Nada dan Zikir: Di Mana Batas antara Musik dan Spiritualitas?

Oleh: Lukmanul Hakim

Dalam tradisi Islam, perdebatan tentang musik dan spiritualitas bukanlah hal baru. Sebagian menganggap musik sebagai unsur yang melemahkan hati dan melalaikan jiwa, sementara yang lain justru menggunakannya sebagai sarana pendekatan diri kepada Allah. Maka pertanyaannya muncul: apakah musik itu lawan dari zikir, atau justru bisa menjadi bentuk zikir itu sendiri?

Musik: Ekspresi Rasa atau Jembatan Ruhani?

Sejak awal sejarah manusia, musik telah menjadi bagian dari ekspresi batin, simbol rasa, dan dalam banyak kebudayaan, bahkan menjadi jembatan menuju Tuhan. Dalam konteks Islam sufistik, praktik seperti sama’ (mendengarkan musik rohani) dipandang sebagai salah satu metode menyentuh sisi terdalam manusia—ruh yang rindu kepada Penciptanya.

Seperti dikatakan oleh Annemarie Schimmel (1975), "Mystical music in Islam does not seek pleasure for itself, but aims to awaken the soul and direct the listener toward God." (hlm. 182). Dalam tarekat Mawlawiyyah, misalnya, irama musik disertai wirid dan tarian berputar (whirling dance) menjadi sarana tajalli (penampakan sifat Ilahi) dan fana (meleburkan diri dalam Allah).

Demikian pula Jalaluddin Rumi, penyair besar Persia, menulis dalam salah satu baitnya:

“Apa pun yang keluar dari hati, akan masuk ke hati pula. Tetapi yang lahir dari lidah, hanya akan berhenti di telinga.” (Mathnawi, I:599)

Perspektif Fikih: Pro dan Kontra

Pandangan fikih terhadap musik berbeda-beda. Sebagian ulama klasik seperti dari mazhab Hanbali, termasuk Ibn Qayyim dan Ibn Taymiyyah, mengambil posisi tegas melarang musik. Mereka merujuk pada hadis seperti:

“Akan ada dari umatku kaum yang menghalalkan zina, sutra, khamr, dan alat musik.” (HR. Bukhari dalam mu‘allaq, disambungkan oleh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, 10/52)

Namun, hadis ini diperselisihkan kesahihannya, karena bentuknya mu‘allaq dan sanadnya terputus menurut sebagian ulama. Bahkan, tokoh besar seperti Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din membuat klasifikasi yang lebih kontekstual terhadap musik:

  • Jika konten musiknya buruk, disertai syair maksiat atau mengundang syahwat, maka haram.
  • Jika netral atau mengajak kepada kebaikan, maka mubah atau bahkan mustahabb, bergantung pada konteks dan kondisi pendengar.

Menurut al-Ghazali (n.d.):

"Musik adalah makanan ruh, sebagaimana makanan adalah asupan jasad. Setiap orang memiliki ruh, maka musik bisa menyentuh dan menggerakkannya sesuai tingkat kebersihannya." (Ihya’, juz 2, hlm. 267)

Zikir dan Nada dalam Tradisi Islam Nusantara

Di Indonesia, bentuk-bentuk musik spiritual telah menyatu erat dengan kehidupan umat Islam. Tradisi hadrah, qosidah, shalawat, marhaban, dan barzanji merupakan contoh nyata bagaimana seni suara menjadi instrumen dakwah kultural.

Menurut Zamakhsyari Dhofier (1982), pesantren sebagai pusat transmisi Islam tradisional juga menjadikan bentuk kesenian seperti qosidah sebagai sarana “penyampaian nilai-nilai sufistik kepada masyarakat awam” (Tradisi Pesantren, hlm. 142).

Musik yang dipadukan dengan zikir tidak hanya memperindah ibadah, tetapi juga membentuk pengalaman spiritual yang kolektif. Dalam praktik tarekat-tarekat seperti Naqsyabandiyyah dan Syadziliyyah, zikir berjamaah sering dilakukan dalam pola irama yang khas untuk menciptakan suasana ruhani yang lebih mendalam.

Di Mana Batasnya?

Batas antara musik dan zikir tidak terletak pada jenis instrumennya, melainkan pada tujuan, isi, dan dampaknya terhadap jiwa. Jika musik membawa kepada kelalaian, maksiat, dan menjauhkan dari salat, maka ia tercela. Namun jika musik menghidupkan semangat ibadah, menumbuhkan cinta kepada Nabi, dan mendorong taubat, maka ia adalah wasilah menuju Tuhan.

Sebagaimana ditegaskan oleh Seyyed Hossein Nasr (2007):

“In Islamic spirituality, music is a reflection of the cosmic harmony. When properly used, it becomes a means of spiritual ascent, not mere pleasure.” (The Garden of Truth, hlm. 165)

Penutup: Nada Sebagai Jalan Menuju Allah

Dalam dunia yang kian bising oleh hiburan semu, kita perlu kembali menimbang ulang makna musik — bukan dari bentuknya, melainkan dari pengaruhnya terhadap hati dan perilaku. Di tangan yang benar, musik bisa menjadi zikir yang menggetarkan langit, tetapi di tangan yang lalai, ia hanyalah gema yang menyesatkan jiwa.

Jangan buru-buru mengharamkan semua bentuk musik, sebagaimana jangan gegabah menghalalkan semua yang bernada. Seperti kata Rumi, "Musik bukanlah tujuan, tetapi pintu. Ia hanya bermakna jika kau tahu ke mana hendak masuk."


Referensi:

  • Al-Ghazali. (n.d.). Ihya’ ‘Ulum al-Din (Vol. 2). Beirut: Dar al-Fikr.
  • Dhofier, Z. (1982). Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
  • Nasr, S. H. (2007). The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition. New York: HarperOne.
  • Schimmel, A. (1975). Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: University of North Carolina Press.
  • Ibn Hajar al-Asqalani. (n.d.). Fath al-Bari bi Syarh Sahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa