Menggugat "Fungsi Hakiki Bahasa": Antara Gagasan Filosofis dan Kenyataan Ilmiah

Oleh: Lukmanul Hakim

Dalam sebuah diskusi menarik, seorang penulis menyampaikan gagasan bahwa fungsi hakiki bahasa adalah sebagai alat pengembangan akal budi dan pemelihara kerja sama, dan bukan semata alat komunikasi. Gagasan ini disampaikan secara puitik dan penuh idealisme: bahwa ketika bahasa digunakan untuk nyinyir, menista, dan menyebar energi negatif, ia telah keluar dari fungsi hakikinya. Bahkan, kualitas budaya suatu bangsa dikaitkan langsung dengan sejauh mana bangsa tersebut memfungsikan bahasa sebagai alat kemanusiaan. Ukuran konkret yang diajukan pun menarik: bangsa yang mampu meraih Hadiah Nobel dianggap telah mengoptimalkan fungsi hakiki bahasa.

Meskipun ide ini patut diapresiasi sebagai bagian dari refleksi filosofis atas peran bahasa dalam kehidupan manusia, ada sejumlah catatan kritis yang perlu dikemukakan, terutama dari sudut pandang linguistik ilmiah. Tulisan ini mencoba menempatkan gagasan tersebut dalam konteks disiplin linguistik, sekaligus memberi ruang bagi pengembangan pendekatan humanistik dalam kajian bahasa.

Bahasa: Sistem yang Multi-fungsi, Bukan Monolitik

Dalam teori-teori linguistik modern, bahasa tidak dipahami memiliki satu fungsi tunggal yang "hakiki". Sebaliknya, bahasa adalah sistem yang kaya fungsi, bergantung pada konteks dan tujuan penggunaannya. Roman Jakobson, misalnya, merumuskan enam fungsi bahasa yang sangat berpengaruh dalam kajian linguistik:

  1. Referensial (menyampaikan informasi),
  2. Emotif (mengekspresikan perasaan),
  3. Konatif (mempengaruhi orang lain),
  4. Fatik (membangun relasi sosial),
  5. Metalinguistik (membahas bahasa itu sendiri), dan
  6. Puitik (menggarisbawahi bentuk estetis).

Dengan demikian, menyatakan bahwa hanya fungsi yang “tidak tergantikan” sebagai “fungsi hakiki” berpotensi menyederhanakan realitas kompleks bahasa dalam praktik sehari-hari.

Norma vs Deskripsi: Batas Peran Ilmu Bahasa

Gagasan bahwa hanya fungsi yang tak tergantikan dapat disebut sebagai fungsi "hakiki" lebih tepat diposisikan sebagai normatif-ideologis ketimbang deskriptif-empiris. Kajian linguistik deskriptif tidak bertugas menentukan “tujuan moral” bahasa, melainkan merekam, menganalisis, dan menjelaskan fenomena kebahasaan apa adanya. Dalam logika ilmu, ini merupakan pembeda antara is dan ought: antara bagaimana bahasa digunakan dan bagaimana seharusnya digunakan.

Tentu, pendekatan normatif seperti ini tetap relevan, terutama dalam linguistik humanistik, ekolinguistik, atau linguistik kritis, yang memang mempertimbangkan nilai-nilai moral dan sosial dalam penggunaan bahasa. Namun, pendekatan tersebut perlu dijabarkan dengan kerangka ilmiah yang sistematis, bukan hanya dengan retorika filosofis.

Bahasa dan Budaya: Relasi yang Kompleks

Pernyataan bahwa budaya adalah hasil dari pelaksanaan fungsi hakiki bahasa juga tampak terlalu menyederhanakan hubungan antara bahasa dan budaya. Dalam etnolinguistik, budaya memang dipahami sebagai "terkonstruksi" melalui bahasa, tetapi bukan semata-mata hasil bahasa. Budaya terbentuk dari interaksi kompleks antara bahasa, sistem nilai, praktik sosial, ekonomi, teknologi, dan sejarah kolektif. Bahasa adalah instrumen utama pembentuk budaya, tetapi bukan satu-satunya penyebab.

Nobel Sebagai Ukuran? Problematis.

Penulis menggunakan capaian Hadiah Nobel sebagai indikator tingkat pengoptimalan fungsi hakiki bahasa oleh suatu bangsa. Namun, ini mengandung problem logis dan metodologis. Nobel bukan tolok ukur langsung bagi kualitas fungsi bahasa dalam suatu masyarakat. Ada banyak faktor lain yang lebih berperan: sistem pendidikan, tradisi riset, akses terhadap teknologi dan literatur, dukungan kebijakan, hingga dinamika geopolitik global. Penyederhanaan seluruh kompleksitas tersebut hanya ke dalam soal “fungsi bahasa” adalah bentuk reduksionisme budaya yang perlu diwaspadai.

Mengapa Linguistik Indonesia Perlu Berbenah?

Tulisan tersebut juga menyinggung bahwa linguistik di Indonesia perlu berbenah karena belum menyadari fungsi hakiki bahasa dalam mengembangkan akal budi dan memelihara kerja sama. Seruan ini sah dan bisa dimaknai sebagai dorongan untuk memperluas cakupan linguistik agar tidak hanya deskriptif, tetapi juga transformasional. Namun demikian, ajakan ini harus diikuti dengan tawaran konseptual yang lebih konkret: misalnya, bagaimana merumuskan linguistik etis yang menggabungkan deskripsi ilmiah dengan tanggung jawab sosial? Bagaimana mengembangkan linguistik dekolonial yang mampu membebaskan bahasa dari warisan penindasan? Bagaimana memanfaatkan linguistik fungsional-kultural dalam menyusun kurikulum yang lebih memanusiakan?

Penutup: Menuju Linguistik Humanistik

Gagasan tentang fungsi hakiki bahasa sebagai pengembang akal budi dan pemelihara kerja sama adalah refleksi penting yang menyoroti sisi moral dari bahasa. Namun, perlu diingat bahwa ilmu bahasa bekerja di ranah deskripsi, bukan doktrinasi moral. Agar gagasan normatif ini tidak hanya menjadi retorika, perlu ada integrasi dengan pendekatan-pendekatan ilmiah yang terbuka terhadap nilai-nilai humanistik.

Jika kita ingin menjadikan bahasa sebagai sarana untuk memuliakan manusia, bukan hanya pengguna bahasa yang harus berbenah, tapi juga pendekatan linguistik sendiri. Saat itulah bahasa tidak hanya menjadi instrumen komunikasi, tetapi sungguh menjadi instrumen peradaban.

Daftar Referensi:

  • Jakobson, R. (1960). Closing Statement: Linguistics and Poetics.
  • Duranti, A. (1997). Linguistic Anthropology. Cambridge University Press.
  • Crystal, D. (2003). The Cambridge Encyclopedia of Language. CUP.
  • Halliday, M.A.K. (1978). Language as Social Semiotic. Edward Arnold.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa