Realitas Kultural dan Tantangan Kesetaraan dalam Perspektif Islam
Oleh: Lukmanul Hakim
Lombok, pulau dengan kekayaan budaya dan religiositas yang kuat, menyimpan sebuah struktur sosial yang jarang dibahas secara terbuka namun masih berlangsung dalam kehidupan sehari-hari: sistem stratifikasi sosial berbasis keturunan atau kasta. Stratifikasi ini bukan sekadar warisan simbolik, melainkan turut menentukan relasi sosial, pola pernikahan, hingga status kehormatan seseorang di tengah masyarakat. Fenomena ini mencerminkan adanya ketimpangan yang terselubung namun sistematis, dan karenanya perlu dikaji secara kritis dalam bingkai sosial-budaya dan nilai-nilai Islam.
Stratifikasi Sosial: Antara Gelar dan Martabat
Dalam konteks masyarakat Sasak di Lombok, struktur sosial terbagi secara biner: bangsawan dan non-bangsawan. Bangsawan laki-laki lazim menyandang gelar Lalu atau Raden, sedangkan perempuan memakai gelar Baiq atau Lale. Setelah menikah atau memasuki usia dewasa, gelar Mamiq kerap digunakan sebagai penanda status sosial yang lebih tinggi. Gelar ini tidak hanya menunjukkan garis keturunan, melainkan juga menentukan batasan sosial, termasuk dalam hal pernikahan.
Di sejumlah wilayah, perempuan bangsawan dilarang menikah dengan laki-laki non-bangsawan. Jika larangan ini dilanggar, status kebangsawanan sang perempuan akan dianggap hilang, dan seringkali berdampak pada relasi sosial dengan keluarga maupun masyarakat sekitar. Sebaliknya, laki-laki bangsawan diperbolehkan menikahi perempuan non-bangsawan tanpa kehilangan statusnya. Ketimpangan relasi ini menunjukkan adanya bias gender dalam struktur kasta tersebut. Posisi perempuan jauh lebih rentan dan terkungkung oleh ekspektasi sosial yang tidak setara.
Warisan Budaya atau Problem Sosial?
Mereka yang mempertahankan sistem ini sering beralasan bahwa ini bagian dari adat istiadat yang harus dilestarikan. Namun pertanyaannya: apakah semua warisan budaya mesti diteruskan tanpa pertimbangan nilai keadilan dan kemanusiaan? Menurut Pierre Bourdieu (1986), stratifikasi sosial bukan hanya berbasis ekonomi, tetapi juga cultural capital—warisan simbolik seperti gelar, nama keluarga, dan kehormatan sosial yang ditransmisikan antargenerasi. Dalam konteks Lombok, gelar seperti Lalu atau Baiq berfungsi sebagai distinction (pembeda kelas) yang memperkuat dominasi simbolik di ruang sosial.
Sikap tidak kritis terhadap hal ini menciptakan legitimasi diam-diam atas ketidakadilan struktural. Ketimpangan menjadi dianggap sebagai sesuatu yang “biasa”, bahkan “wajar”. Padahal, dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai religiusitas, struktur sosial seperti ini dapat bertentangan dengan prinsip keislaman yang memuliakan persamaan dan keadilan.
Perspektif Islam: Menolak Ketimpangan Kasta
Ajaran Islam secara tegas menolak sistem kasta dan ketimpangan sosial berbasis garis keturunan. Firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 menegaskan:
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kamu.” (QS. Al-HujurÄt: 13)
Ayat ini menegaskan bahwa kemuliaan manusia tidak ditentukan oleh keturunan, kasta, atau status sosial, melainkan oleh ketakwaannya—sesuatu yang bersifat transenden dan tidak dapat diukur secara duniawi.
Lebih jauh, Nabi Muhammad SAW dalam khutbah perpisahannya menyatakan:
“Tidak ada kelebihan orang Arab atas orang non-Arab, atau orang kulit putih atas orang kulit hitam, kecuali dengan takwa.” (HR. Ahmad)
Pesan universal Islam ini seharusnya menjadi pijakan dalam menata struktur sosial yang lebih adil dan setara. Oleh karena itu, mempertahankan stratifikasi kasta yang menindas hak seseorang untuk memilih pasangan, menentukan peran sosial, atau menikmati akses setara dalam kehidupan bermasyarakat, bertentangan dengan ruh Islam sebagai agama pembebasan.
Menuju Kesadaran Sosial Baru
Perubahan sosial tidak bisa terjadi tanpa adanya kesadaran kolektif. Dalam konteks Lombok, membuka ruang diskusi kritis tentang sistem kasta menjadi langkah awal yang penting. Pendidikan multikultural dan nilai-nilai Islam inklusif perlu ditekankan dalam forum keluarga, sekolah, majelis keagamaan, hingga kebijakan pemerintahan desa.
Penting juga menghadirkan narasi-narasi alternatif dalam media dan karya sastra, yang menyoroti realitas ketimpangan serta menggugah empati publik. Cerita tentang cinta yang kandas karena perbedaan kasta, atau tokoh-tokoh lokal yang menentang sistem ini, bisa menjadi media transformatif untuk merombak cara pandang masyarakat terhadap apa yang disebut “kehormatan” dan “harga diri”.
Budaya tidak harus dibuang, tetapi harus dibebaskan dari unsur-unsur yang mendiskriminasi. Tradisi tidak selamanya suci—ia juga bisa membawa luka jika tidak dievaluasi. Seperti dikatakan oleh Kiai Abdurrahman Wahid (Gus Dur), “Kita tidak boleh hanya melestarikan tradisi, tapi juga memperbaikinya.”
Penutup
Sistem kasta di Lombok adalah kenyataan sosiokultural yang kompleks, namun bukan berarti tidak bisa dikritisi dan diubah. Dalam semangat Islam yang menjunjung keadilan, serta nilai-nilai kemanusiaan universal, sudah waktunya masyarakat Lombok membuka babak baru dalam sejarah sosialnya. Kesetaraan bukan hanya slogan, tetapi fondasi masyarakat madani yang sejati. Dan perubahan itu bermula dari kesadaran, keberanian, dan solidaritas untuk berdiri di sisi yang benar—meski bertentangan dengan kebiasaan yang sudah mengakar.
Komentar
Posting Komentar