidak hanya menjadi panduan spiritual, tetapi juga memberikan legitimasi atas status sosial mereka. Sebagai golongan yang memiliki kekuasaan dan pengaruh, para bangsawan menak mengadopsi ajaran Islam sebagai bagian dari identitas sosial mereka. Hal ini tercermin dalam cara mereka memimpin masyarakat, menjalankan upacara adat, dan mengatur hubungan sosial. Sebagai kelompok elit, bangsawan sering kali berperan sebagai pemimpin agama (tokoh agama atau ulama) yang dihormati, terutama dalam komunitas tradisional Sasak yang menggabungkan kekuasaan duniawi dan spiritual.

Dalam konteks ini, Islam berfungsi untuk memperkuat status sosial bangsawan. Para bangsawan menak diakui sebagai pemimpin yang memiliki tanggung jawab tidak hanya dalam urusan politik, tetapi juga dalam menjaga nilai-nilai Islam di masyarakat. Aminullah (2017) mencatat bahwa di wilayah Lombok Tengah, khususnya di kecamatan Kopang, para bangsawan yang menduduki posisi ulama atau tokoh agama memainkan peran besar dalam mempertahankan tatanan sosial yang berakar pada ajaran Islam dan tradisi lokal. Dengan demikian, Islam menjadi sarana bagi para bangsawan untuk menjaga legitimasi sosial dan memperkuat posisi mereka dalam hierarki masyarakat.

Perkawinan dalam masyarakat bangsawan Sasak tidak hanya diatur oleh norma-norma adat, tetapi juga oleh hukum Islam. Konsep kafaah dalam Islam, yang menekankan kesetaraan pasangan dalam hal status sosial, agama, dan ekonomi, memiliki pengaruh besar dalam menentukan pasangan yang dianggap layak dalam masyarakat bangsawan. Kafaah digunakan oleh bangsawan Sasak untuk mempertahankan kemurnian garis keturunan mereka dan mencegah pernikahan dengan rakyat biasa yang dianggap tidak setara. Namun, kafaah ini dalam praktiknya seringkali ditafsirkan dalam konteks adat Sasak yang sangat menjunjung tinggi status sosial. Akibatnya, pernikahan antar-bangsawan menjadi norma yang dipertahankan dengan ketat untuk menjaga kehormatan dan prestise keluarga. Jika seorang bangsawan menikahi rakyat biasa, pernikahan tersebut sering kali dianggap melanggar norma adat, meskipun secara agama Islam tidak ada larangan yang ketat. Hal ini menunjukkan bagaimana adat dan Islam berinteraksi dalam membentuk pandangan tentang kesetaraan sosial dan perkawinan di kalangan bangsawan Sasak.

Aminullah (2017) juga mencatat bahwa dalam beberapa kasus, para ulama atau pemimpin agama bangsawan menggunakan interpretasi hukum Islam yang lebih fleksibel untuk menjustifikasi pernikahan yang bertentangan dengan adat. Misalnya, ada kasus pernikahan antara bangsawan dan rakyat biasa diakui secara agama, meskipun menghadapi penolakan dari masyarakat adat. Ini menunjukkan bahwa Islam dan adat tidak selalu selaras, tetapi sering kali saling bernegosiasi untuk menjaga harmoni sosial.

Selain memengaruhi perkawinan, Islam juga memiliki peran dalam pembentukan stratifikasi sosial di masyarakat Sasak. Islam memberikan kerangka moral dan etika yang membedakan antara individu yang dianggap saleh (beriman dan bertakwa) dan mereka yang kurang taat dalam menjalankan ajaran agama. Bangsawan yang dikenal sebagai pemimpin agama atau ulama sering kali dianggap memiliki status sosial yang lebih tinggi, tidak hanya karena garis keturunan mereka, tetapi juga karena peran mereka dalam menjaga dan mengajarkan ajaran Islam kepada masyarakat.

Dalam konteks ini, Islam membantu membentuk struktur sosial. Pengetahuan agama dan ketaatan menjadi indikator status sosial yang penting. Masyarakat yang taat beragama dan sering terlibat dalam kegiatan keagamaan akan lebih dihormati, sementara mereka yang tidak menunjukkan komitmen yang kuat terhadap ajaran Islam mungkin dianggap berada pada status sosial yang lebih rendah, terlepas dari latar belakang ekonomi atau keturunan mereka. Namun, di kalangan bangsawan, stratifikasi sosial tetap sangat ditentukan oleh keturunan. Pengaruh Islam dalam memperkenalkan nilai kesetaraan dan persaudaraan universal sering kali diabaikan dalam konteks stratifikasi sosial. Garis keturunan dan status bangsawan tetap dominan. Oleh karena itu, meskipun Islam menekankan kesetaraan di hadapan Tuhan, dalam praktik sosial, norma-norma adat yang berhubungan dengan keturunan dan status sosial tetap lebih kuat di kalangan bangsawan Sasak.

Dengan berkembangnya modernisasi, pengaruh Islam dan adat tradisional dalam stratifikasi sosial di masyarakat Sasak mulai mengalami perubahan. Nilai-nilai Islam yang lebih egaliter mulai menjadi lebih menonjol di kalangan generasi muda Sasak yang mulai melihat bahwa status sosial tidak lagi sepenuhnya bergantung pada garis keturunan atau gelar bangsawan, tetapi pada pendidikan dan ketaatan beragama.

Islam memainkan peran penting dalam mendorong mobilitas sosial melalui pendidikan agama dan umum. Para pemuda Sasak yang menempuh pendidikan agama di pesantren atau perguruan tinggi Islam sering kali mendapatkan status sosial yang lebih tinggi, bahkan di kalangan bangsawan, karena pengetahuan mereka tentang agama dianggap sangat penting. Ini membuka peluang bagi rakyat biasa untuk naik dalam tatanan sosial melalui prestasi dalam pendidikan dan ketaatan beragama. Namun, interaksi antara adat dan Islam dalam konteks stratifikasi sosial tetap kompleks. Meskipun modernisasi membawa perubahan dalam pandangan terhadap status sosial, pengaruh adat tetap kuat di beberapa komunitas tradisional Sasak, terutama di pedesaan. Di sini, peran bangsawan sebagai pemimpin adat dan agama masih sangat dihormati, dan stratifikasi sosial yang berbasis pada keturunan tetap menjadi norma yang diterima.

Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa akulturasi Islam dan adat tradisional dalam masyarakat Sasak telah membentuk struktur sosial yang kompleks. Agama dan adat saling berinteraksi dalam menentukan status sosial dan norma perkawinan. Di kalangan bangsawan, Islam memperkuat legitimasi mereka sebagai pemimpin sosial dan spiritual, sementara adat tetap mempertahankan hierarki sosial yang didasarkan pada garis keturunan. Meskipun nilai-nilai Islam tentang kesetaraan mulai meresap dalam masyarakat modern, stratifikasi sosial yang berakar pada adat dan keturunan tetap menjadi elemen penting dalam struktur sosial masyarakat Sasak.

 

Peran Stratifikasi Sosial dalam Kebudayaan Lokal Masyarakat Sasak

Stratifikasi sosial dalam masyarakat Sasak tidak hanya memengaruhi hubungan sosial dan perkawinan, tetapi juga berperan penting dalam aspek-aspek kebudayaan lokal, seperti bahasa, nilai-nilai sosial, dan pengasuhan anak. Keterkaitan antara status sosial dan kebudayaan lokal menciptakan perbedaan yang jelas antara golongan bangsawan (menak) dan rakyat biasa (jajar karang), baik dalam cara mereka berkomunikasi, mendidik anak-anak, maupun menjalankan nilai-nilai sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Bahasa menjadi salah satu penanda status sosial dalam masyarakat Sasak, terutama di kalangan bangsawan. Di kalangan menak, penggunaan bahasa yang lebih halus dan sopan menunjukkan status sosial yang lebih tinggi. Dalam interaksi sehari-hari, orang-orang dari golongan bangsawan cenderung menggunakan bahasa Sasak yang lebih halus, yang mencerminkan kesopanan dan kehalusan budi pekerti. Sementara itu, rakyat biasa biasanya menggunakan bahasa lebih kasar atau akrab, yang menunjukkan status sosial yang lebih rendah dalam hierarki masyarakat.

Mugni (2016) menjelaskan bahwa bahasa yang digunakan oleh bangsawan tidak hanya mempertegas status mereka, tetapi juga berfungsi sebagai alat kontrol sosial. Penggunaan bahasa halus oleh bangsawan menegaskan posisi mereka sebagai pemimpin yang dihormati dan berwibawa. Bahkan dalam upacara adat atau pertemuan resmi, penggunaan bahasa ini menjadi lebih jelas dan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara golongan sosial yang berbeda. Di sisi lain, rakyat biasa yang berinteraksi dengan bangsawan harus menggunakan bahasa yang menunjukkan rasa hormat terhadap status sosial bangsawan tersebut. Hal ini memperlihatkan bagaimana bahasa menjadi cerminan dari struktur sosial masyarakat Sasak. Perbedaan status sosial berpengaruh langsung terhadap cara berkomunikasi. Perbedaan dalam penggunaan bahasa ini juga diwariskan kepada generasi muda melalui pendidikan informal di rumah, sehingga bahasa menjadi bagian integral dari identitas sosial mereka.

Nilai-nilai sosial dalam masyarakat Sasak, terutama di kalangan bangsawan, juga dipengaruhi oleh stratifikasi sosial. Keluarga bangsawan seringkali dianggap sebagai penjaga tradisi dan nilai-nilai sosial yang luhur, seperti kehormatan, kesopanan, dan tanggung jawab. Mereka diharapkan menjadi contoh bagi masyarakat dalam hal moralitas, perilaku sosial, dan kepatuhan terhadap adat istiadat. Muzakar et al. 2023) menunjukkan bahwa di kalangan bangsawan, nilai-nilai sosial yang diwariskan secara turun-temurun menekankan pentingnya menjaga kehormatan keluarga dan status sosial mereka. Ini tercermin dalam cara mereka berinteraksi dengan masyarakat, menjalankan tanggung jawab sosial, dan menjalani kehidupan sehari-hari. Keluarga bangsawan diharapkan untuk tidak melakukan tindakan yang dapat menurunkan kehormatan keluarga, seperti menikahi rakyat biasa atau melanggar norma-norma adat yang ketat.

Stratifikasi sosial juga memengaruhi nilai-nilai dalam hubungan antargenerasi. Anak-anak bangsawan diajarkan untuk memahami peran dan status mereka sejak dini, serta menghormati hierarki sosial yang ada. Di sisi lain, rakyat biasa diajarkan untuk menghormati para bangsawan dan mengikuti nilai-nilai yang ditetapkan oleh mereka. Dalam hal ini, stratifikasi sosial menciptakan hubungan patron-klien. Bangsawan berperan sebagai pelindung dan pemimpin, sementara rakyat biasa memberikan penghormatan dan loyalitas mereka.

Stratifikasi sosial juga sangat berpengaruh dalam pengasuhan anak, terutama di kalangan bangsawan Sasak. Pengasuhan di keluarga bangsawan menekankan pentingnya pendidikan moral, kesopanan, dan tanggung jawab sosial yang tinggi. Anak-anak bangsawan dididik sejak kecil untuk menyadari status mereka dan memahami peran serta tanggung jawab yang akan mereka emban di masa depan. Keluarga bangsawan sering kali memberikan pendidikan yang lebih baik bagi anak-anak mereka, baik melalui sekolah formal maupun pendidikan agama. Hal ini untuk memastikan bahwa mereka dapat meneruskan peran sebagai pemimpin dalam masyarakat.

Mugni (2016) menjelaskan bahwa pengasuhan di kalangan bangsawan tidak hanya difokuskan pada pendidikan formal, tetapi juga pada pemeliharaan adat dan tradisi. Anak-anak diajarkan untuk menjaga martabat keluarga, termasuk dengan memahami etiket sosial yang berkaitan dengan status mereka sebagai bangsawan. Selain itu, anak-anak bangsawan dilatih untuk menggunakan bahasa halus dalam berkomunikasi dengan orang lain, terutama dengan rakyat biasa, sebagai cara untuk menegaskan posisi sosial mereka.

Selain pendidikan formal, anak-anak bangsawan juga seringkali dilibatkan dalam kegiatan adat dan upacara keagamaan sejak usia dini. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa mereka memahami peran mereka dalam menjaga tradisi dan adat istiadat yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Pengasuhan semacam ini mempersiapkan mereka untuk menjadi pemimpin yang dihormati di kemudian hari. Sebaliknya, di kalangan rakyat biasa, pengasuhan anak lebih berfokus pada pemenuhan kebutuhan ekonomi dan praktis, dengan perhatian yang lebih sedikit terhadap nilai-nilai adat yang mendalam. Meskipun rakyat biasa juga mengajarkan anak-anak mereka tentang adat istiadat dan norma-norma sosial, tekanan untuk mematuhi aturan stratifikasi sosial tidak sekuat di kalangan bangsawan. Namun, rakyat biasa tetap diajarkan untuk menghormati bangsawan dan hierarki sosial yang ada.

Meskipun stratifikasi sosial masih memainkan peran penting dalam kebudayaan lokal masyarakat Sasak, modernisasi dan perubahan sosial-ekonomi mulai mengubah cara pandang terhadap struktur sosial ini. Generasi muda, terutama di perkotaan, mulai melihat bahwa status sosial tidak lagi sepenuhnya bergantung pada keturunan, tetapi juga pada pendidikan, pekerjaan, dan prestasi pribadi. Ini menyebabkan pergeseran nilai-nilai sosial. Mobilitas sosial lebih memungkinkan dibandingkan masa lalu. Namun, di daerah pedesaan atau di komunitas tradisional yang lebih konservatif, stratifikasi sosial masih sangat kuat. Nilai-nilai yang diwariskan oleh keluarga bangsawan, seperti pentingnya menjaga status dan martabat keluarga, tetap dijunjung tinggi. Anak-anak bangsawan diharapkan tetap mempertahankan peran mereka sebagai pemimpin sosial dan penjaga adat, meskipun mereka dihadapkan pada tekanan dari nilai-nilai modern yang lebih egaliter.

Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa stratifikasi sosial memiliki dampak besar terhadap aspek-aspek kebudayaan lokal masyarakat Sasak, terutama di kalangan bangsawan. Penggunaan bahasa, nilai-nilai sosial, dan pengasuhan anak semua dipengaruhi oleh hierarki sosial yang ketat, di mana bangsawan berperan sebagai penjaga tradisi dan adat istiadat. Meskipun modernisasi membawa perubahan dalam cara masyarakat melihat stratifikasi sosial, di banyak komunitas tradisional, norma-norma sosial yang didasarkan pada status sosial tetap bertahan. Perbedaan dalam bahasa, pengasuhan anak, dan nilai-nilai sosial mencerminkan bagaimana stratifikasi sosial menjadi bagian integral dari identitas kebudayaan masyarakat Sasak.

 

Mobilitas Sosial dan Perubahan Stratifikasi Sosial di Masyarakat Sasak

Stratifikasi sosial dalam masyarakat Sasak yang secara tradisional mengelompokkan individu berdasarkan keturunan, status sosial, dan peran dalam masyarakat mengalami perubahan dinamis seiring dengan perkembangan sosial dan ekonomi. Mobilitas sosial, yaitu kemampuan individu atau kelompok untuk berpindah dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya, mulai menjadi lebih mungkin terjadi dengan adanya peningkatan akses terhadap pendidikan, perubahan ekonomi, serta modernisasi. Perubahan ini memengaruhi struktur sosial yang sebelumnya kaku, terutama di kalangan bangsawan (menak) dan rakyat biasa (jajar karang).

Bagi rakyat biasa (jajar karang), perubahan sosial dan ekonomi memberikan lebih banyak kesempatan untuk meningkatkan status sosial mereka, yang sebelumnya sulit dijangkau karena kendala stratifikasi tradisional. Di masa lalu, status sosial sangat ditentukan oleh garis keturunan dan akses terhadap kekuasaan atau tanah, yang sebagian besar dimiliki oleh kalangan bangsawan. Namun, dengan adanya perubahan ekonomi seperti urbanisasi, industrialisasi, dan kemajuan pendidikan, rakyat biasa memiliki lebih banyak peluang untuk meningkatkan status sosial mereka melalui prestasi pribadi, pendidikan, dan keberhasilan ekonomi.

Sumardi & Hanum (2019) menyoroti bagaimana pendidikan telah menjadi faktor penting dalam mobilitas sosial di masyarakat Sasak. Orang-orang yang sebelumnya berasal dari golongan rakyat biasa mulai memperoleh akses ke pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini memungkinkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan meningkatkan status ekonomi mereka. Peningkatan pendidikan ini juga membuka jalan bagi mereka untuk terlibat dalam profesi yang lebih bergengsi dan memungkinkan mereka untuk mendapatkan pengakuan sosial yang lebih luas, yang sebelumnya hanya didominasi oleh kalangan bangsawan.

Selain itu, perubahan ekonomi yang diakibatkan oleh globalisasi dan pariwisata di Lombok membuka kesempatan baru bagi rakyat biasa untuk terlibat dalam sektor ekonomi yang berkembang, seperti bisnis pariwisata dan perdagangan. Hal ini memungkinkan mereka untuk memperoleh kekayaan dan status sosial yang lebih tinggi, bahkan diakui di kalangan bangsawan. Dengan demikian, mobilitas sosial di kalangan rakyat biasa mengalami peningkatan, yang secara langsung berdampak pada perubahan dinamika stratifikasi sosial di masyarakat Sasak.

Di sisi lain, perubahan ini juga berdampak pada bangsawan (menak). Meskipun status bangsawan masih dihormati dan diakui, terutama dalam konteks adat dan tradisi, perubahan sosial dan ekonomi mulai mengurangi peran eksklusif bangsawan dalam masyarakat. Murdi et al. (2020) mencatat bahwa dalam beberapa dekade terakhir, pengaruh bangsawan mulai berkurang, terutama dalam aspek ekonomi dan politik. Hal ini disebabkan oleh munculnya individu-individu dari kalangan rakyat biasa yang sukses secara ekonomi dan mulai mengambil alih peran-peran kepemimpinan dalam masyarakat.

Modernisasi juga menyebabkan perubahan pandangan generasi muda bangsawan terhadap peran dan tanggung jawab sosial mereka. Banyak di antara generasi muda bangsawan yang memilih untuk berfokus pada pendidikan dan karir di luar struktur tradisional bangsawan. Hal ini menyebabkan pergeseran nilai-nilai yang sebelumnya sangat menghargai status keturunan. Meskipun gelar kebangsawanan seperti Lalu dan Baiq masih dihormati, nilai sosial yang melekat pada gelar ini tidak lagi sekuat sebelumnya dalam menentukan status dan peran seseorang dalam masyarakat modern Sasak.

Perubahan ini juga terlihat dalam konteks perkawinan. Pernikahan antar-kelas sosial yang sebelumnya dianggap tabu, kini menjadi lebih diterima, terutama di kalangan generasi muda yang lebih progresif. Bangsawan yang menikahi rakyat biasa tidak lagi dianggap sebagai pelanggaran besar terhadap norma-norma sosial. Hal ini mencerminkan pergeseran dalam pemahaman tentang stratifikasi sosial yang lebih inklusif.

Beberapa faktor utama yang mempengaruhi mobilitas sosial dan perubahan stratifikasi sosial di masyarakat Sasak meliputi: pendidikan; ekonomi dan pariwisata; urbanisasi dan migrasi; dan pengaruh media dan globalisasi.

Pendidikan merupakan faktor kunci yang memungkinkan rakyat biasa meningkatkan status sosial mereka. Orang-orang yang berpendidikan lebih tinggi memiliki akses yang lebih baik ke pekerjaan dengan status lebih tinggi, yang sebelumnya hanya dapat dicapai oleh kalangan bangsawan. Ekspansi sektor pariwisata di Lombok telah menciptakan peluang ekonomi baru. Rakyat biasa dapat terlibat dalam bisnis dan industri pariwisata. Kekayaan yang diperoleh melalui pariwisata memungkinkan mereka untuk mendapatkan pengakuan sosial dan meningkatkan status mereka di masyarakat. Mobilitas fisik dari pedesaan ke perkotaan juga memainkan peran penting dalam mobilitas sosial. Mereka yang pindah ke daerah perkotaan sering kali memiliki lebih banyak akses ke pendidikan, pekerjaan, dan sumber daya lainnya yang dapat meningkatkan status sosial mereka. Globalisasi dan pengaruh media, termasuk media sosial, juga memberikan dampak pada bagaimana masyarakat memandang stratifikasi sosial. Nilai-nilai modern yang lebih egaliter dan fokus pada meritokrasi mulai menggantikan norma-norma tradisional yang menekankan keturunan sebagai penentu utama status sosial.

Meskipun status bangsawan masih diakui dalam konteks adat dan upacara tradisional, peran sosial dan politik bangsawan mulai berkurang dalam masyarakat yang lebih modern dan terurbanisasi. Bangsawan tidak lagi memegang kekuasaan eksklusif dalam pemerintahan lokal, karena posisi-posisi tersebut kini terbuka bagi individu dari latar belakang rakyat biasa yang memiliki kualifikasi yang sesuai. Sumardi & Hanum (2019) menunjukkan bahwa dalam beberapa komunitas, peran bangsawan lebih simbolis dibandingkan sebelumnya, terutama dalam urusan pemerintahan atau ekonomi. Sebaliknya, rakyat biasa yang berhasil secara ekonomi mulai memainkan peran yang lebih signifikan dalam menentukan arah pembangunan ekonomi dan sosial di Lombok. Mobilitas ekonomi menjadi faktor utama yang memungkinkan rakyat biasa untuk meraih posisi sosial yang lebih tinggi. Namun, di kalangan masyarakat tradisional, terutama di pedesaan, status kebangsawanan masih dihormati. Upacara adat, pernikahan, dan acara keagamaan sering kali tetap melibatkan peran penting dari para bangsawan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada perubahan, hierarki sosial berdasarkan keturunan tetap memiliki pengaruh, terutama dalam konteks budaya lokal.

Di era modern, dinamika stratifikasi sosial di masyarakat Sasak terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan ekonomi dan sosial. Mobilitas sosial vertikal—kemampuan untuk naik atau turun dalam struktur sosial—lebih memungkinkan sekarang daripada di masa lalu. Pendidikan, keberhasilan ekonomi, dan keterlibatan dalam bisnis modern menjadi faktor utama yang mengubah cara masyarakat memandang stratifikasi sosial.

Meskipun demikian, ketegangan antara nilai-nilai tradisional dan modernitas masih ada. Di satu sisi, generasi muda yang terdidik dan terpapar pada nilai-nilai global mulai melihat pentingnya meritokrasi dan mobilitas sosial berdasarkan kemampuan individu, bukan berdasarkan keturunan. Di sisi lain, nilai-nilai tradisional, terutama yang berkaitan dengan stratifikasi sosial berbasis keturunan, masih dipegang teguh oleh beberapa komunitas, terutama di pedesaan.

Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa perubahan sosial dan ekonomi telah membawa dampak besar pada mobilitas sosial dan perubahan stratifikasi sosial di masyarakat Sasak. Faktor-faktor seperti pendidikan, ekonomi, dan globalisasi telah memberikan peluang baru bagi rakyat biasa untuk meningkatkan status sosial mereka, sementara peran bangsawan dalam masyarakat semakin simbolis. Meskipun hierarki sosial berbasis keturunan masih ada, terutama dalam konteks adat dan budaya, perubahan sosial di era modern membuka jalan bagi mobilitas sosial yang lebih inklusif, dengan meritokrasi dan prestasi pribadi menjadi penentu utama status sosial di masyarakat Sasak modern.

 

Konsekuensi Stratifikasi Sosial dalam Masyarakat Sasak

Stratifikasi sosial dalam masyarakat Sasak telah menciptakan perbedaan status antara golongan bangsawan (menak) dan rakyat biasa (jajar karang) yang berdampak pada berbagai aspek kehidupan sosial, termasuk perkawinan, hubungan antargenerasi, serta akses terhadap sumber daya sosial dan ekonomi (Ma’ruf, 2024). Sistem stratifikasi sosial ini memiliki dampak positif dalam menjaga adat istiadat dan nilai-nilai tradisional, tetapi juga membawa dampak negatif yang menciptakan ketegangan sosial, terutama ketika masyarakat menghadapi perubahan sosial dan ekonomi (Riskiromeo, 2019).

Di satu sisi, stratifikasi sosial dalam masyarakat Sasak dapat memberikan manfaat dalam konteks budaya dan stabilitas sosial. Bangsawan sering kali dianggap sebagai penjaga tradisi yang mewarisi tanggung jawab untuk mempertahankan budaya dan adat Sasak. Mereka memainkan peran penting dalam upacara adat, pernikahan, dan ritual keagamaan yang memperkuat identitas budaya Masyarakat (Riskiromeo, 2019). Selain itu, sistem stratifikasi sosial membantu menciptakan struktur sosial yang teratur. Setiap individu memiliki peran dan tanggung jawab yang jelas. Kehadiran bangsawan sebagai pemimpin sosial dan spiritual memberikan rasa hormat dan kewibawaan dalam masyarakat, yang membantu menciptakan ketertiban sosial. Sistem ini juga berfungsi untuk mempertahankan identitas sosial yang kuat dengan menciptakan batas-batas sosial yang jelas, terutama dalam konteks pernikahan adat, sehingga menciptakan ketertiban dalam adat istiadat (Ma’ruf, 2024).

Stratifikasi sosial juga membawa berbagai konsekuensi negatif yang dapat menciptakan ketegangan sosial. Salah satu dampak negatif yang paling signifikan adalah hambatan dalam perkawinan antar kelas sosial. Di kalangan bangsawan, pernikahan dengan rakyat biasa sering kali dianggap tidak sesuai dan bahkan bisa dilarang. Ini menciptakan batasan sosial yang ketat dan menghambat kebebasan individu untuk memilih pasangan berdasarkan cinta atau kesesuaian pribadi. Perkawinan antar kelas dapat memicu penolakan sosial dan konflik dalam keluarga, merusak hubungan antarpersonal dan menegaskan ketidakseimbangan sosial yang ada (Ma’ruf, 2024). Perbedaan status sosial juga menjadi penghalang utama dalam hubungan romantis. Hal  ini juga menciptakan stigma sosial bagi pasangan yang berasal dari kelas sosial berbeda.

Stratifikasi sosial juga menciptakan konflik antargenerasi, terutama ketika nilai-nilai tradisional bersinggungan dengan modernitas. Generasi muda Sasak, yang terpapar pendidikan dan nilai-nilai global, sering kali merasa bahwa stratifikasi sosial berbasis keturunan sudah ketinggalan zaman dan tidak relevan dengan dunia modern. Hal ini menciptakan ketegangan antara generasi muda yang menginginkan mobilitas sosial yang lebih inklusif dan generasi tua yang masih memegang teguh nilai-nilai adat (Riskiromeo, 2019). Konflik ini dapat memengaruhi hubungan keluarga dan menimbulkan kebingungan identitas bagi generasi muda yang merasa terjebak antara norma tradisional dan tuntutan modernitas.

Selain itu, stratifikasi sosial juga memperburuk kesenjangan dalam akses ekonomi dan pendidikan. Bangsawan sering kali memiliki akses lebih baik terhadap sumber daya seperti tanah, kekuasaan politik, dan pendidikan, sementara rakyat biasa mengalami keterbatasan dalam mengakses pendidikan tinggi atau posisi sosial yang lebih baik, menghambat mobilitas sosial mereka (Ma’ruf, 2024). Stratifikasi ini juga memperkuat dominasi elit dalam pengambilan keputusan politik atau ekonomi, yang menyebabkan ketidakpuasan sosial dan memperburuk ketidaksetaraan di masyarakat Sasak.

Perubahan sosial dan ekonomi, seperti globalisasi dan urbanisasi, memengaruhi bagaimana stratifikasi sosial dipandang. Meskipun stratifikasi sosial masih diterima sebagai bagian dari tradisi yang menghormati bangsawan, generasi muda semakin mempertanyakan relevansi sistem ini dalam konteks modern (Riskiromeo, 2019). Ada gesekan antara norma tradisional dan modernitas, dengan generasi muda yang lebih terbuka terhadap kesetaraan dan meritokrasi, sementara nilai-nilai tradisional tetap kuat di beberapa komunitas, terutama di pedesaan. Dalam menghadapi tantangan ini, beberapa keluarga mulai lebih terbuka terhadap pernikahan antar kelas sosial, dengan menekankan pada pendidikan dan keberhasilan ekonomi sebagai penentu utama status sosial, bukan keturunan (Ma’ruf, 2024). Pemerintah dan lembaga pendidikan juga memainkan peran penting dalam mempromosikan kesetaraan akses terhadap pendidikan dan menciptakan peluang ekonomi yang lebih inklusif.

Secara keseluruhan, stratifikasi sosial dalam masyarakat Sasak memiliki dampak positif dalam menjaga adat dan ketertiban sosial, namun juga membawa dampak negatif seperti hambatan dalam perkawinan antar kelas dan konflik antargenerasi. Perubahan sosial dan modernisasi mempercepat dinamika ini, dengan generasi muda yang lebih terbuka terhadap kesetaraan dan meritokrasi. Upaya untuk mengatasi dampak negatif stratifikasi sosial, terutama melalui pendidikan dan kebijakan inklusif, terus berkembang, meskipun norma-norma tradisional tetap kuat di beberapa komunitas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanggapan MUI Kabupaten Lombok Tengah terhadap Ajaran Lalu Dahlan: Sebuah Klarifikasi dan Tindakan Tegas

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak