Allah Berada di Mana?: Menjawab Pertanyaan dengan Landasan Akidah Ahlussunnah wal Jama‘ah

Oleh: Lukmanul Hakim

Salah satu pertanyaan klasik dalam diskursus akidah Islam adalah: “Allah berada di mana?”
Pertanyaan ini terdengar sederhana, tetapi menyimpan konsekuensi teologis yang sangat dalam. Menjawabnya tidak bisa dengan pendekatan lahiriah semata, karena Allah adalah Dzat yang Maha Suci dari segala bentuk penyerupaan dengan makhluk (tasybih) dan tidak dapat dijangkau oleh pancaindra.


🕋 Keyakinan Dasar: Allah Ada Tanpa Tempat

Akidah Ahlussunnah wal Jama‘ah menegaskan bahwa Allah tidak terikat oleh tempat maupun arah, karena tempat dan arah adalah ciptaan-Nya. Allah sudah ada sebelum adanya langit, bumi, dan ‘Arsy, dan tidak berubah oleh penciptaan itu.

"لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ"
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(QS. Asy-Syura: 11)


📖 Dalil-Dalil Teks dan Makna yang Dikehendaki

1. Hadis Jariyah (Budak Perempuan):

Rasulullah ﷺ bertanya pada seorang budak:

“Ainallah?” (Di mana Allah?)
Budak itu menjawab: “Fissama’” (Di langit). Nabi bersabda:
“Bebaskan dia, karena ia seorang mukminah.”
(HR. Muslim, no. 537)

Sebagian orang memahami hadis ini secara literal bahwa Allah "bertempat di langit". Namun, para ulama Ahlussunnah menjelaskan bahwa:

  • “Fissama’” adalah ungkapan keagungan, bukan lokasi.
  • Dalam bahasa Arab, "fis-sama'" juga bisa berarti "di atas" atau "di tempat yang tinggi", sebagai simbol kemuliaan, bukan ruang fisik.

Imam an-Nawawi menjelaskan: “Hadis ini tidak dimaksudkan untuk menetapkan arah bagi Allah, tetapi sebagai pengajaran akan keimanan perempuan tersebut.”
(Syarh Shahih Muslim, 5/24)


🧠 Pandangan Para Imam Ahlussunnah

🔹 Imam Malik (w. 179 H)

Ketika ditanya tentang ayat: "Ar-Rahman ‘ala al-‘Arsy istawa", beliau menjawab:

“Al-istiwa’ ma‘lum, wa al-kaif majhul, wa al-su’al ‘anhu bid‘ah.”
“Istiwa’ itu maknanya diketahui, tetapi ‘bagaimana’-nya tidak bisa diketahui. Bertanya tentang hal itu adalah bid‘ah.”
(Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Al-Asma' wa al-Shifat)

🔹 Imam Abu Hanifah (w. 150 H)

Dalam al-Fiqh al-Akbar, beliau menegaskan:

“Allah ada sebelum adanya makhluk. Dia ada sebelum adanya tempat. Maka, Dia ada sekarang sebagaimana Dia ada sebelumnya.”
(al-Fiqh al-Akbar, hlm. 302)

🔹 Imam Al-Ghazali (w. 505 H)

“Allah tidak bertempat, karena tempat adalah makhluk. Mustahil Dzat Yang Qadim bertempat pada sesuatu yang baru.”
(Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 1, hlm. 124)


🔍 Memahami “Istiwa’ di Atas ‘Arsy”

Allah berfirman:

"Ar-Rahman ‘ala al-‘Arsy istawa"
“Yang Maha Pengasih beristiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy.”
(QS. Thaha: 5)

Ayat ini tidak boleh dipahami seperti makhluk duduk di kursi. Para ulama memahami istiwa’ sebagai:

  • Menunjukkan keagungan dan kekuasaan-Nya atas ciptaan-Nya.
  • Tanpa bentuk, arah, atau tempat.

Al-Imam al-Bayhaqi dalam al-Asma’ wa al-Shifat menjelaskan: “Istiwa’ Allah bukanlah dengan bersentuhan, berpindah, atau berpindah dari satu tempat ke tempat lain, karena hal itu adalah sifat makhluk.”


🚫 Menghindari Penyerupaan (Tasybih)

Setiap pemahaman yang menyamakan Allah dengan makhluk, seperti berkata bahwa “Allah duduk” atau “bertempat di atas langit secara fisik”, adalah bertentangan dengan prinsip tauhid.

Imam al-Taftazani dalam Syarh al-‘Aqaid al-Nasafiyyah menyimpulkan: “Allah Mahasuci dari arah dan tempat. Barang siapa meyakini bahwa Allah bertempat, maka ia telah menyerupakan Allah dengan makhluk.”


🏁 Simpulan: Allah Ada Tanpa Tempat

  • Allah tidak berada "di atas", "di bawah", "di kanan", atau "di kiri".
  • Allah ada tanpa membutuhkan tempat, karena tempat adalah makhluk.
  • Ayat dan hadis yang menyebut “di atas langit” atau “di atas ‘Arsy” dipahami sebagai simbol keagungan, bukan tempat literal.
  • Inilah akidah Ahlussunnah wal Jama‘ah yang diajarkan oleh para imam besar seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi‘i, Ahmad bin Hanbal, Asy‘ari, dan Maturidi.

📚 Referensi Lengkap:

  1. Al-Qur’an: QS. Asy-Syura: 11; QS. Al-Mulk: 16; QS. Thaha: 5
  2. Shahih Muslim, no. 537
  3. Imam an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz 5
  4. Imam Abu Hanifah, al-Fiqh al-Akbar
  5. Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din
  6. Imam al-Bayhaqi, al-Asma’ wa al-Shifat
  7. Imam al-Taftazani, Syarh al-‘Aqaid al-Nasafiyyah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa