Internet Halal? Menavigasi Dunia Digital dengan Kesadaran Spritual
Oleh: Lukmanul Hakim
Dunia digital telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Dari berkomunikasi, bekerja, belajar, hingga berbelanja, internet menawarkan kemudahan dan kecepatan yang tak terbayangkan sebelumnya. Namun, di balik kemegahannya, dunia maya juga menyimpan berbagai tantangan, mulai dari informasi yang menyesatkan, konten negatif, hingga perilaku adiktif. Bagi umat Muslim, pertanyaan mendasar pun muncul: Bisakah kita memiliki "internet halal"? Ini bukan sekadar tentang memblokir situs porno, melainkan tentang membangun kesadaran spiritual dan etika Islami dalam setiap interaksi dan konsumsi informasi di dunia digital.
Konsep "halal" dalam Islam tidak hanya terbatas pada makanan atau minuman, tetapi mencakup segala aspek kehidupan yang sesuai dengan syariat, membawa kebaikan (maslahah), dan menjauhkan diri dari keburukan (mafsadah). Dalam konteks internet, ini berarti sebuah pendekatan holistik yang mencakup konten yang diakses, perilaku daring, hingga dampak teknologi pada jiwa dan masyarakat. Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Dr. Nurcholish Madjid (Cak Nur) dalam banyak tulisannya tentang Islam modern, bahwa Islam seharusnya mampu berdialog dan beradaptasi dengan kemajuan peradaban, termasuk teknologi, tanpa kehilangan nilai-nilai fundamentalnya. Ini menuntut umat Muslim untuk menjadi pengguna digital yang cerdas dan bertanggung jawab.
Pertama, konten yang dikonsumsi. Internet banjir informasi, baik yang bermanfaat maupun yang merugikan. Umat Muslim diajarkan untuk memverifikasi informasi (tabayyun) sebelum mempercayainya, seperti firman Allah dalam QS. Al-Hujurat: 6. Ini sangat relevan di era hoax dan post-truth. Konten yang memicu kebencian, perpecahan, pornografi, atau perjudian jelas bertentangan dengan prinsip Islam. Maka, memilih konten yang positif, edukatif, inspiratif, dan sesuai dengan akidah adalah langkah awal menuju internet halal. Beberapa platform dakwah digital, seperti Rumah Fiqih Indonesia atau aplikasi-aplikasi Islami yang terverifikasi, menjadi contoh positif bagaimana teknologi digunakan untuk kebaikan.
Kedua, perilaku daring (online etiquette). Adab berkomunikasi dalam Islam, seperti berbicara sopan, menghindari ghibah (menggunjing), fitnah, dan namimah (adu domba), juga berlaku di dunia maya. Anonimitas internet seringkali membuat orang berani melontarkan ujaran kebencian atau melakukan cyberbullying. Padahal, Imam Ghazali dalam Ihya' Ulum al-Din telah lama mengingatkan tentang pentingnya menjaga lisan, yang kini relevan dengan jempol di media sosial. Setiap postingan, komentar, atau share harus didasari oleh niat baik dan pertimbangan dampak. Privasi orang lain juga harus dihormati, tidak menyebarkan aib atau informasi pribadi tanpa izin.
Ketiga, dampak teknologi pada jiwa. Ketergantungan berlebihan pada gawai dan media sosial dapat mengikis produktivitas, mengganggu ibadah, dan bahkan menyebabkan masalah kesehatan mental seperti kecemasan atau depresi. Konsep zuhud (tidak terlalu terikat dunia) dan qana'ah (merasa cukup) perlu diterapkan dalam penggunaan teknologi. Membatasi waktu layar, memprioritaskan interaksi tatap muka, dan tidak membandingkan diri dengan "kehidupan sempurna" di media sosial adalah bagian dari menata kembali kesadaran spiritual di tengah hiruk pikuk digital. Ini sejalan dengan pandangan Prof. Dr. Hamka, yang selalu menekankan pentingnya keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi dalam kehidupan seorang Muslim.
Untuk mewujudkan "internet halal" secara kolektif, dibutuhkan upaya dari berbagai pihak. Para pengembang teknologi Muslim dapat menciptakan aplikasi dan platform yang didesain secara Islami (Islamic-by-design). Lembaga pendidikan Islam, seperti pesantren dan sekolah, perlu mengintegrasikan literasi digital yang berlandaskan etika Islam dalam kurikulumnya. Pemerintah dan penyedia layanan internet juga memiliki peran dalam regulasi dan penyediaan akses internet yang sehat.
Pada akhirnya, "internet halal" bukan tentang melarang atau membatasi secara ekstrem, melainkan tentang kesadaran diri (muraqabah) akan kehadiran Allah dalam setiap tindakan daring. Ini tentang mengembalikan tujuan utama penggunaan teknologi sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah dan memberikan manfaat bagi sesama. Ketika setiap klik dan scroll didasari oleh niat baik dan kesadaran spiritual, barulah kita bisa benar-benar menavigasi dunia digital dengan keberkahan.
Daftar Pustaka:
* Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad. Ihya' Ulum al-Din.
* Al-Qur'an. QS. Al-Hujurat: 6.
* Hamka. Berbagai karya dan ceramah beliau.
* Madjid, Nurcholish. Berbagai karya beliau tentang Islam modern.
* Qaradawi, Yusuf al-. Berbagai fatwa dan tulisan beliau tentang isu-isu kontemporer.
* Rumah Fiqih Indonesia.
* Sachedina, Abdulaziz. Berbagai tulisan atau kuliahnya tentang bioetika Islam.
Komentar
Posting Komentar