Paradoks Hijrah: Ketika Perubahan Fisik Tak Sejalan dengan Transformasi Batin

Oleh: Lukmanul Hakim

Fenomena hijrah yang merebak di tengah masyarakat kita kini memiliki spektrum yang luas. Dari perubahan gaya berpakaian yang lebih syar'i, hingga keputusan drastis meninggalkan dunia hiburan demi mendalami agama. Di satu sisi, geliat ini patut disyukuri sebagai pertanda kesadaran beragama yang meningkat. Namun, di sisi lain, seringkali kita menyaksikan sebuah paradoks hijrah: ketika perubahan fisik atau eksternal begitu kentara, tetapi tak selalu diiringi oleh transformasi batin yang sepadan.

Paradoks ini muncul manakala hijrah dipahami sebatas ritual atau tampilan luar semata. Seseorang mungkin telah mengubah gaya busananya secara drastis, dari mode terkini menjadi busana Muslim yang lebih tertutup. Atau bahkan memutuskan untuk tidak lagi terlibat dalam pekerjaan yang dianggap "kurang syar'i." Secara kasat mata, ia telah "berhijrah." Namun, jika perubahan tersebut tidak diiringi dengan perbaikan akhlak, pemurnian niat, dan peningkatan kualitas ibadah hati seperti sabar, ikhlas, dan tawakal, maka hijrah tersebut baru menyentuh permukaan.

Dalam ajaran Islam, Nabi Muhammad ﷺ telah mengingatkan kita akan esensi niat. "Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya..." (HR. Bukhari dan Muslim). Hijrah yang sejatinya adalah perpindahan dari segala yang dibenci Allah menuju yang dicintai-Nya, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam Madarijus Salikin, menekankan pentingnya perpindahan hati. Tanpa niat yang benar dan hati yang bersih, perubahan fisik bisa jadi hanya topeng yang menutupi kekosongan.

Kita bisa melihat fenomena ini dalam beberapa kasus. Seseorang yang berhijrah penampilan, namun lisannya masih tajam dalam menghakimi orang lain, hatinya masih dipenuhi hasad, atau perilakunya masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Atau mereka yang meninggalkan pekerjaan lama demi yang "lebih syar'i", tetapi masih mengabaikan hak-hak sesama, tidak amanah dalam bermuamalah, atau gampang berputus asa saat menghadapi cobaan. Ini adalah manifestasi dari paradoks hijrah, di mana ada diskoneksi antara tampilan luar dan kondisi batin.

Lalu, mengapa paradoks ini bisa terjadi? Salah satu faktornya adalah pemahaman yang dangkal tentang hijrah, yang lebih terfokus pada "tren" daripada "esensi." Dorongan untuk berhijrah terkadang lebih didasari oleh motivasi sosial, keinginan untuk diterima dalam komunitas tertentu, atau bahkan pencarian validasi semata, alih-alih dorongan murni karena Allah. Akibatnya, ketika tantangan muncul, atau ketika ekspektasi sosial tidak terpenuhi, perubahan tersebut menjadi rapuh dan mudah goyah.

Maka, adalah tugas kita bersama untuk terus mengingatkan dan mengedukasi bahwa hijrah adalah perjalanan seumur hidup untuk menjadi pribadi yang lebih baik secara holistik. Ia bukan hanya tentang apa yang terlihat di luar, tetapi tentang bagaimana hati kita berproses, bagaimana niat kita tertata, dan bagaimana akhlak kita terpancar dalam setiap interaksi. Mari kita songsong hijrah sejati yang membuat setiap perubahan fisik adalah cerminan dari transformasi batin yang tulus dan mengantarkan kita menuju kedekatan yang hakiki dengan Sang Pencipta.

Daftar Pustaka:

Al-Bukhari, Imam. Shahih Al-Bukhari. 

Muslim, Imam. Shahih Muslim. 

Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. Madarijus Salikin. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa