"Tholabul Ilmi" di Era AI: Relevansi Belajar Agama di Tengah Gempuran Teknologi

Oleh: Lukmanul Hakim (Pemerhati dan Penulis Budaya, Sosial, dan Isu-isu Keislaman Kontemporer)

Di tengah hiruk-pikuk disrupsi teknologi dan pesatnya laju kecerdasan buatan (AI), sebuah pertanyaan mendasar mulai menggema: apa relevansi "tholabul ilmi" – pencarian ilmu, khususnya ilmu agama – di era yang serba digital ini? Ketika informasi ada di ujung jari dan bahkan fatwa bisa dijawab oleh algoritma, apakah semangat dan metodologi belajar tradisional masih relevan, atau justru tergerus oleh "gempuran teknologi"?

Tidak dapat dimungkiri, kehadiran AI telah mengubah lanskap akses informasi secara drastis. Dulu, mencari jawaban atas persoalan fikih mungkin harus menemui ulama, membuka kitab-kitab tebal, atau menghadiri majelis taklim berjam-jam. Kini, dengan beberapa ketikan, kita bisa mendapatkan berbagai interpretasi, referensi, bahkan terjemahan instan. Chatbot AI mampu merangkum berbagai pendapat ulama, menyajikan dalil, hingga menganalisis teks-teks keagamaan dalam hitungan detik. Ini adalah kemudahan yang tak terbayangkan beberapa dekade lalu.

Namun, di sinilah letak tantangan sekaligus peluangnya. Kemudahan akses informasi tidak serta merta menggantikan kedalaman pemahaman dan kearifan. "Tholabul ilmi" dalam tradisi Islam bukan sekadar mengumpulkan data atau menghafal fakta. Ia adalah sebuah perjalanan spiritual dan intelektual yang melibatkan interaksi langsung dengan guru (musyafahah), pemahaman konteks (fiqh al-waqi'), pengembangan adab (akhlak), dan internalisasi nilai-nilai (tazkiyatun nafs).

Seorang alim atau guru bukan hanya penyampai informasi, melainkan juga murabbi (pendidik), muaddib (pembentuk adab), dan muzakki (penyemai jiwa). Mereka memberikan sanad (rantai transmisi ilmu) yang terverifikasi, menjaga kemurnian ajaran, dan membimbing murid dalam memahami seluk-beluk ilmu yang kompleks. Interaksi personal dengan guru memungkinkan transfer barakah dan hikmah yang tak bisa diukur oleh algoritma. Bagaimana AI bisa mengajarkan keikhlasan, melatih kesabaran, atau menanamkan rasa takut kepada Allah melalui contoh dan keteladanan?

Gempuran teknologi, khususnya AI, justru seharusnya memicu kita untuk memperkuat esensi "tholabul ilmi". AI dapat menjadi alat bantu yang luar biasa dalam proses belajar: sebagai perpustakaan digital raksasa, asisten riset, atau penerjemah bahasa-bahasa klasik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Shoshana Zuboff dalam bukunya The Age of Surveillance Capitalism (2019), teknologi memiliki potensi besar untuk mengorganisasi dan memproses informasi dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam konteks ini, AI bisa membantu menyaring informasi awal, mengorganisasi data, atau bahkan memberikan perspektif baru. Namun, AI tidak akan pernah bisa menggantikan peran guru dalam memberikan pemahaman yang mendalam, bimbingan etis, dan pembentukan karakter.

Justru, dengan melimpahnya informasi, peran guru menjadi makin krusial sebagai filter dan penunjuk arah. Mereka membantu kita membedakan antara informasi yang valid dan sesat, antara pengetahuan yang bermanfaat dan mudarat. Guru membimbing kita bagaimana menerapkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar menghafalnya. Mereka mengajarkan adab menuntut ilmu; kerendahan hati, kesabaran, dan penghormatan kepada sumber ilmu. Tanpa adab, ilmu bisa menjadi bumerang, melahirkan kesombongan atau bahkan kesesatan. Imam Az-Zarnuji dalam kitab Ta'limul Muta'allim Thariqotut Ta'allum menekankan betapa fundamentalnya adab bagi seorang penuntut ilmu, bahwa keberkahan ilmu sangat bergantung pada bagaimana seseorang menghormati ilmu dan gurunya.

Maka, di era AI ini, relevansi "tholabul ilmi" tidak berkurang, melainkan bertransformasi dan menemukan urgensi baru. Ini adalah kesempatan untuk:

 * Memperkuat peran guru sebagai murabbi dan mursyid, bukan sekadar penyampai data. Mereka adalah poros yang mengikat ilmu dengan hikmah dan akhlak.

 * Mengoptimalkan AI sebagai alat bantu pembelajaran, bukan pengganti guru. Pemanfaatan AI harus bersifat instrumental, bukan substansial.

 * Menekankan pentingnya sanad dan validitas sumber ilmu, mengingat banjirnya informasi. Sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Quraish Shihab dalam berbagai karyanya, validitas sanad adalah jaminan keautentikan ilmu dalam tradisi Islam.

 * Menghidupkan kembali adab dalam menuntut ilmu, di tengah budaya instan dan serba cepat. Adab adalah fondasi yang menjaga ilmu tetap bermanfaat dan berberkah.

 * Fokus pada pendalaman pemahaman dan internalisasi nilai, bukan hanya akumulasi informasi. AI bisa memberi tahu "apa," tapi guru mengajarkan "mengapa" dan "bagaimana" dengan kebijaksanaan.

Jangan sampai kita terjebak dalam ilusi bahwa semua pertanyaan agama bisa dijawab oleh "mesin cerdas." Ilmu agama adalah tentang hubungan kita dengan Allah, dengan sesama, dan dengan alam semesta. Hubungan ini memerlukan hati, akal, dan bimbingan yang tidak dapat diberikan sepenuhnya oleh kecerdasan buatan. Sebagaimana yang diuraikan oleh Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya Knowledge and the Sacred (1989), ilmu sejati dalam Islam selalu terhubung dengan dimensi sakral dan spiritual, sebuah ranah yang tak terjamah oleh komputasi semata.

"Tholabul ilmi" di era AI adalah panggilan untuk kembali kepada fitrah kita sebagai pencari kebenaran, dengan memanfaatkan alat-alat modern tanpa melupakan akar-akar spiritual dan metodologis yang telah teruji zaman. Guru tetap menjadi mercusuar, dan adab adalah kompas dalam perjalanan pencarian ilmu yang tak pernah berakhir ini.

Daftar Pustaka:

 Az-Zarnuji, Burhanuddin. Ta'limul Muta'allim Thariqotut Ta'allum. 

 * Nasr, Seyyed Hossein. Knowledge and the Sacred. New York: State University of New York Press, 1989.

 * Shihab, Muhammad Quraish. (Berbagai karya yang membahas tentang sanad dan otentisitas ilmu dalam Islam).

 * Zuboff, Shoshana. The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power. New York: PublicAffairs, 2019.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa