Kafir: Antara Konsep Teologis dan Label Sosial

Oleh: Lukmanul Hakim

Istilah “kafir” adalah salah satu kata dalam Al-Qur’an yang paling sering disalahpahami dalam konteks sosial modern. Dalam akar katanya, “kafara” berarti menutup atau menyembunyikan. Secara teologis, kata ini menunjuk kepada mereka yang menolak atau mengingkari kebenaran setelah mengetahuinya. Namun dalam praktik sosial-politik, istilah ini acapkali dijadikan alat penanda identitas, pembeda kelompok, bahkan alat stigmatisasi.

Kafir dalam Al-Qur’an: Ragam dan Konteks

Al-Qur’an menyebut istilah kafir dalam berbagai bentuk dan konteks. Menurut data dari al-Muʿjam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qurʾān, akar kata k-f-r muncul lebih dari 500 kali dalam berbagai bentuk (seperti kafaru, al-kafirun, yakfurun, dll.). Tidak semuanya bermakna tunggal. Dalam Tafsir al-Maraghi, disebutkan bahwa istilah kafir memiliki variasi: kafir zindiq, kafir mu’anid (penentang), kafir jahil (bodoh terhadap kebenaran), hingga kafir harbi (yang memerangi Islam).

Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an menjelaskan bahwa penyebutan kata kafir harus dilihat dalam konteks relasi wahyu dan respons manusia. Tidak semua yang berbeda keyakinan otomatis tergolong kafir dalam pengertian teologis. Bahkan, dalam Tafsir al-Misbah, beliau menggarisbawahi bahwa Al-Qur’an menyebut istilah lain untuk komunitas non-Muslim seperti ahl al-kitab (Yahudi dan Nasrani), bukan langsung menyamaratakan sebagai kafir.

Ketika Kafir Menjadi Label Sosial

Dalam realitas sosial, istilah “kafir” kerap mengalami penyempitan makna menjadi sekadar “bukan Muslim”. Lebih jauh lagi, ia berubah menjadi “musuh” atau “yang layak dijauhi”. Padahal, sejarah peradaban Islam klasik mencatat kehidupan harmonis antara umat Islam dan non-Muslim. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Ahkam Ahl al-Dzimmah menjelaskan detail perlakuan adil terhadap non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan negara Islam (dzimmi), yang tidak boleh didiskriminasi atau dirampas haknya.

Sayangnya, dalam ruang dakwah atau politik identitas, kata “kafir” menjadi senjata ideologis untuk menyingkirkan kelompok yang berbeda pandangan atau keyakinan. Di Indonesia, isu ini sempat mencuat dalam beberapa kontestasi politik dengan narasi “pemimpin kafir”, yang tidak hanya dangkal secara teologis, tapi juga berbahaya secara sosial.

Gus Dur dan Narasi Kemanusiaan

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah salah satu tokoh yang paling tegas menolak penggunaan istilah “kafir” sebagai label sosial. Dalam banyak ceramah dan tulisannya, beliau menyatakan bahwa semua warga negara, apapun agamanya, harus diperlakukan setara. Baginya, “yang membedakan manusia bukan agama, tapi apakah ia berlaku adil atau tidak.”

Pandangan ini bukan kompromi terhadap ajaran Islam, melainkan bentuk penafsiran kontekstual terhadap semangat keadilan dan rahmat yang menjadi inti dari risalah Islam. Hal ini senada dengan pandangan Sayyid Ahmad Khan (India) dan Fazlur Rahman (Pakistan), yang menekankan bahwa istilah dalam teks suci harus dipahami dalam latar historis dan tidak dipakai serampangan di luar konteksnya.

Menjernihkan Makna, Merawat Harmoni

Perlu dibedakan antara istilah teologis yang menjadi bagian dari diskursus akidah, dan penyalahgunaannya sebagai senjata sosial. Menyebut orang lain kafir secara sembarangan tidak hanya berbahaya dari sisi ukhrawi—karena Rasulullah bersabda bahwa jika tuduhan kafir itu salah, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh (HR. Bukhari no. 6104)—tapi juga mencederai etika sosial Islam.

Dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, penggunaan istilah “kafir” harus bijak dan tepat guna. Bukan untuk menghakimi, apalagi menyebar kebencian, tapi untuk memahami realitas keimanan dengan sikap arif dan adil.

Referensi:

  • Al-Qur’an dan Terjemahnya, Kemenag RI
  • Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Mizan
  • Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Lentera Hati
  • Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Dar al-Fikr
  • Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkam Ahl al-Dzimmah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah
  • KH. Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, The Wahid Institute
  • Fazlur Rahman, Islam and Modernity, University of Chicago Press


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa