Buku Sejarah Resmi, Benarkah Cermin Kebenaran?
Oleh: Lukmanul Hakim
Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengumumkan rencana penerbitan ulang buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) dalam 10 jilid, yang ditargetkan rampung pada akhir 2025. Proyek ini diklaim sebagai bagian dari pembaruan narasi kebangsaan yang lebih inklusif, kontekstual, dan merefleksikan nilai-nilai kekinian bangsa. Namun, pertanyaannya penting diajukan: benarkah buku sejarah resmi bisa menjadi cermin kebenaran? Ataukah, sebagaimana pernah terjadi di era Orde Baru, narasi sejarah hanya dijadikan alat legitimasi kekuasaan?
Sejarah: Antara Fakta dan Tafsir
Sejarah bukan sekadar kumpulan tanggal dan peristiwa. Ia adalah hasil konstruksi sosial dan intelektual—produk seleksi, interpretasi, dan kadang, represi. Edward W. Said (1978) dalam Orientalism mengingatkan bahwa sejarah kerap kali mencerminkan dominasi epistemik: siapa yang berkuasa, dialah yang menentukan narasi.
Dalam konteks Indonesia, sejarah nasional yang disusun pada masa Orde Baru sangat sarat dengan narasi dominan militeristik dan antikomunisme. Buku Sejarah Nasional Indonesia yang pertama kali disusun tahun 1975 atas inisiatif Nugroho Notosusanto secara terang-terangan mengecualikan banyak peristiwa penting, seperti tragedi pembantaian massal 1965–66, perlawanan petani, gerakan buruh, atau dinamika kultural minoritas.
Sebagaimana dicatat oleh sejarawan Asvi Warman Adam (2004), “apa yang disebut sejarah resmi di Indonesia lebih banyak berisi legitimasi penguasa daripada upaya menghadirkan sejarah sebagai kritik terhadap kekuasaan.” Narasi-narasi alternatif seperti sejarah perlawanan lokal, tragedi hak asasi manusia, dan kontribusi kelompok marjinal, nyaris tak memiliki tempat dalam buku teks sejarah selama lebih dari tiga dekade.
Revisi atau Penataan Ulang?
Menurut Kemendikbudristek, buku sejarah nasional versi terbaru akan mencerminkan kebhinekaan dan narasi lintas perspektif. Namun proses pembuatannya belum sepenuhnya transparan. Sampai kini, tidak banyak publikasi resmi yang menjelaskan metodologi, tim penyusun, atau keterlibatan komunitas akademik lintas arus.
Kekhawatiran publik cukup beralasan. Laporan investigasi Reuters (2024) menyebutkan bahwa ada indikasi tekanan politik terhadap tim penyusun agar tidak memasukkan tema-tema “sensitif” seperti pelanggaran HAM, peran PKI pra-1965, dan konflik Papua. Bahkan Amnesty International Indonesia pada Mei 2025 mengeluarkan pernyataan bahwa “usaha negara menertibkan ingatan sejarah berpotensi membungkam hak publik untuk mengetahui kebenaran” (Amnesty, 2025).
Revisi sejarah bukanlah masalah semata-mata teknis. Ia adalah proses politik dan ideologis, yang bisa menjadi alat rekonsiliasi—atau represi. Jika revisi dilakukan tanpa akuntabilitas dan partisipasi publik, publik berhak curiga: ini revisi sejarah atau justru “rebranding” ideologis?
Sejarah sebagai Hak Publik, Bukan Monopoli Negara
Kita tidak bisa lagi membiarkan sejarah hanya dikuasai oleh satu pihak. Publik berhak mendapatkan sejarah yang utuh, kritis, dan multiperspektif. Apalagi di era digital, generasi muda bisa dengan mudah mengakses dokumen, arsip, dan testimoni korban melalui berbagai platform alternatif. Menurut survei CSIS (2023), lebih dari 62% anak muda Indonesia menyatakan tidak mempercayai sepenuhnya isi buku sejarah di sekolah.
Ini adalah alarm. Negara harus memahami bahwa kepercayaan tidak dibangun dari narasi tunggal, tapi dari keterbukaan informasi dan keberagaman sudut pandang. Buku sejarah nasional seharusnya menjadi ruang dialog, bukan dogma. Ia harus menampilkan sejarah dari berbagai lensa: korban dan pelaku, pusat dan pinggiran, minoritas dan mayoritas.
Pendidikan Sejarah: Dari Menghafal ke Merenung
Pendidikan sejarah kita selama ini lebih menekankan hafalan fakta, bukan analisis kritis. Kurikulum Merdeka seharusnya membuka ruang interpretasi sejarah yang lebih reflektif. Namun, jika buku referensinya masih dikendalikan satu arah oleh negara, perubahan hanya akan menjadi kosmetik.
UNESCO dalam dokumen Education for Peace and Reconciliation (2021) menekankan pentingnya pendekatan multiperspektif dalam penulisan sejarah, terutama di negara yang pernah mengalami konflik dan represi politik. Tanpa itu, sejarah akan menjadi alat “pembungkaman memori” dan pembelokan identitas kolektif.
Penutup
Sejarah adalah cermin kolektif bangsa. Tapi jika cermin itu diselewengkan, kita hanya akan melihat wajah kekuasaan, bukan wajah kebenaran. Buku sejarah nasional versi baru haruslah menjadi ruang perjumpaan narasi, bukan ruang penghilangan ingatan.
Negara tidak perlu takut pada sejarah yang kritis. Justru dari keberanian menghadapi masa lalu secara jujur, bangsa ini bisa melangkah lebih dewasa ke masa depan.
Daftar Pustaka
-
Adam, Asvi Warman. Menguak Misteri Sejarah. Jakarta: LP3ES, 2004.
-
Amnesty International Indonesia. “Pernyataan Sikap terhadap Revisi Buku Sejarah Nasional”, Mei 2025.
-
CSIS Indonesia. Survei Persepsi Anak Muda terhadap Pendidikan Sejarah, 2023.
-
Kemendikbudristek RI. “Peluncuran Buku Sejarah Nasional Indonesia Edisi Baru”, Siaran Pers, 22 Mei 2025.
-
Reuters. “In Indonesia, Fears Grow That Dark Past May Be Rewritten with Government’s New History Books.” 19 Mei 2024.
-
Said, Edward W. Orientalism. New York: Pantheon Books, 1978.
-
UNESCO. Education for Peace and Reconciliation: A Pedagogical Framework, Paris, 2021.
Komentar
Posting Komentar