Modernitas: Telaah Kritis

Oleh: Lukmanul Hakim


Pendahuluan
Tasawuf merupakan dimensi batin dari ajaran Islam yang menekankan pada pemurnian hati, pengendalian nafsu, dan kedekatan spiritual dengan Allah. Dalam sejarahnya, tasawuf telah menjadi bagian integral dari ortodoksi Islam, khususnya di kalangan Ahlussunnah wal Jamaah. Namun dalam beberapa dekade terakhir, tasawuf menghadapi tantangan serius dari dua arah: modernitas sekuler yang mencurigai dimensi spiritual, dan puritanisme keagamaan yang memvonisnya sebagai bid’ah atau penyimpangan. Tulisan ini mencoba menelaah secara kritis posisi tasawuf di tengah arus ortodoksi dan modernitas, serta mencari titik sintesis yang konstruktif.

Tasawuf dan Ortodoksi Islam: Harmoni atau Ketegangan?
Banyak kalangan mengira bahwa tasawuf adalah bentuk Islam yang menyimpang dari ortodoksi. Padahal, tokoh-tokoh besar dalam sejarah keilmuan Islam seperti Imam Al-Ghazali, Imam Junaid al-Baghdadi, dan Syekh Abdul Qadir al-Jailani justru mengintegrasikan tasawuf dengan fiqh dan teologi. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menyatakan bahwa:
“Jalan para sufi adalah sebaik-baiknya jalan; karena itu mencakup ilmu, amal, akhlak, dan penyucian batin.”
(Al-Ghazali, Ihya’, Juz 1, hlm. 52)
Tasawuf dalam kerangka ortodoksi Ahlussunnah justru menjadi pelengkap dari syariat: fiqh sebagai amal lahir, tasawuf sebagai amal batin. Hal ini ditegaskan oleh Syekh Zarruq (w. 899 H), ulama Maliki dan sufi besar dari Maghrib, yang menyusun Qawa’id at-Tasawwuf untuk menyelaraskan tasawuf dengan kaidah syariah.

Tantangan Modernitas: Rasionalisme, Individualisme, dan Materialisme
Tasawuf bertumpu pada pengalaman batin yang mendalam, kontemplasi, dan keterhubungan spiritual. Namun, modernitas yang menuhankan rasionalitas dan kemajuan material meminggirkan aspek-aspek ini. Dalam logika modern, yang tidak empiris dianggap ilusi atau irasional. Akibatnya, praktik seperti zikir, khalwat (uzlah), atau maqamat (tahapan spiritual) dipandang asing dan tidak produktif secara ekonomis.
Lebih jauh, semangat individualisme modern juga bertentangan dengan spiritualitas kolektif dalam tarekat. Tradisi bai‘at, adab terhadap guru (murshid), serta komunitas dzikir bersama sering dianggap sebagai bentuk feodalisme spiritual oleh sebagian intelektual Muslim modernis.
Padahal, seperti dicatat oleh William Chittick dalam The Sufi Path of Knowledge (1989), tasawuf menyimpan kekayaan etika, epistemologi, dan kosmologi yang tak ternilai. Ia menyebut konsep wahdat al-wujud sebagai ekspresi metafisika Islam yang mendalam, bukan doktrin pantheisme sebagaimana sering disalahpahami.

Reformulasi Tasawuf di Era Modern: Jalan Tengah yang Membumi
Di tengah tarik-ulur antara puritanisme dan sekularisme, lahir gerakan pembaruan tasawuf yang mencoba menempatkannya dalam kerangka sosial-modern. Tokoh seperti Prof. Dr. Seyyed Hossein Nasr menyerukan agar umat Islam kembali kepada spiritualitas tradisional, sebagai benteng dari krisis makna modern. Sementara Kyai Haji Sahal Mahfudz, dalam banyak tulisannya, menekankan pentingnya “tasawuf sosial”, yakni penerjemahan nilai-nilai sufistik dalam kerja sosial dan advokasi kemanusiaan.
Begitu pula tarekat-tarekat NU seperti Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, telah memainkan peran penting dalam menciptakan masyarakat yang tidak hanya religius tetapi juga harmonis secara sosial. Ini menunjukkan bahwa tasawuf bukanlah pelarian dari realitas, melainkan energi spiritual untuk menghadapinya.

Penutup
Tasawuf bukanlah antitesis ortodoksi, juga bukan musuh modernitas. Ia adalah dimensi esensial Islam yang selalu berusaha menjaga kedalaman ruhani di tengah keramaian hukum dan realitas sosial. Tugas kita hari ini bukan menolak modernitas atau mengutuk ortodoksi, tetapi membangun jembatan: menjadikan tasawuf sebagai energi transformasi personal dan sosial, yang relevan dengan zaman sekaligus setia pada warisan ulama salaf.

Referensi
• Al-Ghazali, Abu Hamid. (n.d.). Ihya’ Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Minhaj.
• Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad. (n.d.). Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr.
• Chittick, W. C. (1989). The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi's Metaphysics of Imagination. Albany: SUNY Press.
• Nasr, S. H. (1993). The Need for a Sacred Science. Albany: SUNY Press.
• Sahal Mahfudh. (2004). Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LKiS.
• Zarruq, Ahmad. (n.d.). Qawa’id at-Tasawwuf. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa