Hijrah Sejati: Bukan Sekadar Pindah Tempat, tapi Pindah Hati

Oleh: Lukmanul Hakim

Dalam pusaran waktu yang terus berputar, istilah hijrah kian akrab di telinga kita. Dari perbincangan di kedai kopi hingga unggahan di media sosial, narasi tentang hijrah seolah menjadi tren yang tak lekang oleh zaman. Sebagian mengartikannya sebagai perubahan penampilan, dari busana kasual menuju syar'i. Ada pula yang memaknainya sebagai perpindahan lingkungan, dari hiruk pikuk kota menuju ketenangan pedesaan, atau dari pergaulan bebas ke komunitas yang lebih agamis. Namun, di tengah gemuruh definisi yang bertebaran, sudahkah kita menyelami makna hakiki dari hijrah itu sendiri?

Lebih dari sekadar perubahan lahiriah atau perpindahan geografis, hijrah sejatinya adalah sebuah transformasi batin, sebuah perjalanan spiritual dari kegelapan menuju cahaya, dari kelalaian menuju kesadaran, dan dari apa yang dibenci Allah menuju apa yang dicintai-Nya. Inilah esensi hijrah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad ﷺ, yang bukan hanya memindahkan raga dari Mekah ke Madinah, melainkan juga menggeser paradigma, membangun peradaban, dan membersihkan hati dari segala bentuk kemusyrikan.

Landasan fundamental makna hijrah ini tertuang jelas dalam sabda Rasulullah ﷺ: "Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) sesuai dengan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin diraihnya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrahi itu" (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menegaskan bahwa niat adalah kompas utama dalam perjalanan hijrah. Tanpa niat yang tulus karena Allah, sebuah perpindahan fisik bisa jadi hanya sebatas ganti lokasi, tanpa menyentuh kedalaman spiritual.

Para ulama salaf pun menggarisbawahi urgensi hijrah hati ini. Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, dalam karya monumentalnya Madarijus Salikin, menjelaskan bahwa hijrah adalah "perpindahan hati dari segala yang dibenci Allah menuju segala yang dicintai-Nya." Ini adalah seruan untuk berhijrah dari lingkaran maksiat, dari kebiasaan buruk yang melenakan, dan dari lingkungan yang menjauhkan kita dari kebaikan. Sebaliknya, ia mendorong kita untuk berhijrah menuju ketaatan, menuju akhlak mulia, dan menuju komunitas yang saling menguatkan dalam iman.

Dalam konteks kekinian, makna hijrah hati ini semakin relevan. Di era digital yang serba cepat dan penuh distraksi ini, kita dihadapkan pada "perpindahan" virtual yang tak kalah menantang. Berapa banyak dari kita yang "hijrah" dari perilaku scrolling tanpa arah di media sosial menuju pemanfaatan teknologi untuk belajar dan berkarya? Berapa banyak yang "hijrah" dari konsumsi konten negatif dan provokatif menuju konten yang mencerahkan dan membangun? Ini adalah bentuk hijrah kontemporer, hijrah mentalitas dan karakter, yang menuntut kesadaran penuh dan kemauan kuat untuk memilih apa yang membawa manfaat dan kebaikan.

Maka, mari kita jadikan hijrah bukan sekadar label atau tren sesaat, melainkan sebuah proses berkelanjutan dalam mengupgrade diri. Setiap langkah kecil kita untuk meninggalkan keburukan, setiap niat tulus untuk mendekat kepada Allah, dan setiap upaya untuk membersihkan hati dari penyakit-penyakitnya, itulah manifestasi hijrah sejati. Hijrah adalah perjalanan tiada henti untuk menjadi pribadi yang lebih baik, bukan hanya di mata manusia, melainkan di hadapan Sang Pencipta.

Referensi:

Al-Bukhari, Imam. Shahih Al-Bukhari. 

Muslim, Imam. Shahih Muslim. 

Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. Madarijus Salikin. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.

Al-Mubarakfuri, Shafiyyur Rahman. Ar-Rahiq Al-Makhtum. Riyadh: Darussalam Publishers.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa