Ketika Takwa Dipolitisasi: Antara Simbol dan Substansi
Oleh: Lukmanul Hakim
“Jangan kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang lebih mengetahui siapa yang bertakwa.”
— QS. An-Najm [53]:32
Takwa: Kata Suci yang Sering Dipakai Seenaknya
Di banyak ruang publik, takwa telah menjadi kata yang sangat sering disebut namun semakin kabur maknanya. Dalam khutbah, debat politik, kampanye pemilu, hingga iklan layanan masyarakat, istilah ini muncul seolah menjadi “stempel ilahi” yang mengafirmasi kebaikan seseorang atau kelompok.
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana takwa—yang sejatinya merupakan kualitas batiniah, relasi personal antara hamba dengan Tuhannya—telah dipolitisasi, dimanipulasi, dan dikomodifikasi menjadi alat legitimasi kekuasaan.
Padahal, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, takwa bukan sekadar kepatuhan lahiriah terhadap syariat, tetapi juga keterjagaan hati dari niat yang buruk dan ketulusan dalam seluruh tindakan. Ia adalah al-khawf wa al-raja’, yaitu keseimbangan antara rasa takut kepada Allah dan harapan akan rahmat-Nya.
Takwa Bukan Klaim, Tapi Realitas Batin
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“...Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.”
(QS. Al-Hujurat [49]:13)
Ayat ini sering dikutip dalam kampanye-kampanye politik yang mengedepankan kesalehan sebagai indikator kelayakan kepemimpinan. Namun, ironisnya, justru melalui ayat inilah kita diingatkan bahwa takwa bukan untuk diklaim, tapi untuk diwujudkan dalam kehidupan yang adil, jujur, dan penuh integritas.
Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menafsirkan bahwa takwa adalah sikap batin yang mendorong seseorang untuk terus-menerus berada di jalan yang benar dan menghindari hal-hal yang dilarang, baik ketika terlihat orang lain maupun saat sendirian. Maka, siapa pun yang “memperlihatkan” ketakwaannya untuk kepentingan duniawi, sejatinya telah mencemari makna takwa itu sendiri.
Dari Spiritualitas ke Propaganda
Fenomena politisasi takwa tidak lepas dari praktik-praktik penggiringan opini publik yang menjadikan agama sebagai “kemasan”. Simbol-simbol religius digunakan untuk menciptakan citra saleh, mulai dari pemakaian busana Islami, kutipan ayat dalam kampanye, hingga framing tokoh sebagai “pemimpin bertakwa”.
Dalam The Politics of Piety, Saba Mahmood (2005) mengkritik bagaimana praktik kesalehan sering diseret ke ruang publik secara strategis, bukan sebagai ekspresi spiritual, tapi sebagai perangkat ideologis. Di sinilah takwa kehilangan substansi dan menjadi sekadar alat propaganda.
Mengapa Politisasi Takwa Berbahaya?
Pertama, ia mengaburkan kriteria etis kepemimpinan. Orang yang tampak religius belum tentu jujur atau adil. Dalam sejarah Islam, kita mengenal tokoh seperti Abdullah bin Ubay yang terlihat taat tapi dicela sebagai pemimpin kaum munafik (QS. Al-Munafiqun [63]).
Kedua, ia menciptakan polarisasi sosial. Ketika takwa diklaim oleh satu kelompok, maka yang lain otomatis dicap “kurang bertakwa”, meski mungkin lebih berintegritas.
Ketiga, politisasi ini membuka ruang manipulasi agama untuk menjustifikasi tindakan yang tidak Islami, seperti kekerasan, diskriminasi, atau korupsi berjubah dakwah.
Kembali ke Takwa yang Murni
Takwa sejati tidak butuh panggung. Ia tumbuh dalam kesadaran, dipraktikkan dalam kejujuran, dan diuji dalam keikhlasan. Sebagaimana sabda Nabi SAW:
"At-taqwa ha huna" — Takwa itu di sini,
(sambil menunjuk ke dada tiga kali)
(HR. Muslim no. 2564)
Umar bin Khattab RA juga menggambarkan takwa dengan sangat indah: seperti orang yang berjalan di jalan berduri, ia akan sangat hati-hati agar tidak menginjak duri tersebut. Artinya, takwa adalah sikap waspada terus-menerus terhadap dosa, bukan slogan kebanggaan.
Penutup: Saatnya Umat Melek Makna
Umat Islam perlu semakin kritis. Tidak mudah terpesona oleh retorika agamis yang tidak berdampak pada keadilan sosial. Kita perlu belajar membedakan antara penampilan religius dan perilaku bertakwa, antara politik nilai dan politik simbol.
Takwa tidak bisa dipolitisasi karena ia bukan milik elite, bukan pula hasil propaganda. Ia milik setiap jiwa yang tunduk secara tulus kepada Tuhan dan mencintai sesamanya dengan adil. Ketika takwa dikembalikan pada makna aslinya, agama pun akan kembali menjadi cahaya, bukan alat kuasa.
Referensi:
- Al-Qur’an al-Karim, QS. Al-Baqarah [2]:2, QS. Al-Hujurat [49]:13, QS. An-Najm [53]:32.
- Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah, Lentera Hati, 2001.
- Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Dar al-Fikr, Beirut.
- Mahmood, Saba. The Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject, Princeton University Press, 2005.
- Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, Hadis No. 2564.
Komentar
Posting Komentar