Penyelewengan Nikah Batin: Mengembalikan Esensi Pernikahan dalam Islam
Pernikahan dalam ajaran Islam adalah sebuah ikatan yang tidak hanya menyatukan dua individu, tetapi juga merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam pandangan Islam, pernikahan seharusnya menjadi jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, yang dibangun dengan komitmen moral, emosional, dan spiritual. Namun, di beberapa kalangan, istilah "nikah batin" kini mengalami penyelewengan yang meresahkan. Konsep yang seharusnya berfokus pada kedalaman hubungan batin yang menuntun pada kedekatan dengan Allah, kini disalahpahami oleh sebagian umat Islam dan digunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan prinsip syariat (Al-Ghazali, 1994; Al-Hakim, 2013).
Nikah Batin: Pemahaman Asli dan Penyimpangan yang Terjadi
Nikah batin, sebagaimana yang dijelaskan dalam banyak literatur tasawuf, pada dasarnya bukanlah sebuah hubungan fisik, melainkan sebuah ikatan batin yang mendalam antara pasangan suami istri, yang bertujuan untuk mencapai kedekatan dengan Allah. Imam Al-Ghazali, dalam karyanya yang monumental Ihya’ Ulum al-Din, menggambarkan pernikahan sebagai jalan bagi suami istri untuk saling membantu dalam memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Ia menekankan bahwa makna pernikahan tidak hanya terletak pada aspek duniawi semata, tetapi lebih pada aspek spiritual yang mendalam (Al-Ghazali, 1994).
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, istilah "nikah batin" telah diselewengkan oleh segelintir orang yang mengklaim menjalankan hubungan spiritual tanpa melalui ikatan pernikahan yang sah menurut syariat. Mereka sering kali menyebutkan bahwa hubungan batin ini bersifat spiritual, sehingga tidak perlu mengikuti aturan agama yang berlaku, dan bahkan dapat dipraktikkan tanpa akad nikah yang sah. Penyalahgunaan nikah batin ini sangat meresahkan, karena merusak makna asli dari pernikahan dalam Islam yang mengutamakan komitmen dan kesucian hubungan (Nasr, 2002; Al-Hakim, 2013).
Penyelewengan Nikah Batin Sebagai Pembenaran untuk Hubungan di Luar Nikah
Penyimpangan pertama yang paling mencolok adalah penggunaan istilah nikah batin untuk membenarkan hubungan di luar ikatan pernikahan yang sah menurut syariat. Dalam beberapa kalangan, ada yang mengklaim memiliki hubungan batin yang mendalam dengan seseorang yang bukan pasangan sah mereka, dengan dalih bahwa hubungan tersebut adalah bentuk ikatan spiritual yang tidak membutuhkan akad nikah formal. Mereka menganggap bahwa hubungan batin dapat menggantikan pernikahan yang sah, karena mereka merasa telah mencapai kedalaman spiritual tertentu. Padahal, dalam ajaran Islam, pernikahan yang sah harus melalui akad nikah yang jelas dan sah secara syariat, sebagaimana tertuang dalam Al-Qur'an Surah An-Nisa (4:1), yang menegaskan pentingnya akad nikah yang sah sebagai syarat utama dalam membangun rumah tangga (Al-Qur'an, 4:1).
Nikah batin yang sesungguhnya hanya dapat terjadi dalam konteks pernikahan yang sah, yang dimulai dengan akad nikah yang dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Tidak ada tempat dalam ajaran Islam untuk hubungan antar lawan jenis yang tidak sah, meskipun klaim spiritual dibuat atas dasar hubungan tersebut (Nasr, 2002).
Nikah Batin Sebagai Sarana Pencapaian Kebahagiaan Duniawi Tanpa Tujuan Spiritual
Nikah batin yang sejati seharusnya berfungsi untuk mencapai kedekatan dengan Allah dan kebahagiaan akhirat. Namun, dalam beberapa kasus, nikah batin disalahartikan sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan duniawi, seperti kenyamanan emosional atau kepuasan psikologis. Ada yang melihatnya sebagai cara untuk memperoleh kepuasan pribadi atau sekadar memenuhi kebutuhan duniawi, tanpa memperhatikan tujuan utama pernikahan yang seharusnya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendukung perjalanan spiritual bersama pasangan. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an Surah Ar-Rum (30:21), pernikahan adalah karunia Allah yang memberikan ketenangan hati dan bukan semata-mata untuk memenuhi keinginan duniawi semata (Al-Qur'an, 30:21).
Pernikahan dalam Islam seharusnya mengarah pada pembentukan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Ketika pernikahan dipandang hanya sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan duniawi semata, maka makna sejatinya akan hilang, dan pasangan akan terjebak dalam pencapaian kebahagiaan yang sementara. Sebagaimana ditegaskan dalam karya Nasr (2002), pernikahan harus dilihat sebagai jalan untuk meningkatkan kualitas spiritual, bukan hanya sebagai cara untuk memenuhi kepuasan pribadi.
Penyalahgunaan Makrifat dalam Nikah Batin: Klaim Pencerahan yang Menyesatkan
Salah satu penyelewengan yang sering terjadi adalah klaim bahwa nikah batin bisa menjadi sarana untuk mencapai makrifat atau pencerahan spiritual. Beberapa individu dengan sengaja atau tanpa pemahaman yang benar mengklaim bahwa hubungan batin ini dapat membawa mereka pada pencerahan atau kedekatan lebih mendalam dengan Allah, meskipun mereka tidak mengikuti ajaran Islam yang benar. Padahal, dalam tasawuf, makrifat hanya dapat dicapai melalui proses penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), yang melibatkan ibadah yang sah, zikir, puasa, dan pengabdian penuh kepada Allah. Oleh karena itu, mengklaim makrifat melalui hubungan yang tidak sah menurut syariat adalah penyelewengan yang serius (Al-Ghazali, 1994; Al-Hakim, 2013).
Menggunakan nikah batin sebagai cara untuk mencari pencerahan spiritual yang tidak berdasarkan pada syariat adalah penyelewengan yang berbahaya. Beberapa kelompok mengklaim dapat mengakses pengetahuan spiritual tertentu melalui praktik-praktik yang tidak diajarkan dalam Islam. Dalam konteks ini, nikah batin seharusnya menjadi jalan untuk memperbaiki diri dan semakin mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk mencari "kekuatan batin" yang berisiko menyesatkan (Nasr, 2002).
Nikah Batin: Mengembalikan Esensinya ke Jalan yang Benar
Nikah batin yang sesungguhnya adalah perjalanan spiritual yang membawa pasangan menuju kedekatan dengan Allah. Sebagai bagian dari kehidupan dunia, pernikahan dalam Islam bertujuan untuk mencapai kebahagiaan abadi di akhirat. Oleh karena itu, kita harus memahami bahwa pernikahan dalam Islam adalah perjalanan yang penuh makna dan tanggung jawab. Setiap bentuk penyelewengan terhadap konsep ini hanya akan menjauhkan kita dari esensi pernikahan yang sesungguhnya (Al-Qur'an, 30:21).
Islam mengajarkan bahwa tujuan utama pernikahan adalah untuk saling membantu dalam memperbaiki diri dan membangun keluarga yang penuh kasih sayang dan kedamaian. Dalam Al-Qur'an Surah At-Tahrim (66:6), Allah mengingatkan kita untuk menjaga kehormatan dan kesucian hubungan suami istri sebagai amanah yang harus dijaga dengan baik (Al-Qur'an, 66:6). Oleh karena itu, kita harus selalu berusaha untuk mengembalikan esensi pernikahan dalam Islam sesuai dengan ajaran yang benar, yaitu dengan niat yang tulus untuk saling mengingatkan dalam kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah.
Simpulan
Penyelewengan konsep nikah batin dalam beberapa praktik di kalangan sebagian umat Islam merupakan bentuk penyalahgunaan pemahaman terhadap ajaran Islam yang sangat berharga. Nikah batin yang sesungguhnya adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memperbaiki hubungan batin antara suami istri. Penyalahgunaan konsep ini untuk membenarkan hubungan di luar nikah atau mencari kebahagiaan duniawi semata, hanya akan menyesatkan umat dari jalan yang benar.
Kita harus kembali pada ajaran Islam yang sesungguhnya, mengingatkan diri kita tentang hakikat pernikahan sebagai ibadah yang suci, dan berusaha untuk menghindari segala bentuk penyelewengan terhadap konsep ini. Dengan demikian, pernikahan akan menjadi ladang amal yang membawa berkah dunia dan akhirat, bukan hanya sekedar ikatan duniawi yang penuh dengan kepentingan pribadi semata.
Referensi:
-
Al-Ghazali, Imam. Ihya' Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994.
-
Nasr, S. H. (2002). Islamic Life and Thought. Albany: State University of New York Press.
-
Al-Qur'an. Surah An-Nisa, 4:1. Jakarta: Departemen Agama RI.
-
Al-Qur'an. Surah Ar-Rum, 30:21. Jakarta: Departemen Agama RI.
-
Al-Qur'an. Surah At-Tahrim, 66:6. Jakarta: Departemen Agama RI.
-
Al-Hakim, A. (2013). The Concept of Tasawuf and the Role of the Sufi in Islamic Civilization. Cairo: Al-Azhar University Press.
Demi hawa nafsu, yang haq diselewengkan
BalasHapus