Psikologi di Balik Hijrah: Memahami Motivasi dan Mengatasi Rintangan

Oleh: Lukmanul Hakim

Fenomena hijrah, sebuah istilah yang kian akrab di telinga masyarakat Muslim Indonesia, jauh melampaui sekadar pergeseran gaya hidup atau penampilan semata. Lebih dari itu, hijrah adalah sebuah transformasi psikologis dan spiritual yang mendalam, melibatkan pergulatan batin serta pencarian makna hidup yang hakiki. Memahami aspek psikologis yang melandasi keputusan hijrah menjadi esensial, baik bagi individu yang menjalaninya maupun bagi komunitas muslim secara luas untuk memberikan dukungan yang tepat dan efektif.

Motivasi Intrinsik: Pencarian Makna dan Kesejahteraan Spiritual

Dari sudut pandang psikologi, keputusan seseorang untuk berhijrah seringkali didorong oleh beragam motivasi intrinsik yang kuat, yang selaras dengan fitrah manusia. Salah satu yang paling fundamental adalah pencarian makna hidup dan tujuan yang lebih tinggi. Di tengah arus modernisasi dan tuntutan konsumerisme yang terkadang menyesatkan, banyak individu, termasuk mereka yang secara materi berkecukupan, merasakan kehampaan eksistensial. Viktor Frankl dalam bukunya Man's Search for Meaning menegaskan bahwa manusia memiliki dorongan bawaan untuk menemukan makna, bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun (Frankl, 1984). Islam, dengan ajarannya yang komprehensif, menawarkan kerangka nilai yang kokoh, memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang kehidupan, dan menjanjikan kedamaian batin sejati.

Imam Ghazali, dalam karyanya Ihya' Ulumiddin, banyak membahas tentang pentingnya penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) dan perjalanan menuju Allah (sayr ila Allah). Beliau menekankan bahwa kebahagiaan sejati terletak pada kedekatan dengan Sang Pencipta dan pemahaman akan tujuan penciptaan manusia (Al-Ghazali, 2011). Ini sangat selaras dengan motivasi hijrah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan mencari kebahagiaan spiritual.

Selain itu, dorongan untuk memperbaiki diri dan bertaubat kepada Allah merupakan motivasi sentral. Kesadaran akan kesalahan masa lalu, rasa bersalah, atau momen epifani (titik balik spiritual)—seperti setelah mengalami musibah atau krisis pribadi—seringkali memicu keinginan kuat untuk mengubah arah hidup. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an Surat Az-Zumar ayat 53: "Katakanlah (Muhammad), 'Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.'" Ayat ini memberikan harapan dan motivasi bagi mereka yang ingin berhijrah dari kemaksiatan menuju ketaatan.

Faktor identitas sosial juga memainkan peran signifikan. Individu mungkin merasa ingin menjadi bagian dari komunitas muslim yang lebih taat, mencari dukungan moral, dan menemukan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan spiritual. Ibnu Khaldun, dalam Muqaddimah-nya, membahas tentang pentingnya ashabiyyah (solidaritas sosial) dalam membangun peradaban. Dalam konteks hijrah, ini berarti bahwa dukungan dari komunitas yang salih dapat memperkuat tekad individu dan memberikan rasa memiliki yang esensial (Ibnu Khaldun, 1377/1967). Bergabung dengan komunitas hijrah yang suportif dapat memperkuat identitas diri dan memberikan rasa memiliki yang positif.

Rintangan Psikologis: Antara Keraguan dan Tekanan Sosial

Meskipun motivasi bisa sangat kuat, perjalanan hijrah jarang sekali tanpa hambatan. Aspek psikologis seringkali menjadi ujian terberat. Salah satu rintangan umum adalah keraguan dan ketakutan akan perubahan. Meninggalkan zona nyaman, kebiasaan lama, dan lingkungan pergaulan yang sudah akrab bisa menimbulkan kecemasan dan disonansi kognitif—ketidaknyamanan mental akibat memegang dua keyakinan atau nilai yang bertentangan (Festinger, 1957). Pertanyaan seperti "Bisakah aku istiqamah?", "Bagaimana reaksi teman dan keluarga?", atau "Apakah aku akan dikucilkan?" seringkali menghantui, mencerminkan fear of the unknown yang merupakan respons psikologis alami.

Tekanan sosial dan penilaian dari lingkungan sekitar juga merupakan tantangan signifikan. Tidak semua keluarga atau teman dapat langsung menerima perubahan ini, bahkan terkadang memberikan komentar negatif atau candaan yang meremehkan. Hal ini bisa menyebabkan stres, isolasi sosial, atau bahkan depresi jika tidak diatasi dengan baik. Imam Syafi'i pernah berkata, "Jika kamu tidak menyibukkan dirimu dengan kebenaran, maka kebatilanlah yang akan menyibukkanmu." Ini juga berlaku dalam konteks tekanan sosial; jika seorang individu tidak memiliki pegangan yang kuat pada tujuan hijrahnya, mudah bagi keraguan dan tekanan luar untuk mengalahkan tekadnya.

Di sisi lain, ada pula tekanan untuk "sempurna" baik dari dalam diri sendiri maupun dari ekspektasi komunitas baru. Individu yang berhijrah mungkin merasa harus selalu menampilkan citra Islami yang tanpa cela, mengabaikan fakta bahwa proses perubahan adalah gradual dan manusiawi. Kondisi ini dapat memicu perfeksionisme yang tidak sehat, rasa bersalah berlebihan atas setiap kekhilafan, atau bahkan spiritual burnout (kelelahan spiritual). Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, seorang ulama besar, banyak menekankan pentingnya keseimbangan dalam beragama dan menjauhi ghuluw (berlebihan). Beliau mengajarkan bahwa perjalanan spiritual adalah proses yang membutuhkan kesabaran, keikhlasan, dan pemahaman akan kelemahan diri (Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, 1993).

Strategi Mengatasi Rintangan: Peran Diri dan Dukungan Komunitas

Untuk menavigasi rintangan-rintangan ini, diperlukan strategi psikologis yang matang dan dukungan yang tepat, yang semuanya berakar pada ajaran Islam. Pertama, memperkuat fondasi keyakinan dan ilmu agama adalah mutlak. Pemahaman yang kokoh tentang Al-Qur'an dan Sunnah akan menjadi kompas dan jangkar di tengah badai keraguan, memberikan ketenangan dan keyakinan pada setiap langkah. Imam Nawawi dalam karyanya Riyadhus Shalihin menekankan pentingnya ilmu sebagai cahaya yang membimbing manusia menuju kebaikan dan ketakwaan (An-Nawawi, 2000).

Kedua, membangun sistem dukungan sosial yang positif sangat krusial. Mencari komunitas Muslim yang taat dan suportif, mentor agama yang bijak, atau teman-teman yang memiliki visi serupa dapat memberikan dukungan emosional, motivasi, dan tempat berbagi pengalaman tanpa penghakiman. Rasulullah SAW bersabda: "Seseorang itu tergantung agama temannya, maka hendaklah salah seorang di antara kalian melihat siapa yang menjadi temannya." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi). Hadits ini menggarisbawahi pentingnya memilih lingkungan pergaulan yang baik dalam menjaga istiqamah.

Penting juga untuk bersikap realistis terhadap proses perubahan. Hijrah adalah perjalanan yang panjang dan berliku, bukan tujuan akhir yang instan. Akan ada jatuh bangun, kesalahan, dan momen-momen sulit. Menerima ketidaksempurnaan diri dan berlapang dada terhadap proses gradual ini adalah kunci untuk menjaga kesehatan mental dan menghindari frustrasi. Konsep self-compassion—memperlakukan diri sendiri dengan kebaikan dan pengertian di saat sulit—sangat relevan di sini (Neff, 2003). Imam Hasan Al-Bashri pernah berkata, "Sesungguhnya jiwa itu diciptakan dalam keadaan labil, jika ia istiqamah, maka bersyukurlah; dan jika ia berbelok, maka jangan putus asa." Nasihat ini mengajarkan pentingnya kesabaran dan tidak berputus asa dalam menghadapi tantangan istiqamah.

Terakhir, komunikasi yang bijaksana dengan keluarga dan teman lama perlu diupayakan. Menjelaskan motivasi hijrah dengan lembut, sabar, dan menunjukkan dampak positif perubahan tersebut pada diri dapat membantu mengurangi kesalahpahaman dan membangun jembatan pemahaman. Kebijaksanaan dalam berdakwah adalah kunci, sebagaimana firman Allah SWT: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (QS. An-Nahl: 125).

Sebagai penutup, hijrah adalah sebuah perjalanan multidimensional yang kaya akan makna psikologis, spiritual, dan sosial. Dengan memahami motivasi yang mendasarinya dan rintangan yang mungkin muncul—baik dari dalam diri maupun dari lingkungan—serta berpegang teguh pada panduan Islam dan nasihat para ulama, individu dapat menjalani proses ini dengan lebih sadar, tangguh, dan pada akhirnya, meraih ketenangan batin serta kedekatan yang lebih dalam dengan Sang Pencipta. Ini adalah esensi dari hijrah sejati, sebuah metamorfosis yang tidak hanya mengubah tampilan luar, tetapi menyentuh relung jiwa yang terdalam.

Referensi:

Al-Ghazali, Abu Hamid. (2011). Ihya' Ulumiddin. Dar Al-Minhaj. (Terjemahan).

An-Nawawi, Yahya bin Syaraf. (2000). Riyadhus Shalihin. Dar Ibn Hazm. (Terjemahan).

Festinger, L. (1957). A theory of cognitive dissonance. Stanford University Press.

Frankl, V. E. (1984). Man's search for meaning. Washington Square Press.

Ibnu Khaldun, Abdurrahman. (1377/1967). Al-Muqaddimah. Dar Al-Qalam. (Terjemahan).

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. (1993). Madarij As-Salikin bain Manazil Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in. Dar Al-Fikr. (Terjemahan).

 Neff, K. (2003). Self-compassion: An alternative conceptualization of a healthy attitude toward oneself. Self and Identity, 2(2), 85–101.

Al-Qur'an Surat Az-Zumar (39): 53.

Al-Qur'an Surat An-Nahl (16): 125.

Hadits Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi (tentang memilih teman).



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa