Madrasah dan Pesantren sebagai Poros Transformasi Pendidikan Karakter

Oleh: Lukmanul Hakim

Di tengah krisis integritas, intoleransi, dan disorientasi nilai yang menghantui dunia pendidikan, muncul kebutuhan mendesak untuk mengembalikan ruh pendidikan kepada fungsinya yang hakiki: membentuk manusia beradab. Dalam konteks ini, madrasah dan pesantren hadir bukan sekadar sebagai institusi pendidikan berbasis agama, melainkan sebagai poros penting dalam pembangunan karakter bangsa.

Pendidikan Karakter: Bukan Sekadar Tambahan Kurikulum

Istilah pendidikan karakter tidak bisa direduksi hanya menjadi mata pelajaran atau instruksi moral formal. Menurut Thomas Lickona, tokoh pendidikan karakter dari Amerika Serikat, pendidikan karakter adalah “upaya sadar untuk membantu manusia memahami, merasakan, dan melakukan nilai-nilai etis secara konsisten” (Lickona, 1991).

Dalam konteks Indonesia, pendidikan karakter telah dijadikan bagian integral dari Kurikulum 2013 dan kemudian Kurikulum Merdeka, namun pelaksanaannya seringkali bersifat seremonial dan normatif. Nilai-nilai seperti religius, jujur, toleran, mandiri, dan tanggung jawab menjadi slogan yang tidak selalu hidup dalam keseharian siswa.

Pesantren dan Madrasah: Model Pendidikan Berbasis Nilai

Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, sejatinya telah menerapkan pendidikan karakter jauh sebelum istilah itu menjadi tren. Nilai-nilai seperti tawadhu’ (rendah hati), taat kepada guru, disiplin, kesederhanaan, serta kepedulian sosial tertanam melalui proses hidup bersama dan keteladanan kiai. Dalam kerangka pendidikan integral ala Al-Ghazali, pembentukan akhlak dan jiwa lebih utama daripada sekadar transfer pengetahuan (Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din).

Madrasah, terutama yang bernaung di bawah Kementerian Agama, juga memadukan kurikulum umum dan agama. Dalam penelitian Azyumardi Azra (2002), madrasah dianggap sebagai model pendidikan dualistik yang berhasil menjembatani antara modernitas dan spiritualitas.

Data Kementerian Agama RI (2023) menunjukkan lebih dari 90% madrasah swasta di Indonesia memiliki program pembiasaan karakter harian, seperti salat berjamaah, tadarus pagi, hingga pembinaan rohani. Program ini menjadikan madrasah sebagai ekosistem pendidikan yang relatif lebih kokoh dalam menanamkan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.

Keteladanan dan Pembiasaan sebagai Kunci

Salah satu keunggulan utama pesantren dan madrasah adalah pendekatan keteladanan (uswah hasanah). Kiai, tuan guru, dan guru bukan hanya pengajar, tapi juga figur panutan yang membentuk karakter santri melalui interaksi harian. Konsep ini sejalan dengan prinsip pendidikan Islam: al-tarbiyah bi al-qudwah (pendidikan melalui teladan).

Selain itu, pesantren menerapkan sistem pembiasaan dalam waktu yang panjang dan berkelanjutan, seperti bangun subuh, salat berjamaah, belajar mandiri, hingga gotong royong. Nilai-nilai itu tidak diajarkan secara verbal, melainkan dihidupkan melalui pengalaman. Inilah bentuk hidden curriculum yang sangat kuat membentuk karakter.

Tantangan dan Peluang dalam Konteks Modern

Meski memiliki kekuatan kultural, madrasah dan pesantren juga menghadapi tantangan besar dalam era global. Derasnya arus digital, budaya instan, dan krisis keteladanan publik menuntut pesantren untuk tetap adaptif tanpa kehilangan jati diri.

Transformasi digital pesantren harus diarahkan untuk memperkuat akses informasi, memperkaya referensi keilmuan, dan memperluas jaringan dakwah. Namun digitalisasi juga harus dibarengi dengan penguatan literasi digital dan etika bermedia, agar nilai-nilai karakter tidak luntur oleh gempuran disinformasi dan konten toksik.

Beberapa pesantren progresif, seperti Pondok Modern Gontor, Pesantren Tebuireng, dan Pesantren al-Amien Prenduan, telah memadukan nilai-nilai tradisional dengan pendekatan manajerial modern dan teknologi. Mereka menjadi contoh bagaimana pesantren bisa menjadi pusat inovasi pendidikan karakter tanpa tercerabut dari akarnya.

Penutup: Menguatkan Poros Peradaban

Jika pendidikan karakter ingin benar-benar berhasil, madrasah dan pesantren harus dilibatkan secara serius dalam kebijakan pendidikan nasional. Bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi sebagai pusat-pusat nilai yang menyuplai energi moral bagi bangsa ini.

Sebagaimana kata Ki Hadjar Dewantara, “Pendidikan adalah usaha untuk menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.” Maka, mendukung pesantren dan madrasah dalam memperkuat pendidikan karakter bukanlah opsi tambahan, melainkan keharusan strategis demi masa depan bangsa yang lebih bermartabat.

Daftar Pustaka

  1. Lickona, Thomas. (1991). Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.
  2. Al-Ghazali. Ihya’ ‘Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Fikr.
  3. Azra, Azyumardi. (2002). Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi. Jakarta: Kompas.
  4. Kementerian Agama RI. (2023). Statistik Pendidikan Islam 2022/2023. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam.
  5. Wahid, Marzuki. (2007). Pesantren dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan.
  6. Dewantara, Ki Hadjar. (1935). Pemikiran Pendidikan. Yogyakarta: Taman Siswa.
  7. Arif, M. (2018). “Peran Madrasah dalam Pendidikan Karakter”, dalam Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 5, No. 1.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa