Menakar Profesionalisme Guru di Tengah Serbuan Sertifikasi
Oleh: Lukmanul Hakim
Di tengah upaya reformasi pendidikan nasional, pemerintah Indonesia telah menempuh jalur sertifikasi guru sebagai salah satu strategi peningkatan mutu pendidikan. Namun, hingga kini, efektivitas program tersebut dalam mendorong profesionalisme guru masih menuai pro dan kontra.
Sertifikasi Guru: Harapan Versus Realitas
Program sertifikasi guru secara resmi dimulai sejak tahun 2006 dengan landasan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Tujuan utamanya adalah memastikan bahwa guru memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional yang layak untuk mendidik generasi bangsa. Guru yang telah tersertifikasi berhak menerima tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok.
Namun, dalam implementasinya, sertifikasi seringkali hanya dipandang sebagai syarat administratif untuk memperoleh tunjangan, bukan sebagai benchmark kompetensi dan profesionalisme yang sesungguhnya. Penelitian yang dilakukan oleh Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan guru melalui sertifikasi belum secara signifikan berdampak pada kualitas pembelajaran di kelas (CIPS, 2020).
Demikian pula, Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) dalam laporannya (2021) mencatat bahwa hanya sebagian kecil guru yang mengintegrasikan hasil pelatihan sertifikasi ke dalam praktik mengajarnya secara konsisten.
Profesionalisme: Bukan Sekadar Sertifikat
Profesionalisme guru seharusnya tidak semata diukur dari kepemilikan sertifikat atau ijazah. Ki Hadjar Dewantara jauh hari telah menekankan pentingnya guru sebagai pamong, teladan moral dan pembimbing karakter. Profesionalisme dalam pengertian ini mencakup dimensi etika, dedikasi, penguasaan materi, kemampuan refleksi, dan inovasi pedagogis.
Sayangnya, birokratisasi pendidikan justru mengaburkan makna profesionalisme itu sendiri. Banyak guru merasa terbebani oleh tuntutan administratif, pelaporan kinerja, dan akreditasi sekolah yang menitikberatkan pada dokumen ketimbang proses. Dalam situasi ini, kualitas pengajaran di kelas rentan terabaikan.
Penelitian World Bank (2020) dalam laporan “Teacher Reform in Indonesia” menyoroti bahwa sebagian besar pelatihan yang diikuti guru pasca-sertifikasi bersifat monoton dan kurang kontekstual, sehingga tidak menjawab kebutuhan riil di lapangan.
Antara Tuntutan dan Dukungan
Sertifikasi seharusnya menjadi awal dari proses peningkatan mutu berkelanjutan, bukan tujuan akhir. Namun, ketika tidak disertai ekosistem pendukung—seperti pelatihan berkelanjutan, komunitas belajar, supervisi yang membina (bukan sekadar menilai), dan apresiasi nonfinansial—profesionalisme guru sulit berkembang secara utuh.
Fakta di lapangan menunjukkan banyak guru, terutama di wilayah terpencil, masih kesulitan mengakses pelatihan bermutu. Infrastruktur teknologi yang lemah juga menyulitkan guru-guru mengikuti program daring. Dalam hal ini, pendekatan yang terpusat di Jakarta tidak cukup menjangkau realitas lokal.
Lebih dari itu, guru sering menghadapi tekanan sosial dan ekonomi. Guru honorer yang digaji di bawah upah minimum dituntut profesional, sementara status mereka tidak kunjung diangkat. Di sinilah kontradiksi sistemik itu terjadi.
Jalan Ke Depan: Rekontekstualisasi Sertifikasi
Ke depan, pemerintah dan pemangku kepentingan pendidikan perlu meninjau ulang sistem sertifikasi agar lebih menyentuh aspek-aspek substantif. Beberapa rekomendasi penting antara lain:
- Perluasan makna profesionalisme guru yang tidak hanya administratif tetapi juga pedagogis, etik, dan sosial-kultural.
- Penguatan pelatihan pascasertifikasi berbasis praktik terbaik, bukan sekadar formalitas.
- Pendekatan mentoring dan coaching antarguru dalam komunitas belajar yang organik, seperti Lesson Study dan Teacher Learning Community (TLC).
- Peningkatan kesejahteraan guru honorer sebagai bagian dari pengakuan atas jasa dan beban kerja mereka.
- Evaluasi formatif terhadap kinerja guru yang menekankan umpan balik konstruktif, bukan semata laporan angka.
Penutup
Profesionalisme guru tak akan tumbuh dari selembar sertifikat, melainkan dari ekosistem pendidikan yang sehat, manusiawi, dan mendukung proses belajar sepanjang hayat. Jika guru dituntut menjadi profesional, maka negara dan masyarakat pun harus bersedia menjadi mitra yang adil dan suportif. Jangan biarkan semangat Ki Hadjar Dewantara dikalahkan oleh rutinitas tanpa jiwa.
Daftar Pustaka
- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
- CIPS (2020). Improving Teacher Quality in Indonesia. Center for Indonesian Policy Studies.
https://www.cips-indonesia.org/post/teacher-quality - LPMP (2021). Laporan Evaluasi Sertifikasi Guru Nasional. Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan.
- World Bank (2020). Teacher Reform in Indonesia: The Role of Politics and Evidence.
https://documents.worldbank.org/teacher-reform-indonesia - Ki Hadjar Dewantara (1935). Pendidikan. Yogyakarta: Taman Siswa.
Komentar
Posting Komentar