Antara Wahyu dan Nalar: Menemukan Kembali Ilmu Pengetahuan dalam Tradisi Intelektual Islam
Oleh: Lukmanul Hakim
(Pemerhati dan penulis tentang Islam kontemporer)
Di tengah pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di era modern, umat Islam seringkali dihadapkan pada sebuah dikotomi yang keliru: memilih antara wahyu (teks suci) atau nalar (akal/rasio). Seolah-olah keduanya adalah kutub yang saling berlawanan. Padahal, jika kita menengok kembali lembaran gemilang sejarah peradaban Islam, justru harmonisasi antara wahyu dan nalar inilah yang menjadi kunci kemajuan intelektual dan ilmiah yang tak tertandingi di masanya.
Ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah "Bacalah!" (QS. Al-Alaq: 1). Perintah ini bukan hanya seruan untuk membaca Al-Qur'an, tetapi juga seruan untuk membaca alam semesta, fenomena sosial, dan segala ciptaan Allah SWT. Ini adalah perintah fundamental untuk mencari ilmu. Al-Qur'an sendiri dipenuhi dengan ayat-ayat yang mendorong observasi, refleksi, dan penggunaan akal, misalnya, "...Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan?" (QS. Al-Ghasyiyah: 17) atau "Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Yunus: 6).
Dorongan eksplisit dari wahyu inilah yang memicu revolusi intelektual dalam Islam, menghasilkan "Zaman Keemasan Islam" (sekitar abad ke-8 hingga ke-14 M).
Harmonisasi Wahyu dan Nalar di Masa Lalu
Para ilmuwan Muslim di masa lalu tidak melihat ilmu agama dan ilmu umum sebagai entitas yang terpisah, apalagi bertentangan. Bagi mereka, ilmu pengetahuan adalah sarana untuk lebih mengenal kebesaran Allah SWT. Ibnu Sina (Avicenna), seorang dokter dan filsuf terkemuka, menulis kitab kedokteran Al-Qanun fi at-Tibb yang menjadi rujukan di Barat selama berabad-abad, namun ia juga seorang hafiz Al-Qur'an dan ahli filsafat Islam. Ia melihat kedokteran sebagai jalan untuk memahami ciptaan dan keajaiban tubuh manusia (Goodman, 2013).
Hal yang sama berlaku bagi Al-Biruni, seorang polimatik yang ahli dalam astronomi, matematika, geografi, dan farmakologi. Karyanya yang monumental seperti Kitab al-Hind menunjukkan kedalaman riset dan objektivitas ilmiah yang luar biasa, namun ia senantiasa menempatkan penemuannya dalam kerangka keyakinan akan kekuasaan Tuhan (Khan, 2009). Bagi mereka, mengkaji alam semesta adalah bentuk ibadah dan upaya mendekatkan diri kepada Pencipta. Ini adalah perpaduan unik yang tidak ditemukan dalam tradisi lain pada masa itu.
Lembaga-lembaga seperti Baitul Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) di Baghdad bukan hanya pusat penerjemahan karya-karya Yunani, Persia, dan India, tetapi juga menjadi pusat riset dan eksperimen yang aktif. Di sana, para sarjana dari berbagai latar belakang agama bekerja sama, didorong oleh semangat mencari ilmu yang universal, namun tetap berakar pada nilai-nilai Islam (Lyons, 2009).
Relevansi untuk Umat Islam Kontemporer
Sayangnya, di era modern, umat Islam seolah kehilangan "kompas" harmonisasi ini. Terjadi polarisasi antara mereka yang hanya menekankan ilmu agama tanpa perhatian pada ilmu dunia, dan sebaliknya. Akibatnya, umat Islam kerap tertinggal dalam inovasi sains dan teknologi, atau terjebak dalam pemahaman agama yang kaku dan anti-ilmiah.
Untuk keluar dari stagnasi ini, kita perlu:
* Membangun Kembali Tradisi Keilmuan Inklusif: Masjid, pesantren, dan madrasah harus kembali menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan yang komprehensif, tidak hanya ilmu agama. Perguruan tinggi Islam harus menjadi garda terdepan dalam riset dan inovasi yang relevan dengan tantangan global, sambil tetap mempertahankan nilai-nilai Islam.
* Mendorong Pemikiran Kritis dan Inovatif: Tradisi ijtihad (penalaran independen) dan ikhtiar (upaya maksimal) yang kuat dalam Islam harus dihidupkan kembali. Ini berarti mendorong umat, terutama generasi muda, untuk bertanya, berinovasi, dan mencari solusi kreatif terhadap masalah-masalah kontemporer, dari krisis iklim hingga pandemi.
* Memperkuat Etika Ilmiah Islam: Ilmu pengetahuan tanpa etika bisa berbahaya. Tradisi Islam menekankan adab al-ilm (etika berilmu), yaitu kejujuran, objektivitas, kerendahan hati, dan tanggung jawab sosial. Prinsip-prinsip ini harus menjadi panduan dalam setiap riset dan aplikasi teknologi.
* Menjembatani Kesenjangan: Membangun kolaborasi antara ulama, ilmuwan, dan praktisi untuk memastikan bahwa ilmu agama memberikan bimbingan moral dan spiritual bagi kemajuan ilmiah, dan ilmu pengetahuan memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang keagungan ciptaan Allah.
Penutup
Menemukan kembali ilmu pengetahuan dalam tradisi intelektual Islam berarti mengintegrasikan kembali wahyu dan nalar sebagai dua sayap yang tak terpisahkan untuk terbang menuju kemajuan. Ini bukan tentang memilih salah satu, melainkan tentang menyatukan keduanya dalam harmoni, sebagaimana yang dicontohkan oleh para cendekiawan Muslim di masa keemasan.
Dengan demikian, umat Islam tidak hanya akan menjadi konsumen ilmu pengetahuan, tetapi juga produsen dan kontributor utama bagi kemajuan peradaban manusia, sebagaimana amanah khalifah fil ardh (wakil di muka bumi) yang diemban. Mari kita jadikan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber inspirasi tak terbatas untuk terus menuntut ilmu, berinovasi, dan berkontribusi bagi kemaslahatan seluruh alam.
Daftar Pustaka:
Goodman, L. E. (2013). Avicenna. Routledge.
Khan, M. A. (2009). Al-Biruni's Discovery of India. Oriental Press.
Lyons, J. (2009). The House of Wisdom: How Arabic Science Saved Ancient Knowledge and Gave Us the Renaissance. Bloomsbury Publishing.
Nasr, S. H. (1993). Islam and Science: The Intellectual Tradition. Kazi Publications.
Komentar
Posting Komentar